Chereads / °Marigold° / Chapter 10 - °sembilan°

Chapter 10 - °sembilan°

"Matamu adalah daya tarikmu, Anya"

"Lakukan seperti yang biasanya, dan jangan sesekali kau merengek kepada mereka."

"Aku suka rambutmu, Anya"

"Anak manis gak boleh nangis."

"Jangan manja!"

"Carikan aku uang yang banyak."

"Anak pintar, harus nurut."

Kelopak mata itu terbuka cepat serentak dengan tubuh yang mendadak terduduk, memicu debaran jantung dan keringat dingin yang mulai membasahi pelipis.

Anya terengah dengan nafas yang memburu. Kepalanya pusing akibat reflek yang ia buat. Iris birunya mengedar sekeliling. Gelap. Mikki bahkan masih setia terlelap di bantal tidurnya.

Lagi? Mereka menghantuinya kembali. Kenangan masa lalu yang ingin ia lupakan tapi selalu tubuhnya ingat.

Mereka selalu menyerangnya disaat ia lengah, ia capek, ia letih menikmati siksaan dunia yang tiada henti.

Kapan ini akan berakhir?

Tubuh kurus itu perlahan menuruni tangga menuju dapur ingin mengambil air guna melegakan tenggorokannya yang mendadak kering. Keadaan rumah yang sepi dengan lampu remang membuat nuansa sedikit horor. Tapi gadis itu tidak akan takut dengan hal mistis, karena ada yang jauh lebih menakutkan daripada hantu.

Anya membuka kulkas, mengambil sebotol air dingin dan apel merah pemberian Al yang masih tersisa sedikit. Walaupun dirinya jarang makan dirumah, berkat buah dan sayur yang pemuda itu bawakan Anya jadi lebih sering membuat makanan rumahan, ya walaupun hanya sekedar nasi goreng ataupun telur dadar.

Atau mungkin karena tidak ada kehadiran wanita itu dirumahnya?

Anya sudah mendengar kabar bahwa wanita itu tengah bersembunyi dari seseorang yang mengejarnya. Entah itu siapa, Anya tidak peduli. Bahkan ia tidak perduli jika wanita itu tiba-tiba dikabarkan mati ditabrak kereta api atau terpleset dari atas Monas.

Ia tidak akan bersimpati.

Mati atau tidaknya wanita itu sekarang tidak akan merubah fakta bahwa dialah dalang dari hancurnya kehidupan Anya.

