Ini tentang dia.
"Heh, pelacur. Bangun lo"
Gadis cantik itu dianugrahkan manik sebiru samudra.
'Brak'
"Ambil gunting!"
Rambut segelap malam kontras dengan kulit putihnya.
'Byuurr'
"Hahahaha"
Saat ini ia sedang menikmati rasa sakit yang sudah biasa ia terima. Terduduk disalah satu bilik kamar mandi yang jarang terpakai. Usang dan kotor. Sama sepertinya.
"Gua bosan, yuk cabut." Seru Desi kepada anak buahnya. "Besok kita main lagi ya Anya." Nada mengejek ia lemparkan kepada gadis yang masih tak bergerak dibawahnya.
Tawa Desi dan kawan-kawannya yang menghilang dari balik koridor membuat gadis itu membuka mata perlahan.
Tubuh langsing nya yang basah kuyup berusaha bangkit. Tangan memapah pada tembok yang selalu menjadi saksi bisu atas kejadian naas tersebut. Wajahnya terangkat, mengedar sekeliling guna menyesuaikan penglihatan. Tas selempang kesayangan yang ikut basah, ia sandang dipundak.
Gadis cantik itu berjalan tertatih keluar dari toilet perempuan. Cahaya oranye kemerah-merahan langsung menerpa wajah pucatnya.
Koridor yang sepi membuatnya dengan leluasa berjalan tanpa perlu berpura-pura.
Karena penampilannya yang berantakan bak korban eksekusi yang kabur, gadis itu melewati jalan kecil belakang gang yang sempit. Penuh sampah dan tikus.
Bau tak sedap masuk ke penciuman tapi ia abaikan, nyeri di pergelangan tangan kanannya pun kian menjadi. Perban kotor itu ia tatap nanar. Padahal perban itu baru diganti, pikirnya.
Untuk sampai kerumah, Anya perlu berjalan 45 menit dengan melewati jalan kecil tersebut. Keadaan rumah yang sepi membuatnya menghela nafas lega. Tidak ada cobaan yang akan menimpanya lagi.
Dengan perlahan ia membuka pintu yang terkunci, menutup pintu dan menaiki tangga menuju kamarnya. Setelah pintu gading itu terbuka, kucing hitam yang semula bergelung diatas kasur langsung datang menghampiri majikan.
"~Nyaaaa"
Badan berbulu itu ia gesekkan dikaki sigadis, menatap sang majikan dengan mata bulat menggemaskan.
"Hei... Laper?"
Tas selempangnya ia letakkan diatas meja belajar, tanpa mengganti baju langsung mengambil makanan kucing yang ia beli beberapa hari lalu. Mengisi mangkuk biru itu hingga penuh.
Setelah melihat Mikki dengan lahap memakan makanannya, Anya memasuki kamar mandi. Tak butuh waktu lama ia pun selesai dengan balutan baju yang standar. celana jeans Dongker dan kaos putih dibaluti cardigan hitam. Tak lupa mengobati luka-lukanya sebentar, Ia harus berangkat kerja sebelum bencana baru datang.
"Mikki jangan nakal. Gua pergi kerja dulu." Manik birunya menatap kucing hitam yang sudah kembali bergelung di atas kasur. "Dasar pemalas" keluhnya singkat.
Perjalanan Anya ke tempat kerjanya hanya perlu memakan waktu 40 menit jika berjalan kaki. Menurutnya kalau memakai kendaraan umum akan lebih memerlukan banyak waktu, belum lagi jika macet total, karena itu ia lebih suka berjalan kaki sendirian. Setelah sampai, gadis itu masuk melalui pintu belakang.
"Anjir Nya, lu ngagetin."
Gadis berkacamata itu mengelus dada menatap sosok gadis dihadapannya horor.
"Maaf" Anya kembali berjalan menuju ruang ganti khusus staff.
"Eh itu! pipi kenapa luka?!" seru gadis itu kembali khawatir. Tangannya menyentuh kedua pipi Anya, menggerak-gerakkan seolah mencari ada luka lainnya.
"Udahlah sis, wajar kok. Anya kan udah gede." Pria tinggi bercelemek datang menghampiri si kacamata, memberikan kertas pesanan kearah Anya dan diambil oleh gadis itu.
"Gak bisa gitu! Anya itu perempuan!"
"Elo bukan emaknya."
"Bodo amat! itu karena gue peduli!"
"Yang ada Anya risih."
"Gak mungkinlah dia risih, kecuali lo yang perhatian ke dia!"
"Hah?"
