Anya menatap malas bangunan putih dihadapannya, nafas ia tarik panjang lalu dihembuskan sebanyak tiga kali, setelah dirasa gugup mulai mereda, barulah kaki itu ia bawa masuk kedalam. Aroma khas rumah sakit langsung masuk ke penciumannya, reflek gadis itu menutup hidung.
Sepuluh hari sudah berlalu sejak dijahit nya tangan kanan Anya. Membuat gadis itu terpaksa memasuki lagi tempat yang paling ia benci ini.
Bau obat yang ia rasakan seakan menusuk membuat sakitnya kembali nyeri, bahkan obat pereda nyeri pemberian dokter semalam ia letakkan didalam lemari bersama obat yang lain, tak tersentuh sama sekali. Ia takkan suka, sekalipun itu untuk kesehatan nya.
Setelah gadis itu memberikan surat rujukan yang dibuat oleh papa Al kepada salah seorang resepsionis, gadis itu masih disuruh menunggu. Duduk sendiri di lorong rumah sakit, Manik birunya sibuk membaca spam chat dari seseorang yang akhir-akhir ini merecoki hidupnya.
Menyuruhnya ini itu yang bahkan tidak pernah ia lakukan dulu. Anya sedikit risih memang.
Kepala bermahkota helaian hitam itu mendongak kala mendengar suara tak asing menyebutkan namanya. Dia dokter yang sama yang menjahit luka pada tangannya, ayah dari pemuda coklat yang dari tadi ia kutuk dalam hati.
Dokter Pratama Adipta.
"Maaf menunggu lama ya Anya, silahkan keruangan saya." Anya mengangguk kecil lalu ikut berjalan dibelakang sang dokter menuju tempat yang waktu itu ia datangi. Mendudukkan dirinya di kursi tunggal yang berada didalam ruangan.
Lalu, lengan sweater rajut bewarna toska itu ia gulung hingga kesiku. Ayah Al yang sudah duduk didepannya perlahan meneliti luka jahit memanjang itu, lalu memakai peralatan dokter miliknya, menarik pelan benang yang tertanam dikulit si gadis. Anya menyerngit perih saat benang itu ditarik keluar.
"Apa perlu saya bius?" Gadis itu menggeleng, sudah terlanjur. Ia sudah merasakan sakitnya, jadi dilanjutkan saja.
Proses pencabutan tersebut lebih singkat daripada sebelumnya. Hanya membutuhkan waktu lima belas menit.
"Sudah." Dokter itu bangkit, lalu melepaskan sarung tangan karet khas dokter, dan membuangnya ke tempat sampah kecil yang berbeda disudut ruangan.
Anya melihat tangannya yang telah sembuh total, walaupun bekas jahitan itu tak akan menghilang, tapi tak apalah toh masih banyak juga bekas luka lama yang belum menghilang bahkan dari dulu.
"Apa masih ada yang sakit?" Anya yang tadi hanya menatap lukanya kini mendongak menatap dokter Tama yang masih berdiri tersenyum, ayah Al tersenyum lembut hingga menampakkan lesung pipi.
Anya terpaku sesaat. 'Mirip sekali.'
Lalu kepala itu ia geleng keras.
"Dimana saya harus bayar dok?"
"Tidak perlu. Saya udah anggap kamu pasien spesial saya." Anya mengangguk paham,
"Terimakasih dok" Tubuhnya bangkit lalu membungkuk kecil, setelah itu ia keluar dari bangunan besar bercat putih dengan nafas lega.
Tangan lentiknya kembali membuka ponsel pintar yang kembali bergetar. Chat pemuda coklat itu masih memenuhi layar smartphone miliknya. Dengan gerakan cepat Anya mengetik sesuatu lalu kembali menyimpan benda tersebut didalam saku celananya.
Ia kembali berjalan dibawah sinar matahari yang sudah meninggi, mengabaikan panas terik yang menyengat kulit. Kulit pucat gadis itu sudah memerah dengan keringat menuruni pelipisnya, tapi ia halau dengan tangan kiri yang ia kibaskan ke wajah.
Dahi Anya berkerut saat ponsel itu kembali bergetar tapi kali ini getaran yang lebih lama. Dengan malas gadis itu mengangkat panggilan dari seseorang yang sangat sangat ia kenal.
'Nya...'
Anya tak menjawab.
'Ngomong dong Nya. Berasa nelpon angin gue'
Gadis itu tetap mengabaikan, memainkan kuku untuk mengalihkan perhatian. Sampai ia mendengar helaan nafas dari sang penelepon.
'Yaudah deh kalau lo gak mau ngomong, yang penting telpon gue diangkat...'
'...tau gak lo nya, gue capek dijadiin obat nyamuk terus sama Chika. Jahat banget tuh kakak, gak ada akhlak...'
Dahi Anya berkerut bingung, Chika? siapa Chika? Kakak kandung Al kah? Anya berjalan sambil kakinya menendang-nendang batu kecil yang menurutnya menghalangi jalan.
