"Batalin semua ini! Gue nggak mau tau!" teriak Grace setelah membenturkan sosok tegap ke dinding. Kedua tangan gadis itu terulur mencengkram kerah pria di hadapannya. Saat ini ia benar-benar dikuasai amarah.
Pria itu, Kenzie tidak merasakan apapun begitu mendapati wajah garang tertuju kepadanya. Justru ia tersenyum, sangat menawan hingga gadis yang satu kepala lebih rendah darinya terpaku dan hampir kehilangan koordinasi tubuh.
Grace menjauhkan diri. Hatinya campur aduk atas yang dilakukan Kenzie barusan. Pikirannya melayang tentang tiga tahun lalu, hal-hal yang dilakukannya belakangan ini, dan pertanyaan di mana bukti hasil jerih payahnya.
Tiba-tiba Grace menyadari sesuatu. Dirinya yang sekarang bukanlah dirinya yang dulu, tentu ada perbedaan besar di antara keduanya. Senyum remeh tersungging. Pandangannya kembali kepada Kenzie.
"Lo budeg? Batalin rencana mereka. Kalo lo bilang enggak, semuanya bakal berakhir," kata Grace penuh percaya diri. Matanya menatap angkuh wajah tirus di antara cahaya lampu taman.
Kenzie tidak langsung memberi balasan. Hanya senyum yang ia berikan. Hingga beberapa saat berlalu, barulah dia buka suara. "Kenapa? Kenapa gue harus bilang enggak untuk rencana mereka?"
Alis goresan kuas Grace menukik. Apa orang ini sedang main-main?
"Lo liat kan? Gimana muka mereka? Lo tega hancurin semua itu?"
Kalimat terusan dari Kenzie makin membuat Grace mengenyrit. Satu sudut bibir tipisnya naik ke atas. "Berusaha jadi anak berbakti, heh? Lo mau pasrahin masa depan lo? Lo bilang setuju aja, pas mereka putusin semuanya?" Rasanya tidak mungkin remaja populer seperti Kenzie mau terikat dalam perjodohan.
"Iya," jawab Kenzie tanpa ragu. Mata elangnya memberikan kehangatan ketika menatap Grace.
Reaksi Grace adalah terkekeh. Satu tangannya kembali terulur mendorong Kenzie lebih jauh. "Bagus kalo lo mau jadi anak berbakti. Tapi lo harus cari orang lain. Karna gue, nggak akan ngisi posisi itu!" suaranya meninggi.
Atas suara nyaring untuknya, laki-laki berkulit gandum sehat memejamkan mata sejenak, merenung mengenai versi Grace yang dulu dan sekarang.
"Emang siapa yang nyuruh lo jadi pasangan gue?"
Sedikit terbuka mulut Grace. Apa maksud dari pertanyaannya itu? Apa laki-laki ini mabuk? Pertanyaan yang ia ajukan bahkan tak searasi dengan keadaan yang terjadi.
Tak ada lagi yang berbicara setelah itu. Grace sibuk dengan otaknya yang mencerna kata-kata Kenzie. Sedangkan Kenzie, hanya diam sanbil bersandar malas pada dinding.
"Grace," panggil Kenzie.
Pemilik nama menaikkan pandangannya. Sambutan yang diterima adalah mata yang selalu menatapnya dingin, menatap hangat. Segera Grace membuang muka.
Kenzie nampak kecewa. "Kenapa lo nggak mau natap gue?"
Grace pura-pura tidak mendengar. Hatinya kembali berdebat soal sudah berhasil melupakan Kenzie atau belum. Namun, sekali lagi dirinya teringat segala usaha selama tiga tahun belakangan. "Gue ngomong soal pembatalan perjodohan. Nggak usah ngomong yang lain."
Kenzie mengulum senyum. Perasaanya membaik hanya karena mendengar suara gadis itu. "Gimana ya? Tapi gue nggak berminat. Kenapa nggak ngomongin apa yang lo lakuin selama di Korea, hm?"
Grace menarik tangannya setelah menyentak tubuh tinggi di depannya. "Nggak usah ngomong seakan lo kenal gue!" Telunjuknya teracung memperingatkan orang di depannya. Apa Kenzie tak paham maksud dirinya diseret ke sini? Biacaranya abstrak dan Grace benci. Sesuatu yang tak sesuai dengan aturan hanya mendatangkan bencana.
Kenzie berdiri tegak setelah merapikan pakaiannya yang sedikit kusut. Tangan kanannya terjulur menangkap jari ramping yang tertuju padanya, membungkus tangan kecil itu dalam tangannya. Hangat dan kecil.
