Chereads / °Marigold° / Chapter 3 - °dua°

Chapter 3 - °dua°

Aland benci hujan.

Parameter ketidaksukaanya sudah berada dititik jenuh. Menurutnya hujan dapat merubah suasana mendadak suram, ditambah suhu yang lembab dan dingin menusuk kulit, jelas membuatnya semakin berfikir yang tidak-tidak. Al benci sesuatu hal yang berbau horor.

Hujan yang semakin lebat ditandai dengan gemuruh serta kilatan petir, membuat pemuda itu berucap berkali-kali. Al mengintip dari balik jendelanya, tapi tidak menemukan tanda-tanda akan berhentinya hujan.

Biasanya disaat seperti ini, sang ibu pasti selalu menyeduh teh anget untuk dirinya. Tapi sayang, kabar tentang sepupu yang mendadak terkena DBD membuat dirinya harus rela ditinggal sendirian dirumah.

Al menghela napas panjang.

Ia bosan setengah mampus.

Saat hendak mengambil novel di rak buku miliknya, benda persegi yang ia letakkan diatas kasur itu bergetar. Menampilkan nama seseorang di layarnya. Tak butuh waktu lama, Al menyambar benda itu lalu menekan tombol hijau.

.....

"Oke, gua kesana."

Setelah mematikan sambungan sepihak, Al meyambar jaket yang tergantung di dalam lemari serta kunci mobil, benda persegi tersebut ia letakkan didalam kantung jaket, lalu beranjak pergi ke alamat yang dituju.

Tak butuh waktu lama, Al sudah sampai ditempat mereka janjian, celingak-celinguk mencari spot ternyaman untuk ia duduki. Setelah memesan secangkir kopi untuk dirinya, Al menunggu.

Lalu, ia menyesali perbuatannya.

Jelas ia menyesal.

Berpikir bahwa pergi dari zona nyamannya akan membuat mood lebih baik, ternyata ia salah. Sudah hampir setengah jam ia habiskan dengan menunggu seseorang yang tak kunjung datang. Minuman yang ia pesan bahkan sudah tinggal seperempat. Sumpah Al berniat mengutuk seseorang yang sudah membuat janji seenaknya, niatnya hendak beranjak setelah menghabiskan coffee latte yang ia pesan. Masa bodo dengan seseorang yang ia tunggu, suruh siapa telat.

Manik abunya menatap keluar bilik kaca, posisinya saat ini berada disalah salah satu cafe minimalis yang terletak didepan komplek elit cukup besar. Duduk sendiri diujung menatap keluar jalanan yang terlihat jelas masih dibasahi hujan tidak sedikitpun berniat reda.

Iris abunya membulat tak kala melihat sesosok wanita yang ia kenali, Gadis itu membawa payung hitam bercorak bintang, langkahnya terhenti tepat didepan pos ronda tak berpenghuni. Dan manik itu? ia hafal.

Manik birunya menatap kardus yang tergeletak dibawah kaki terlihat sudah separuh basah. Mengarahkan payung hitamnya kearah kardus tersebut, tanpa memperdulikan dirinya yang bisa saja basah lantaran hujan yang belum reda.

Netra birunya berkilat sendu.

Tangan ramping nya terulur guna mengambil sesuatu yang ada didalam kardus.

Mata pemuda itu membulat sempurna. Gadis yang sering dikatakan pelacur oleh kawan kampusnya itu tengah terlihat berhati-hati saat menggendong buntalan hitam berbulu, mendekapnya seolah tak mengizinkan setetes air hujan pun mengenai si kucing, mengabaikan badan dan rambutnya yang kian diguyur hujan.

Kulit putih yang seperti salju, terlihat rapuh saat disentuh. Bibir pink alami yang sedikit pucat akibat dinginnya udara. Ditambah iris biru itu. Cantik tapi terlihat redup.

Al terpesona.

Mata pemuda itu tak lepas dari sosok diluar sana yang terlihat begitu mengabaikan hujan, badannya yang sudah bergetar tak gentar sedikitpun. Bibir pucat itu menukik keatas membuat seulas senyum menawan. Indah tapi terasa menyakitkan.

Sekali lagi, Al terpesona.

Al ingin menghampirinya, memberikan teduh untuk dirinya yang basah. Memberikan hangat untuk dirinya yang dingin. Memberikan cahaya untuk dirinya yang terlihat redup.

Saat kaki hendak beranjak, langkahnya terhenti tak kala orang yang sedari tadi ia tunggu akhirnya menampakkan batang hidungnya. Terpaksa mengalihkan ekstensi nya dari si manik biru, menatap datar gadis dengan rambut sebahu dihadapannya yang tersenyum cerah.

"Sorry, aku lama ya?"

Al kembali duduk di kursinya dengan setengah hati.