Jadi saat ia mendengar kabar bahagia itu dari salah satu teman Winda, Anya hanya ber-oh-ria tak ambil pusing. Toh yang berubah hanya karena tidak ada gangguan saat dirinya rumah kan?

~~~~~

Al menduduki pantatnya di bangku taman kampus yang menjadi tempat favorit gadis bermanik biru itu tempati. Pemuda coklat itu mencoba menikmati angin yang berhembus kearahnya.

Terasa damai.

Matanya yang terpejam sedikit berkedut saat kakinya ditendang kasar entah oleh siapa. Al merutuk dalam hati.

Saat kata-kata kejam yang telah ia persiapkan hendak di lontarkan kepada si pelaku, mendadak Al harus kembali menelan ludah bersamaan dengan makian, saat manik abu nya menatap Anya yang tengah berdiri dihadapannya dengan tangan yang terlipat didepan dada angkuh.

"Ngapain lo disini?" Nada ketus jelas gadis itu lontarkan kepada Al yang sedang cengengesan tidak jelas.

"Kok lo gak bales pesan gue, Nya?" Al memandang Anya dengan mata yang sengaja ia bulatkan agar terkesan imut, membuat gadis itu menyerngit jijik.

Anya tak menjawab pertanyaan itu dan malah ikut duduk disamping Al, membuka bungkusan dan melahap roti yang sempat ia beli tadi dengan tangan kiri yang membalik halaman novel. Al disampingnya hanya menatap sosok yang sedang menikmati roti isi sarikaya itu dengan senyum menawan.

Pipi gadis itu gembung dengan gerakan mengunyah. Rambut hitamnya tergerak saat angin menyentuh kulitnya lembut. Bulu mata lentik terlihat jelas saat gadis itu menunduk membaca novel yang ia pegang.

Al baru menyadari bahwa Anya memiliki tahi lalat kecil dibawah matanya. Cantik.

"Jangan lo kira gue gak sadar diliatin dari tadi ya."

Anya bersuara tanpa menatap pada Al, yang mana membuat cowok itu gelagapan karena ketahuan memperhatikan gadis disampingnya.

Dan berlian biru itu menatapnya tajam.

Hening.

Untuk sesaat Al terpaku.

Anya tidak berniat mengeluarkan argumen, dan begitu juga dengan Al yang masih setia menatap si biru cantik dihadapannya.

Abu milik Al menatap intens kedalam biru laut itu. Dan bibirnya terbuka mengeluarkan sejurus gombalan basi.

"Lo cantik Nya."

Al sedikit malu setelah mengeluarkan kata-kata receh tadi, apa lagi saat melihat reaksi Anya yang datar. Rona merah sudah hinggap ke telinga, ingin mati mendadak saat tak juga mendapat respon dari gadis dihadapannya.

Tiba-tiba wajah gadis itu mendekat. Sangat dekat. Amat dekat. Dan saking dekatnya Al reflek menahan hafas.

Lalu....

"Gue udah tahu." Dan Anya berdiri. Meninggalkan Al dengan perasaan tak karuan yang telah gadis itu perbuat.

Tak terima, Al mengejar Anya yang masih belum jauh darinya. Menahan lengan si gadis pelan, takut lukanya kembali terbuka."mau kemana?"

"pulang."

"Gue anterin ya." Dahi Anya sedikit berkerut menimbang tawaran yang ia terima. Sampai akhirnya anggukan kepala yang ia berikan membuat Al senang bukan main.

Biasanya kan butuh urat dan adu mulut baru nurut. Hanya perasaan nya saja atau Anya memang sedikit melunak padanya?

Langit mendung membuat Al melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, tak ingin gadis di dibelakang nya kebasahan akibat hujan yang turun mendadak. Tapi sayang, hujan jauh lebih cepat turun dan membasahi kedua remaja tersebut.

Motor hitam Al memasuki halaman rumah si gadis yang tertutup atap, sehingga hujan tidak lagi mengguyur mereka.

Anya turun dari motor hitam Al dengan keadaan yang sedikit basah, hanya di bagian celana. Sedangkan Al sudah basah kuyup dibagian depannya.

Hujan turun dengan lebat, disertai kilat yang tak mau kalah. Bagaikan badai, membuat Al sangat menyesal sudah memakai motor kesayangan nya.

Al menatap langit yang gelap sedikit ngeri, berpikir menerjang badai membuat nyalinya menciut. Tak ingin berlama-lama, Al hendak pamit pulang. Tapi gadis itu menahan lengan kirinya.

"Lo mau nantangin maut pulang badai-badai gini?"

Al menggeleng. Sebenarnya ia juga sangat ogah untuk pulang.

"Gue punya baju ganti." Gadis itu membuka pintu yang terkunci. Mengisyaratkan Al untuk masuk.

