"Kalo gitu, ulangi apa yang kakek bilang tadi." Aaron, kakek Grace menyilangkan tangan di dada. Badan tuanya yang masih bugar menyandar pada sofa. Sedari tadi cucunya fokus ke ponsel. Coba kita lihat apa gadis itu benar-benar menyimak bacaannya barusan.
Grace menghela nafas. "Besok Grace berangkat ke sekolah baru," jawabnya sambil terus menatap layar di tangan. Dalam hati gadis berponi itu mendumel sebab berhasil dikelabui kakeknya. Dan sekarang, ia harus bersekolah di sini.
Aaron mengangguk puas atas ringkasan yang diberikan. "Semuanya udah siap. Pas kamu berangkat besok sama—"
"Supir," potong Grace cepat dan juga mendapat gelengan cepat. "Sama Kenzie. Kan cuma Kenzie yang kamu kenal." Aaron terkekeh geli.
Grace dibuat menekuk wajah. Memang apa yang bagus dari Kenzie sampai kakeknya tak henti mengatakan nama orang itu sepanjang waktu. "Kakek." Grace meletakkan ponselnya. "Grace bukan orang introvert. Kakek liat nanti, Grace pulang bawa temen."
Aaron mengangguk maklum. "Iya deh. Kakek tunggu. Tapi pas kamu nanti udah punya banyak temen, jangan lupain Kenzie."
Untuk kalimat itu Grace memutar mata malas. Cucunya itu sebenarnya dirinya atau Kenzie?! Namanya selalu disebut dengan gembira. Jika saja kakeknya tahu sesuatu tentang Kenzie.
"Nggak ada lagi kan, kek? Oke. Grace mau jalan-jalan." Hari Minggu memang bagus untuk berkeliling. Langkahnya membawa ke lantai dua. Jeda beberapa menit gadis itu kembali.
"Daa kakek," pamitnya tanpa menunggu respon dari Aaron.
Grace menapaki jalan sambil menikmati pemandangan rumah-rumah yang berjejer di kanan dan kiri. Ada beberapa hal yang sudah berubah.
Sekian lama berjalan, Grace menemukan kafe yang parkirannya penuh dengan motor ninja berwarna seragam. "Kayak Blue Moon," gumamnya sambil melambatkan langkah. Gadis itu menimbang-nimbang apakah yang dilihat sesuai dugaan.
"Grace!" seruan itu membuatnya menoleh. Seorang remaja berjaket dongker melambai kemudian datang setelah memarkirkan motornya. "Lo Grace kan?"
Butuh beberapa waktu bagi Grace untuk mengingat siapa gerangan orang ini, wajahnya familiar. "Devo?" timpalnya ragu.
Laki-laki berjambul itu mengangguk semangat. "Iya. Gue Devo."
"Woy Vo! Lo ngapain? Kenapa nggak mas-" Seorang gadis berambut panjang menyusul Devo dan seketika terkejut mendapati sosok Grace yang berdiri di depannya. "Kyaaa! Lo Grace kan? Akhirnya bisa ketemu live. Kapan lo ke sini?" Dia begitu heboh.
"Eh, join bareng kita kuy," imbuh gadis bernama Dawn itu. Seperti teman dekat, ia menggendeng lengan kurus Grace yang terbalut hoodie putih. Dawn membawa Grace masuk ke dalam kafe.
Di dalam, Dawn mengumumkan kehadiran sosok baru pada teman-temannya. Seperti Dawn dan Devo, mereka mengungkapkan betapa senangnya bisa bertemu Grace secara langsung.
Bersama teman di sisinya, Grace didudukkan pada meja melingkar. Dari sini semua orang bisa dilihat.
"Kapan lo balik Grace? Udah di sini aja." Pertanyaan yang terlontar dijawab Grace dengan baik. "Jumat kemarin."
Orang-orang yang mengelilinginya ini adalah para anggota geng motor ; Blue Moon. Grace bergabung belum lama ini atas tawaran salah satu anggotanya di sekolah. Ia menjelaskan cara kerja Blue Moon yang saling membantu, tidak terkecuali dalam perihal balas dendam. Grace memiliki niat serupa, jadinya setuju dan bergabung.
"Hm. Balik aja atau ada rencana sekolah di sini?"
Figur Grace yang santai mengulum senyum. "Ada rencana sekolah di sini." Padahal saling kenal pun belum lama. Grace tidak mengerti kenapa dirinya begitu populer di antara mereka.