"gue nyaris pulang tadi."

Mendengar itu si gadis hanya bergumam 'maaf' lalu tersenyum kikuk. Al mengabaikannya, moodnya sudah terlanjur hancur. Bahkan cerita dari gadis yang beberapa bulan ini menjadi PDKT-- an nya pun ia abaikan. Sesekali matanya melirik keluar melihat pos ronda yang tidak berpenghuni, ada keganjalan dihati yang ia yakini adalah bentuk ketidakpuasan.

Al menyesal.

Ia yakin itu adalah bentuk kekecewaannya.

Menghela nafas panjang, Al ingin segera pulang.

~~~~

Anya membuka pintu kamarnya perlahan. kucing yang di pungut tadi ia letakkan diatas kasur, segera melangkah menuju kamar mandi yang memang terletak didalam kamarnya. Ia perlu bergegas untuk membuat makan malam, sebelum wanita itu pulang.

Rumah berlantai dua dengan cat abu-abu ini terlihat sangat sepi, jadi tak masalah jika ia membawa satu atau dua penghuni lainnya berkunjung. Sebab wanita itu juga sering melakukan nya hal serupa. Ah, tidak. Jelas yang mereka bawa berbeda.

Anya terlonjak kaget saat pintu kamarnya dibuka seseorang, untung saja ia sudah mengenakan pakaian. Netra birunya menatap datar si tamu yang dengan tidak sopan masuk mendekat kearahnya.

"Anya?"

Anya tak bergeming, matanya nyalang terang-terangan menantang. Tapi yang ditatap hanya tersenyum bodoamat, tak memperdulikan ketidaksukaan gadis dihadapannya.

"Pergi"

"Kamu makin cantik, Anya"

Dahi si gadis berkerut. Lawan bicaranya sama sekali tidak mundur, malah semakin mendekat. Anya mulai takut, seingatnya ia hanya sendirian yang saat ini berada dirumah. Gadis itu menepis kasar tangan yang hendak menyentuhnya, tawa renyah keluar dari mulut pria dihadapannya semakin membuat Anya mundur.

Kembali tangannya dicekal kuat, membuat gadis itu tak bisa melawan, lantaran perbedaan kekuatan yang terlihat jelas. Sekali hentakan, tubuh ringan Anya langsung ambruk diatas kasur.

Ia panik, tapi bukan panik karena lawannya, melainkan takut jika kucing hitam tadi bisa saja tak sengaja terhimpit oleh tubuhnya.

Setelah berhasil menemukan gumpalan berbulu miliknya, ia pun bangkit. Menendang keras tulang kering pria berkumis dihadapannya lalu kabur menuruni anak tangga dengan cepat berniat pergi meninggalkan rumah.

"Anya!"

Anya terlonjak kaget saat namanya dengan lantang disuarakan oleh wanita itu. Ternyata dia dirumah. cih, kesempatannya untuk kabur lenyap sudah.

Hening untuk beberapa saat, membuat debaran jantungnya mengencang. kucing yang semula ia gendong pun meronta minta diturunkan.

"Apa itu?"

Anya masih menunduk, membiarkan Mikki turun dan berjalan dibawah kakinya.

"Mikki."

"Aku tidak menanyakan namanya. Haaah, lupakan."

Wanita itu mendekat, Anya masih menunduk. Sepatu berhak yang ia pakai terlihat cantik dimata si gadis, ia heran ada berapa macam sepatu yang wanita itu punya? Semua terlihat mewah dan berkelas.

Anya menegang saat sentuhan di pipinya terasa dingin, jantungnya kembali berdetak tak karuan.

"Sial, anak mu menendangku" Kedua mata hazel perempuan itu menatap pria berkumis tadi berjalan menuruni tangga dengan susah payah. Sedangkan Anya tersenyum bangga dengan hasil karyanya.

"Boleh aku membalasnya, sayang?" Anya menyerngit jijik dengan dua orang dihadapannya. Pria itu mencium pipi kiri Winda, sedangkan kedua tangannya melingkar di pinggang ramping wanita itu.

Winda menatap tajam gadis dihadapannya. Tanpa aba-aba menarik rambut panjang Anya dengan kasar, lalu menghempaskannya ke lantai.

Anya meringis. Sedangkan pria tadi tersenyum.

"Hukum dia, Bram"

Seringai terpampang jelas dimuka pria brengsek itu, menatap Anya seakan ia adalah santapan. Sedangkan Winda mengambil alat pematik lalu menyalakan rokoknya, duduk di sofa menyaksikan putri semata wayangnya yang semakin hancur.

Hanya fisik yang tersisa. Berharap sang pencabut nyawa membawanya pergi jauh, menyudahi permainan kehidupan brengsek yang mana, sama brengseknya dengan wanita brengsek itu.

#002