Saat langit berubah gelap dan lampu-lampu mulai dinyalakan, saat itulah Grace yang ngemil di ruang tengah, mendapati Aaron pulang kerja. Meski begitu, Grace sama sekali abai akan keberadaan Aaron yang melangkah ke arah dirinya.
"Grace, kok masih santai-santai? Kamu nggak siap-siap?"
Grace menolehkan kepalanya. Aaron berdiri di samping sambil tersenyum. Bukannya tidak ada acara apapun malam ini. Kenapa kakeknya bicara begitu?
"Kakek nggak ada agenda makan malam dadakan kan? Grace capek," timpalnya makin menyender pada sofa.
Aaron menatap bingung. Ia bergabung duduk bersama cucunya. "Kamu udah pikun ya Grace? Masih muda lho."
Grace mengenyrit dan kembali memalingkan pandangan dari layar kaca. "Apa sih kek? Kakek itu mau ngomong apaan? Grace nggak ngerti." Matanya kembali pada televisi yang sebenarnya tidak begitu dipedulikan siaran apa yang sedang berlangsung.
"Lho? Kok kamu bilang gitu. Emang Kenzie nggak ngasih tau? Padahal dia tadi minta ijin sama kakek buat ngajak kamu jalan."
Seketika Grace menatap tak percaya kakeknya. Bagus. Si Kenzie itu mulai mempengaruhi kakeknya. "Kakek kenapa sih? Segitunya suka sama Kenzie?!"
Raut Aaron sulit dimengerti. "Ya, kakek emang suka Kenzie. Eh, dari pada kamu begini, mending cepet siap-siap. Kenzie pasti hampir sampai ke sini." Ia melihat jam silver di tangannya.
"Ish. Kakek nyebelin! Grace nggak suka!" Dalam sekejap gadis itu berlari ke kamarnya di lantai dua. Aaron yang ditinggalkan terkekeh geli. Anak muda memang begitu, sulit mengungkapkan isi hati.
Di kamar bernuansa hitam dan perak, pemilik ruangan mengehempaskan tubuh kesal ke ranjang. Kenzie merebut segalanya dari dirinya, bahkan kakeknya yang selalu di sisinya, baik suka maupun duka.
Memilih tak mau lagi memikirkan kenyataan tersebut, Grace menyalakan ponselnya, inisiatif main game. Namun, sebuah notifikasi pesan belum dibaca menghentikan gerakannya.
+62858xxxxxxxx
Grace, nanti malem jalan yuk ๐
Kalo lo nggak jawab dalam lima menit, artinya iya ๐
Pada saat itu juga Grace bangun sambil membuka mulut lebar-lebar. Nomor ini, ini adalah milik si sialan itu. Mendadak amarah mulai berkobar di hatinya. Kenzie itu sudah berani mengganggunya, dan malah mengirim pesan aneh. Ini dikirim tadi siang sama saat laki-laki itu mengusiknya dengan panggilan.
Brum. Brum.
Kaki Grace terangkat menuju jendela besar. Sebuah Audi berhenti di depan pagar rumah. Tak lama kemudian, si pengemudi keluar. Itu Kenzie.
Tanpa menunggu Grace membuka pintu dengan kasar dan berlari sambil melupakan sandal rumahan di dekat kasur. Ia harus memberi pelajaran pada orang sok itu. Tiba di lantai bawah, ia melihat kakeknya menyambut bahagia sosok jangkung di pintu.
Dengan nafas terengah-engah, Grace berjalan ke arah keduanya. Satu tangannya mengepal erat. Aaron paham apa yang akan dilakukan Grace dan dengan sigap meraih bahu gadis itu agar tak melangkah lebih jauh.
"Kakek! Lepasin! Tu orang nyebelin! Grace harus kasih pelajaran!" raung Grace meronta-ronta di bawah pegangan kakeknya. Bi Rina yang mendengar keributan dari dapur datang dan membantu tuan besar memegang nona.
"Akh! Lepasin!" Grace masih berteriak dengan pandangan marah ke arah Kenzie. "Seenaknya lo sama gue! Sini! Maju lo! Maju lo!"
Kesal melihat cucunya yang semestinya bersikap anggun, Aaron meletakkan pukulan di kepala Grace. Tak ayal gadis itu menghentikan kegiatannya untuk mengelus kepalanya yang nyeri. "Kakek jahat! Grace nggak suka!" Wajah merahnya akan menangis. Namun, mengingat ada orang luar, ia membatalkan. Jadilah bibir yang mengerucut.
Kenzie masih berdiri di ambang pintu. Ia diam-diam tertawa melihat penampilan gadis muda di sana. Rambut pixienya yang halus berada dalam posisi tak beraturan, dan wajah kecilnya seperti kepiting rebus. Sangat menggemaskan.
"Grace, duduk. