Anya kecil sedang menatap bunga merah yang penuh duri itu dengan takjub. Manik birunya terlihat berkilau indah.
"Anya, kemari!" Langkah kecilnya mengikuti wanita itu dengan terburu-buru, memasuki rumah mewah bercat coklat. Rumah mewah itu terlihat seperti di cerita Cinderella yang sering ia baca sebelum tidur.
Manik birunya melihat wanita itu tengah terduduk dilantai, dan dihadapannya wanita tua yang ia yakini sang pemilik rumah berdiri menatap nya dengan tangan yang terlipat didepan dada.
"Jadi dia?...
"...Benar-benar mirip seperti Axel."
wanita tua itu menatap Anya kecil yang terlihat kebingungan, iris biru itu persis seperti punyanya namun terlihat sedikit lebih gelap. Bibirnya menyunggingkan senyum, tapi entah kenapa Anya tidak menyukai senyum tersebut. Terlihat menakutkan?
Anya kecil melihat wanita tua itu menghampiri sang ibu, lalu tanpa aba-aba menampar keras pipi mulus Winda, membuat manik Anya membola.
Wanita tua itu kembali menatap padanya tapi kali ini tanpa sebuah senyuman.
"Kamu tau? Kamu sama seperti ibu mu! dasar pelacur kecil!"
•
•
•
•
~~~~~
Kelopak matanya terbuka perlahan berusaha menyesuaikan cahaya matahari yang masuk dari balik jendela, nyeri di sekujur tubuh terasa saat ia berusaha bangkit. Matahari yang tengah berdiri diatas sana menandakan hari yang tengah siang, pantas saja kamarnya begitu terang.
Otaknya berputar mengingat kenapa ia bisa tertidur dilantai semalam. Sembari berfikir tak sengaja manik birunya menemukan cutter yang tergeletak didepan pintu kamar. Ah, dia ingat.
Badannya yang remuk ia paksa bangkit, mengambil makanan kucing dan menuangkan diatas mangkuk makan Mikki. Mendengar suara tak asing, tubuh berbulu yang semula tertidur langsung berdiri tegap berjalan kearah tempat makanan nya terletak.
"Miaw..."
"Habisin." Perintah si gadis tak dihiraukan Mikki yang dengan nikmat melahap makan siangnya.
Anya bangkit lantaran perutnya yang sudah berbunyi minta diisi. Melirik jam yang terletak diatas meja belajar, dan tanpa basa-basi mengambil dompet lalu berjalan keluar kamar.
Suasana rumah yang sepi menandakan tidak ada penghuni selain dirinya. Setelah mengunci pintu dari luar, gadis itu beranjak ke supermarket samping komplek elit dimana ia menemukan Mikki dulu.
Setelah mengambil keranjang, gadis itu berjalan menuju rak yang berisikan mie instan. Keranjang tadi ia letakkan di lantai dan langsung memasukkan mie tersebut sesuka hatinya. Mengisi keranjang yang kosong dengan berbagai rasa dari mie instan.
Saat ia tengah sibuk memasukkan mie tersebut, tangannya yang dibalut perban itu dicekal seseorang. Lalu maniknya menatap sosok itu dengan tajam.
"Mi gak sehat." Dia tau suara ini.
"Kayaknya gue pernah bilang deh, jangan ganggu gue lagi."
Al masih menatap gadis dihadapannya. Tangannya menggenggam erat balutan perban yang berantakan itu. Dia akan memperbaiki itu nanti.
"Gue cuman ngasih tau, lo kan lagi sakit gak seharusnya makan ini. Mie gak sehat." Manik biru si gadis berputar jengah, menarik paksa tangannya dan langsung berjalan kearah kasir hendak membayar.
"Nya, setidaknya lo makan sayur juga." Anya mengabaikan itu. Sama sekali tak menggubris pemuda coklat di belakang nya, dan malah pergi meninggalkan supermarket setelah mengangguk kecil ke arah kakak-kakak kasir.
"Nya!" Al merentangkan kedua tangannya, memblokade jalan yang akan Anya lalui.
Gadis itu kesal, menahan emosi yang membuncah diatas ubun-ubun nya, menatap pemuda itu sengit. "Mau lo apaan sih?!" Nada nya sedikit sumbang akibat teriakan tertahan yang ia keluarkan.