'Haaa.. gue capek...tugas kok makin numpuk sih?! kan gue juga butuh istirahat'
Kali ini pemuda itu menghela nafas panjang. Anya masih setia mendengarkan keluh kesah tentang tugasnya yang semakin mengerikan yang dengan sukarela Al ceritakan. Sampai akhirnya bangunan yang ia sebut rumah itu terlihat, membuka kunci pintu lalu masuk tanpa membuka sepatu yang ia kenakan. Kakinya melangkah menaiki tangga dengan sedikit terburu.
Tas selempang itu ia lempar asal kekasur, dengan bahu kiri yang masih mengapit ponsel ia mengambil makanan Mikki, menuangkannya di mangkuk kecil itu dan kemudian membuka sepatu putih yang masih ia pakai.
Diseberang sana Al masih setia mengoceh ini itu, yang menurut Anya tidak ada penting-penting nya. Entah itu tentang tetangganya yang ngelondek* sering menggoda nya, atau tentang ending dari film yang tidak sesuai dengan ekspektasi nya, atau yang paling parahnya ia mengeluh dan merengek hanya karena tangannya tidak tidak, lebih tepatnya jarinya yang tergores kertas. What??!
Dan yang lebih parahnya lagi, Anya tidak keberatan dengan celotehan serta rengekan sok manjanya Al kepadanya. Malah gadis itu terlihat menikmati.
'Nya...'
Suara Al memberat.
Anya mendadak terdiam dari aktifitas nya mengerjakan tugas, tangannya yang memegang pena ia turunkan.
'Gue kangen.'
Ah, dada gadis itu sedikit lebih cepat berdebar dari biasanya, entah karena apa.
'Nya, gue mau dengar suara lo...'
Anya menatap ponselnya yang ia letakkan dimeja belajar nya lekat.
"Gak usah berisik lo!"
Dan panggilan itu ia putuskan sepihak, Kembali meletakkan benda itu diatas meja. Tugas yang sempat tertinggal tadi, ia lanjutkan.
Disisi lain, Al yang sudah melayang dengan senyuman bodoh miliknya menatap IP putih itu dengan senang.
"Manisnya..."
Bayangkan gadis galak itu sekarang sedang misuh-misuh dengan muka tertekuk marah, pasti sangat manis.
"Bang, muka biasa aja."
Itu Arkan, adik laki-laki Al yang sering ia jadiin bahan eksperimen dadakan. Berdiri sambil menyandar di tepi pintu kamarnya, menatap heran sang penghuni kamar yang sedang tersenyum aneh menatap layar ponsel.
"Apa sih, ganggu aja." Al sewot tentu saja, menatap sang adik tak bersahabat.
"Mama nyuruh aku manggil, makan malam."
Al hanya berdehem sebagai respon, badan ia paksa bangkit walaupun sebenarnya tak rela. IP putih yang daritadi ia tatap di charger diatas kasur, ekor matanya melirik pintu yang terbuka masih menampakkan remaja cepak yang masih berdiri disana.
"Kenapa? Pergi sana."
"Bang, lain kali kalau nonton bokep pintunya dikunci dong." Al terbatuk spontan menatap tajam remaja cepak yang memasang muka tanpa dosa.
Tangan nya mengambil bantal yang tergeletak disamping dan melemparkannya kearah pintu, tapi sayang si cepak sudah lebih dulu menghilang dari sana, meninggalkan Al yang masih misuh-misuh ditempatnya.
Dasar adik gak ada akhlak! Ya kali muka bahagianya Al dikira habis nonton film laknat tapi nikmat itu?
Al turun dan langsung menuju ke ruang makan yang sudah dihuni oleh sang kepala keluarga, menempatkan dirinya dihadapan Arkan yang sedang memainkan benda pipih miliknya. Manik abu Al masih setia menatap tajam pemuda SMA dihadapannya.
"Gimana kuliah kamu Al?" Tatapan Al beralih ke samping kanan, dimana Tama tengah duduk dengan tangan memegang tablet serta berkas yang Al yakin itu urusan pekerjaan nya.
"Baik yah."
Dari arah dapur Chika datang dengan kedua tangan memegang semangkuk tongseng sapi, disusul Miya yang juga membawa sepiring gyoza berukuran sedang.
"Makan yang bener, jangan sambil kerja." Miya memperingati sang suami yang masih memegang benda persegi yang sedari tadi ia otak-atik.
"Tau, ayah kebiasaan." Chika duduk disamping Al, dan Miya duduk diantara Arkan dan Tama. Makan malam mereka kali ini terasa lebih lengkap dengan kehadiran sang kepala keluarga yang dimana biasanya selalu sibuk dan lebih banyak menghabiskan waktu dirumah sakit miliknya.
Topik yang biasa mereka bahas memang seputar dunia kesehatan, tapi tidak menutup kemungkinan perdebatan kecil yang sering Al lakukan bersama Chika memperlengkap suasana hangat khas keluarga. Al dengan opininya dan Chika dengan hinaannya, serta Arkan yang tak mau kalah memanas-manasi situasi dengan tuduhan nya, serta dilengkapi dengan suara ketawa merdu dari wanita tertua disana, dan diakhiri dengan gelengan kepala dari sang kepala keluarga.
Tak sadar bahwa benda pipih milik Al yang ia letakkan dikamar sedari tadi berdering nyaring, menampilkan nama seseorang dilayar hitamnya.
'Nya🐈'
#002