Kemudian dibawanya mendekati bibirnya sendiri. Dengan hati-hati Kenzie meletakkan kecupan lembut sambil menatap pemilik tangan. Wajah merahnya itu, sangat imut.
Di tempat, Grace melotot bersama wajah bernoda merah jambu. Keyakinan bahwa ini mimpi tak bisa dipercaya karena semuanya terasa nyata. Mendadak udara yang mengalir ke paru-parunya tersumbat.
Grace berusaha membebaskan tangannya yang ditahan. Namun, yang terjadi adalah pinggang rampingnya ditarik dan dirinya berakhir menabrak tembok keras beraroma citrus.
Bangkit dari rasa sakit di kepala, Grace kembali berusaha. Ia hendak menggunakan kakinya. Namun, Kenzie telah membaca gerakan yang akan diambil.
Laki-laki itu menjepit dengan kakinya sepasang kaki ramping. Hasilnya Grace tak bisa lakukan apapun.
Pintu masa lalu yang telah ditutup Grace menjadi terbuka. Semua memori menyakitkan berputar berulang-ulang, tidak memberi jeda bagi gadis itu untuk menghentikan. Rasanya sangat menyakitkan, hingga air mata sebentar lagi akan menetes. Grace menunduk menyembunyikan mata basahnya sambil menggigit bibir bawah.
Kenzie bukannya tidak menyadari. Laki-laki itu melonggarkan pelukannya kemudian membebaskan kaki Grace. Dilihatnya bahu mungil yang bergetar.
Segera Kenzie memeluk Grace lagi. Ia juga merasakan kesulitan pada Grace. Sebelah tangannya naik membelai rambut pixie gadis itu sambil membatin, "Nggak papa Grace. Gue akan tebus segalanya."
Sementara Kenzie tekun menenangkan gadis di pelukannya, Grace kembali kuat usai keyakinan masa lalu bukanlah hal yang patut dikenang. Menyadari seseorang merangkulnya, tidak perlu bertanya-tanya. Berikutnya, sekali sentakan tubuhnya terbebas.
Manik gadis itu menatap benci sekaligus marah. Jadi barusan mengasihaninya? Mengasihaninya karena terlihat menyedihkan?! Ini yang sangat dibenci seorang Gracella. Dikasihani dan dan dianggap menyedihkan!
Kenzie yang tidak menduga apa yang dilakukan Grace, hanya bisa diam sebab lagi lagi punggungnya berjumpa dinding marmer. Meski perlakuan kurang menyenangkan kembali terjadi, Kenzie tetap diam sambil menatap wajah marah yang semakin marah.
Grace sendiri sama sekali acuh terhadap apa yang baru saja dilakukan. Tujuannya adalah selesai dengan Kenzie malam ini, lalu melupakan pernah saling berinteraksi. Seorang Gracella akan selalu mendapatkan yang dimau. Dan kini, ia akan membuktikan.
"Apa dengan mukul gue, gue bakal ngilang dari kehidupan lo? Jawabannya enggak. Selama lo nggak dengerin penjelasan gue, lo nggak akan pernah bisa lupa!" tegas Kenzie melirik kepalan di samping tubuh gadis itu.
Grace memang kerasa kepala, dan itu masalahnya. Yang dianggapnya benar adalah benar tanpa mendengarkan yang sebenarnya. Mereka berdua sama-sama menderita. Kenzie ingin menjelaskan dan mendengar sudut pandang gadis itu. Namun, bahkan Grace menutup kesempatan yang ada.
Perkataan Kenzie menambah batu bara ke dalam api. Grace benar-benar tidak senang diingatkan mengenai perasaan yang membuatnya konyol masih hadir, sekalipun tersembunyi di sudut hatinya. Ia sangat benci. Sangat benci.
"Kenzie, dari tadi lo ngalihin topik. Tujuannya adalah batalin perjodohan! Lo tinggal bilang enggak dan—"
Kenzie tertekan dan tak bahagia. Ia kehilangan akal karena Grace kembali mengungkit itu. Sekarang pun dirinya tidak sadar hal yang dilakukannya terhadap Grace.
Bugh.
Dalam sekejap Kenzie terhuyung ke belakang. Ia merasakan perih di pipi bagian dalam.
"Sialan!"
Kenzie menaikkan pandangannya. Sosok gadis diterpa angin malam menatap dengan marah. Tangan kecilnya mengusap bibir dengan kasar.
"Bajingan!" Setelah itu dia berbalik dan berlari kencang.
Kenzie ditemani angin malam, menatap pada punggung yang menghilang di balik dinding.