Alih-alih Al malah menyodorkan sebuah kantung plastik putih yang Anya yakini itu adalah sayuran dan buah, membuat gadis itu menaikkan alis sebelah seolah bertanya.
"Buat lo." Gadis itu melipat tangannya di dada dan berbalik arah, melanjutkan perjalanan menuju rumah tanpa mengambil plastik putih yang Al berikan.
Pemuda coklat itu menganga tak percaya.
Tangannya lagi-lagi ditarik kebelakang membuat si gadis kembali membalikkan badannya. "Gue gak berharap ucapan terimakasih dari lo."
"Terus?!"
"Ya setidaknya lo hargai kek." Al sedikit tak menyangka bahwa gadis dihadapannya benar-benar tidak berhati nurani.
"Gue gak ingat pernah minta bantuan lo"
What the!!!!!!!!
Pemuda iris Abu itu mengerjab tak percaya. Matanya membola, ternyata begini rasanya perhatian dibalas cacian?! Hah!
"Oh, gue ngerti sekarang kenapa mereka pada benci sama lo, Orang gak tau terima kasih kayak gini." Kecewa jelas tengah Al rasakan kini. Manik abu nya berkilat amarah, perhatian nya bahkan tidak dihargai sedikit pun. Dari awal Al tau dirinya akan dicuekin, tapi ia tidak tau bahwa niat baiknya bahkan tidak gubris sedikit pun.
"Ya, terus? lo mau gue bilang makasih? Oh, atau lo nyesal udah nolong gue?"
Al menggeleng kan kepala takjub, menarik tangan si gadis dan meletakkan plastik putih tadi digenggaman kirinya. "Ternyata bener ya kata mereka, lo gak tau diri."
Tanpa basa-basi Al melawati Anya begitu saja, menaiki motor besar hitam yang biasa ia bawa dan menjalankan kereta beroda dua tersebut dengan kecepatan tinggi, sosoknya dengan cepat menghilang dijalanan yang lengang tersebut.
Anya menatap dalam diam plastik putih digenggaman, lalu mengigit keras bibir bawahnya. Perban putih itu ia tekan keras hingga mengeluarkan bercak merah.
Ah, dia melakukannya lagi.
Ia yakin pemuda coklat tersebut pasti kecewa. Sama sepertinya yang tengah merasakan kecewa.
Anya juga merasa kecewa---
----Kepada dirinya.
Kakinya melangkah menaiki tangga menuju kamar secepat yang ia bisa. Mengunci pintu gading tersebut dari dalam dan langsung ambruk di atas kasur empuknya.
Kecewa yang ia rasakan sampai membuat dadanya sakit. Maniknya menatap perban kotor itu dengan nanar, cairan bening yang berusaha ia tahan dari tadi kini jatuh membasahi bantal.
Ia sadar akan dirinya, dan ia juga membenci hal tersebut.
Mikki yang terganggu dari tidurnya, bangkit menuju sang majikan yang sedang telungkup di atas kasur.
"Miaw.."
Manik biru itu kembali berair, menatap kucing hitam tersebut lalu bangkit duduk. Tangannya terulur guna mengangkat badan Mikki dan mendekapnya erat.
"Gue jahat Mik, barusan." bulunya dielus ringan.
"Bener kata dia, gue emang gak tau diri." kembali cairan itu menuruni pipinya. Dadanya bergemuruh, terbesit kecewa mendalam akan dirinya.
"Sampai kapan sih Tuhan mau nyiksa gue disini?"
"Kapan sih Tuhan mau ngambil nyawa gue?-"
"- gue capek!" Isak tangis itu semakin mengencang.
"Manusia kotor kayak gue gak pantes hidup."
Mikki menatap sosok gadis itu penuh arti. Mengapa Tuhan menyiksa tuan baik hatinya hingga seperti ini? Apa yang pernah tuan baik hatinya perbuat hingga ia semenderita ini?
Jika mati bisa membuatnya terbebas, mengapa Tuhan tidak memberikan nya?
Jika Mikki memiliki tangan ia ingin menghapus air mata itu. Jika Mikki memiliki bahu, ia ingin memberikan senderan untuk kesedihan itu. Dan jika Mikki manusia, ia akan memeluk erat tubuh rapuh itu.
Memeluknya pelan. Karena jika terlalu kuat ia yakin akan menghancurkan tubuh itu menjadi puing.
#002