Chereads / °Marigold° / Chapter 4 - °tiga°

Chapter 4 - °tiga°

Kantin di fakultas ilkom memang sering menjadi tempat kumpul Al dan para cecunguknya. Al baru datang langsung duduk disamping Danil yang kebetulan memang kosong lalu dengan seenak udelnya menyuruh pemuda berlesung pipi itu memesankan makan siang.

Otak nya hari ini tidak bekerja dengan baik, ia butuh asupan. Materi yang ia pelajari dikelas tadi bahkan tidak ia ingat satu pun kecuali salam penutup.

Entah kenapa suasana kantin Ilkom sangat cocok dengan dirinya, padahal kantin disini tergolong yang paling rame. Bahkan orang kantoran juga sering datang kesini hanya untuk sekedar makan siang. Mungkin juga karena kantin disini memiliki penghuni yang cantik-cantik. Uhuk~

"Kenapa muka lu? kusut banget." Danil bersuara sambil menyomot es jeruk milik Nathan yang duduk dihapannya hingga kandas tanpa sepengetahuan orangnya. Definisi teman laknat emang gitu.

"Biasa, tugas ngajak ribut"

"Suruh siapa lu masuk kedokteran."

Al melempar kulit kacang yang tergeletak dimeja hingga tepat mengenai muka ganteng Nathan yang sedang asik mengetikkan pesan di IP miliknya, membuatnya berdecak kesal.

Sungguh hari ini moodnya hancur. Pagi Al yang harusnya bahagia dan cerah dirusak oleh suara toa penghuni kamar sebelah, yaitu Chika. Kakak perempuan Al satu-satunya, yang berisiknya ngalahin kentongan pos ronda. Setelah memaksa Adik laki-laki pertamanya untuk joging, yang mau gak mau alias terpaksa, eh dianya malah ditinggal pacaran. Bang---sat emang.

Chika adalah kakak perempuan Al yang empat tahun lebih tua. Saat ini sedang bekerja sebagai dokter spesialis kejiwaan A.k.a. Psikologi.

Bukan cuma Al yang bergelut di bidang ilmu kesehatan, melainkan seluruh keluarga besarnya juga bergelut di bidang yang sama. Papa Al merupakan dokter bedah sekaligus pemilik salah satu rumah sakit di Jakarta, sedangkan mama nya bergelut di bidang apoteker. Tak heran jika Al selalu mendapat sumpalan suplemen dan vitamin dari sang ibu. Adik dari ayahnya juga menjadi dokter kulit. Bahkan adik laki-laki Al juga ingin menjadi dokter gizi. Jadi tak heran juga apabila Al bermimpi untuk menjadi dokter kan?

Al tak begitu menghiraukan obrolan serta gelutan yang dilontarkan teman-temannya. Tak sengaja mata abu Al menangkap gadis yang akhir-akhir ini ada di pikirannya, sedang membawa nampan dan berjalan sendiri ke salah satu meja kantin. Jelas gadis itu menjadi sorotan.

"Anjir, ada Anya."

"Ngapain tuh lacur disini?"

"Ada yang berani dekatin gak?"

"Gak ada duit gua, anjir."

"Ah, cupu lu."

Gibran maju menghampiri Anya yang jelas tidak terlihat senang akan kehadiran temannya. Gibran emang terkenal dengan ke-playboy-annya, tak heran jika mantannya ada dimana-mana. Tapi untuk seukuran Anya? Gibran terlalu percaya diri.

"Hay Anya."

Gadis itu acuh. mengabaikan. Menganggap pria tinggi dihapannya tidaklah lebih berarti dari batagor mang asep yang ia pesan.

"Anya jangan cuek gitu dong."

Tak mendapat balasan apapun dari gadis dihadapannya, Gibran mati kutu. Malu juga bercampur jadi satu, sebab saat ini ialah yang menjadi sorotan anak kampus. Malu lantaran yang biasanya menjadi rebutan, secara tak sengaja perempuan dihadapannya menarik keluar harga diri yang ia punya.

"Iih lacur aja belagu!" Salah satu mahasiswi berteriak dari mejanya. Diikuti teriakan-teriakan lainnya, yang mendadak memicu emosi Al hingga ke ubun-ubun. Karena suasana yang mendadak riuh Gibran kembali duduk dikursinya semula, seakan tidak memperdulikan gadis bermata biru yang tengah dicibir gara ulahnya.

"Lacur sok cantik, iyuuh."

"Najis"

"Minggat lo sana"

"Dapat berapa sehari?"

"Hahahha, anjir tebal banget tuh muka"

Al panas.

Jiwanya mendadak meronta. Entah kenapa emosinya bangkit.

Tawa jelas memenuhi isi kantin, baik itu dari cewe maupun cowo. Semua menghina si biru miliknya. Al nyaris berdiri jika saja ia tidak melihat gadis itu yang lebih dulu beranjak karena makanan di piringnya sudah tidak lagi bersisa.

Anya berlalu santai, seakan ia tak mendengar apapun. Sungguh Al memuji sikap cuek gadis itu. Tidak ada manusia yang akan tahan jika di teriakin seperti itu dihadapan publik. Mungkin Anya satu-satunya.

Al masih mendengar cibiran tentang Anya. Mendadak mood makannya pun hilang. Pemuda berhelaikan rambut caramel itupun beranjak pergi, mengabaikan tatapan bingung teman-temannya. Tak menghiraukan teriakan Nathan yang menanyakan kemana ia akan pergi.

Al berjalan cepat setengah berlari.

Mengejar gadis yang sedari tadi mengganggu pikirannya.