Setelah memarkir kan motornya, Al mengikuti Anya memasuki rumah gading tersebut. Pemuda itu sedikit meringis saat melihat lantai Anya yang basah akibat tetesan air hujan yang turun dari celananya.

Gadis itu menyerahkan kunci ke tangan Al, dan menunjuk tangga yang terletak di samping ruang tv.

"Di lantai dua ada kamar dengan pintu putih. Lo masuk dan langsung ke kamar mandinya." Al mengangguk paham dan langsung ngacir ke tempat yang dijelaskan Anya.

Pintu gading itu terbuka, dan tak butuh waktu lama Al menerobos kamar mandi yang terletak didalam nya. Rasa penasaran terpaksa ia telan, tak ingin membuat lantai Anya lebih basah lagi.

Tak butuh waktu lama Al keluar dengan pakaian ganti yang Anya berikan. Entah punya siapa, ia tak minat bertanya. Ia heran kenapa ia diperbolehkan menggunakan kamar mandi di dalam kamarnya? Secara Anya itu perempuan.

Al melihat Anya yang sudah duduk dilantai, gadis itu tak mengganti baju. Tangan ramping nya sibuk mengelus kucing hitam yang pernah ia lihat sebelumnya.

Al ikut duduk di karpet berbulu tepat di samping Anya. Berdehem kecil, membuat gadis itu menatap ke sumber suara.

"Kucing lo siapa namanya?"

"Mikki."

Al menyerngit bingung. Bukannya kucing itu jantan?

"Itu kucing jantan bukan?" Al bertanya hati-hati, takut gadis itu tersinggung. Yang dibalas anggukan.

"Bukannya Mikki nama cewe?"

"Suka-suka gue dong, kucing gue juga!"

Nah kan baru juga dibilang. Al sepertinya sudah terbiasa dengan nada jutek yang Anya lontarkan, buktinya cowok itu hanya mangut-mangut sok mengerti.

Lalu hening.

Manik Abu Al mengedar sekeliling, Kamar bercat putih itu cukup besar dengan isi yang padat. Entah kenapa kamarnya terlihat seperti kamar kos pada umumnya. Al menatap gadis disampingnya yang tengah membaca novel yang sama seperti tadi siang. Tak menghiraukan Al ataupun gemuruh hujan diikuti kilatan petir yang memekakkan telinga.

"Lo gak takut bawa cowok masuk ke kamar, Nya?" Anya melirik sekilas Al dengan ekor matanya, pemuda itu tampak gugup entah karena apa.

"Kenapa lo? Takut gue perkosa?"

"Hah?"

Al mencolos mendengar langsung dari gadis disampingnya. Bukan kah itu tugasnya? Ehem bukan itu maksud nya. Al jelas tak terima diremehkan oleh Anya.

Anya bangkit mengambil minuman dan cemilan yang tadi sempat ia ambil dikulkas. Meletakkan didepan Al dan kembali duduk disamping Mikki yang bergelung dibantal tidurnya.

"Lo numpang disini gak usah banyak tanya." Al mendengus mendengarnya, lebih memilih mengelus bulu hitam Mikki yang lembut. Kucing hitam itu jelas lebih terurus daripada majikannya.

Lihat aja Mikki, berisi, sedangkan Anya terlihat sangat kurus dan pucat. Gak gak, Anya gak sekurus itu juga. Tapi tetap saja dia kurus. Coba kalau gemukan dikit, kan enak buat dipeluk.

"Ngapain lo natap gue gitu?"

"Nya, lo makan berapa kali sehari sih? Gemukan dikit napa." Anya mendengus sebel sebelum akhirnya melempar bantal yang tadi ia peluk.

"Brengsek. Maksud lo apa?" Matanya melotot garang.

"Gak ada maksud apa-apa. Gue cuma mau lo gemuk kayak kucing lo." Anya menatap tajam ke arah Al, tak terima dibilang kurus. Walaupun sebenarnya ia sadar akan berat badannya yang terus berkurang.

Al yang ditatap hanya tertawa kecil lalu mengangkat Mikki ke pangkuannya, mengelus bulu hitam itu lembut, membuat kucing itu bergelung nyaman.

"Ntar deh gue sering-sering antarin makanan kerumah lo." Alis Anya naik sebelah mendengar kalimat yang Al lontarkan.

"Kalau lo gak bisa urus diri lo sendiri, biar gue yang ngurusin."

Lalu manik biru itu membola. Suhu dingin yang dari tadi ia rasa entah kenapa tiba-tiba menghangat. Senyum tulus yang pemuda itu tunjukkan membuat Anya tak sadar jika kepala ikut mengangguk.

Ini berbahaya.

Pemuda coklat itu bisa saja mengetahui rahasia yang selama ini ia tutup rapat-rapat. Lalu mendobrak pintu yang selama ini ia kunci, meruntuhkan pertahanan yang selama ini ia jaga, sampai akhirnya mengobrak-abrik kehidupannya yang kelam.

Al berbahaya-

Ia harus menghindar sebisa mungkin.

#002