Anya mengabaikan perdebatan tak berfaedah yang sudah sering ia dengar. Menutup pintu lalu menguncinya. Bisa ia dengar suara cempreng gadis termuda disana sudah berteriak lantang, membuat pertikaian tak berarti itu berhenti.
Tak lama setelah itu, Anya datang dengan pakaian khas pelayannya. Inilah pekerjaan yang sudah ia lakukan sejak masih di Sekolah menengah, menjadi pelayan disalah satu restoran Jakarta. Kadang-kadang gadis itu juga ikut tampil mengisi acara jika ada life akustik dengan menyumbang suaranya.
"Kak Anya sih kaku banget, makanya kak Siska khawatir." Ujar Sonya yang masih sibuk menata menu, suara cempreng yang menghentikan perdebatan tadi pastilah dia.
Tak menjawab Anya hanya menatap dalam diam. Membantu yang lebih muda lalu beranjak ke tempat kerjanya. Gadis bermanik biru itu tidak ada niatan untuk membuat hubungan lebih kepada mereka, takut akan kekecewaan yang terjadi kelak dapat membuatnya semakin gila.
Jam kerja Anya dari pukul enam sore hingga pukul sebelas malam. Kadang jika restoran rame mereka tutup hingga jam dua belas malam. Anya tak masalah jika itu urusan kerja, pulang larutpun hasilnya akan sama.
Bukan kerja lembur yang membuatnya lelah, bukan pula pada siang hari yang memberinya rasa sakit akibat pembullyan. Tapi disaat malamlah ketakutan terbesarnya.
Disaat mereka datang dengan segala kelemahannya, menghantuinya, dan terus menggerogoti jiwanya.
Saat itulah ketakutannya, disaat para iblis itu datang.
~~~~
Pukul sebelas lewat empat puluh lima Anya sampai dirumah. Keadaan rumah yang masih sepi membuatnya dengan leluasa berjalan tanpa perlu mengendap-endap.
Lampu yang semula hidup ia matikan, membuat keadaan kamarnya menjadi gelap. Lalu berjalan kearah jendela dan membukanya, membuat cahaya rembulan menyusup masuk.
Gadis itu menjatuhkan badannya diatas kasur, telentang menatap kosong kearah langit-langit kamar yang gelap. Tangannya yang terluka diangkat, terlihat perban putih yang tadi sempat ia ganti.
Bibirnya menyunggingkan senyum singkat, mengingat 'dokter' berambut coklat yang pernah memasangkan perban padanya.
"Kayaknya gua mesti minta maaf." setelah itu kepala ia geleng keras, lalu tertawa hambar. Kembali matanya menatap perban yang tak sebagus sebelumnya.
'Dasar pelacur!'
Ah, mereka datang.
'Gak guna! dasar pembawa sial!'
'Nyusahin aja!'
'Gak ada yang menginginkan kamu!'
'Kok lo masih disini?!'
'Lo gak ada niat buat bunuh diri?'
'Kalau gue jadi lo, mending gue mati aja!'
'Mati lo pelacur!'
'Mati!'
'Mati.'
'Mati'
.
.
.
Mati?
kelopak matanya terbuka menatap ke arah jendela, nyeri mendadak menyerang kepala. Ia bangkit dari tidur, berjalan kearah laci dan membukanya.
Menatap benda itu lagi lalu mengambilnya.
"It's ok Nya. Lo bisa!" Katanya menyemangatkan diri.
Benda itu ia arahkan ke leher, menekan sitajam guna memperdalam. Manik birunya melirik Mikki yang berdiri menatap bingung, kucing itu mengeong nyaring seolah tak memperbolehkan.
Hati mulai bimbang. Jika bukan dia lalu siapa yang menjaga kucing hitam itu? Anya yang tak kuasa menahan gemetar di kaki, jatuh terduduk. Isak tangis keluar dari bibir mungilnya. Cutter yang tadi digenggam, ia lemparkan kearah pintu hingga menghasilkan bunyi nyaring.
Lagi-lagi ia gagal.
Selalu saja gagal.
Mikki menghampiri majikan yang sedang terlihat memeluk diri, menggesekkan badan berbulu nya guna menghibur. Manik biru nya berair, terlihat jauh lebih indah.
"Maafin gua Mik." Si kucing yang diajak bicara hanya menatap sosok gadis dihadapannya seolah paham.
Tubuh berbulu itu ia peluk, Isakan yang terdengar sangat memilukan. Seakan dunia terus menyakiti dan menggerogoti tubuhnya.
Tubuh nya lelah.
Impiannya hanya satu.
Bertemu si mati.
Karena bahagia terlalu sulit untuk ia cari.
#002