"Nya!"

"Anya!!"

Al pasrah, akhirnya ia berlari mengejar Anya yang memang sudah benar-benar menulikan pendengaran.

Pergelangan tangan kirinya dicekal, membuat gadis itu terpaksa berhenti dan berbalik arah menatap sosok pemuda yang sudah dengan berani menyentuhnya.

Al mendadak beku. Tak menyangka bahwa otaknya tiba-tiba korslet. Manik biru itu benar-benar membiusnya.

Pemikirannya yang macet tadi mendadak jernih setelah genggaman tangannya ditepis kasar.

"Sorry." Al mengangkat kedua tangannya spontan.

"Mau apa lo?"

"lo gak papa kan?"

Dahi gadis itu berkerut tak suka.

"Maksud gue, lo gak papa kan tadi habis itu... aduh gimana ya jelasinnya. itu soalnya tadi temen gue, jadi ya gak enak aja gitu."

Sumpah Al korslet. Otak nya tak sejalan dengan mulutnya. Bukan ini yang sebenarnya ingin ia katakan.

"Bukan urusan lo! Jangan sok care!"

Anya berbalik arah, mengabaikan Al yang benar-benar 'speechless'. Ada rasa tak rela saat gadis itu mengambil langkah menjauh, spontan Al kembali menggenggam pergelangan tangan kanannya dengan sedikit bertenaga.

Anya meringis.

Ekspresi kesakitan tertangkap jelas di penglihatan pemuda itu.

"Lo terluka?"

Anya menarik tangannya yang digenggam Al dan menyembunyikannya dibalik badan ramping gadis itu. Al melihat telapak tangannya yang ada sedikit noda darah, lalu menatap wajah Anya yang terlihat ketakutan?

"Lo terluka kan, Nya?"

Anya hendak lari, jika saja lengannya tidak kembali digenggam oleh pemuda itu.

"Lepas."

"Biar gue liat Nya."

"Lepas, njing!"

"Enggak"

"Lo apaan sih!"

"Gue dokter, gue gak bisa biarin luka lo gitu aja"

"Bukan urusan lo! Lepas bangsat!"

Anya berusaha menarik diri guna melarikan diri. Dia tidak ingin siapapun mengetahui aib nya. Itu yang paling ia takutin.

"Plis Nya! Gua ngobati doang. Janji! Suer deh!"

Al memelas, manik abunya berkelip memohon, mata ia kedip-kedipkan guna memperlancar aksinya.

Dan itu, berhasil. Anya mengangguk singkat.

Membiarkan seorang dokter mengobati salah satu lukanya tidaklah buruk, kan?

Al membawa gadis itu ke ruang kesehatan. Mengambil kotak putih yang wajib seluruh dokter punya, menyuruh Anya duduk disalah satu kasur yang tersedia. Lengan kemeja gadis itu ia naikkan hingga siku, Anya berusaha menutupi memar biru yang terlihat dibalik celah telapak tangan kirinya.

Al berusaha mengabaikan itu.

Mata abu nya fokus pada luka sayat yang menjulang panjang dari pergelangan tangan. Luka itu memiliki panjang kira-kira 7 cm terlihat kontras mengoyak kulit putih Anya.

Al meringis perih.

"Luka kayak gini harus dijahit, Nya"

"Gak perlu. Kalau lo gak bisa ngobatin, yaudah."

Al menghela nafas pasrah.

Setelah melumuri kapas dengan obat merah, Al perlahan menekan pelan luka itu. Wajah datar tanpa ekspresi Anya membuat Al bingung. Pasalnya luka yang gadis itu terima bukanlah luka ringan biasa, melainkan luka sayatan yang lumayan dalam. Jika dilihat-lihat pun luka seperti ini memang harus dijahit.

"Sakit?" manik abunya menatap lurus kedalam samudra biru dihadapannya. Mencari apakah ekspresi di wajah saat ini hanyalah kebohongan.

Gadis itu menggeleng singkat, memalingkan wajahnya kekanan guna mencari eksistensi yang lain.

Kain kassa putih yang awalnya dibalut alakadar kini menjadi sebuah karya seni. Anya memandang takjub lengannya yang telah rapi dibalut perban.

"Gue kira lo dokter gadungan."

Al menaikkan alis, berusaha mengunci fokus hanya pada gadis dihadapannya. "Emang gue gak terlihat seperti dokter ya?"

"Gak ada dokter yang kerjanya ngumpul-ngumpul ngerusak diri terus main bareng cewe cewe."

Al terhenyak. Pasalnya bukan dialah dalang dari perbuatan keji tersebut. Melainkan para teman laknatnya.

Al menunduk malu, ternyata begitu kesan Anya terhadap dirinya. Astaga, Al ingin mengubur Nathan hidup-hidup. Lalu melempar mayatnya di terowongan 'Casablanca', biar ada temannya tuh kak Kunti.

"But, itu urusan lo." Anya bangkit dari duduknya, mengambil tas selempang yang tadi ia taruh dinakas dan berlalu meninggalkan pemuda yang masih dengan syahdu mengutuk nama seseorang yang tak ia kenali.

"Dan, thanks" lanjutnya pelan. Sangat pelan. Sampai-sampai Al perlu ber 'Hah' untuk mendengar apa yang tadi gadis itu katanya.

"Nya, lo ngomong apa tadi?"

"Jangan ganggu gue lagi."

Gadis dengan helaian mahkota segelap malam itu pun melangkah meninggalkan ruang kesehatan. Tak merasa bersalah atas kedukaan yang diterima telak oleh pemuda bermanik abu tersebut.

#002