"Wah!" Semua orang terkejut. Tentu semua bahagia. Sosok inspiratif yang menegaskan bahwa orang yang menyakiti hati harus dibalas, akhirnya berada dekat dengan mereka.
"Btw, lo mau sekolah di mana?"
Yang bertugas menjawab berusaha mengingat nama sekolah yang dikatakan kakeknya. "SMA Mayapada," balasnya seraya memperhatikan raut yang berbeda-beda.
"Anak Blue Moon banyaknya pada sekolah di sana. Gue sama Devo juga," sahut Dawn antusias mengetahui fakta tersebut.
"Kalo gitu gue mau pindah ke Mayapada."
"Gue juga!"
"Gue mau pindah sekolah!"
Kafe bertambah ramai akibat gagasan ingin pindah ke SMA Mayapada.
Di waktu seperti ini Grace jadi teringat kata-kata kakeknya tentang berangkat diantar Kenzie. Pasti ada alasan selain hanya kenal Kenzie seorang. "Karna gue masih baru. Kalian bisa jelasin nggak, apa yang ada di Mayapada."
Keramaian yang mulai menipis, hilang sepenuhnya. Dawn bertepuk tangan kecil. "Kalo itu biar gue yang jawab. Di Mayapada ada ...."
###
Saat matahari berpindah posisi, Grace pulang ke rumah. Bincang-bincangnya dengan Blue Moon menjernihkan siasat yang disusun oleh kakeknya. Kakeknya itu mungkin kena semacam pemikat. Di hati Aaron kini hanya ada Kenzie. Tadi saat sarapan dirinya ingin menerangkan tentang Kenzie, tapi Aaron keburu memarahinya karena bicara ketika makan.
Terlepas dari itu, Grace telah memiliki rencana yang digarapnya selama separuh malam. Disokong dukungan dari sekutu, ia bisa menjamin dirinya akan segera keluar dari permainan konyol ini.
"Semangat Grace," beritahunya pada diri sendiri. Wajah sumringahnya menularkan senyum ke ART yang menunggu.
"Non udah pulang? Non mau makan apa? Biar bibi siapin," sapa Bi Rina hangat.
"Apa aja bi. Yang penting enak."
Selagi menunggu Bi Rina menyipakan makan siang, Grace membaca narasi di ponsel yang berisikan upaya-upaya dalam menggagalkan perjodohan. Jika saja makhluk sialan itu mau berkompromi, mana ada ia repot-repot memikirkan rencana sendiri. Tiba-tiba Grace menyumpahi orang yang bersangkutan.
Ting!
Bunyi notifikasi mengusik di tengah fokusnya membaca. Sebuah pesan dari nomor asing. Penasaran, jarinya bergerak membuka isi pesan itu.
+62858xxxxxxxx
Grace 😉
Sv nomer gue.
Kenzie^^
Dengan segera gadis berkulit susu itu menghapus pesan. Tidak perlu ditanyakan sumber Kenzie mendapat nomor ponselnya. Tentu saja dari sang kakek tercinta.
Grace berdecak sebal saat pesan-pesan baru dari Kenzie kembali masuk. Mau dibalas, nggak guna. Mau dihapus, terus ada. Berkat orang itu hidupnya berganti mode jadi menyebalkan.
Drrt. Drrt. Drrt.
Pemilik ponsel mengambil kembali barangnya yang tergeletak di meja kaca. Panggilan dari nomor tak disimpan alias nomornya Kenzie. Grace tak memilih mematikan panggilan, melainkan menghidupkan mode sunyi kemudian mengabaikan ponselnya. Biar yang di sana kesal.
Hati gadis itu menjadi riang memikirkan Kenzie di sana kesal sebab panggilannya tak kunjung dijawab.
Selagi menunggu panggilan berakhir, Grace mengunyah apel. Imajinasinya semakin berkembang. Mau Kenzie kasih kabar akan ada gempa bumi di sini pun, tidak akan ia jawab.
Setelah beberapa saat berlalu, gadis itu merasa ponselnya berhenti menyala. Grace tersenyum dan menyambut kedatangan makan siang. Ia sangat bahagia berhasil mengerjai Kenzie hingga tidak menyadari ponselnya kedatangan sebuah pesan.
+62858xxxxxxxx
Grace, nanti malem jalan yuk 😘
Kalo lo nggak jawab dalam lima menit, artinya iya 😊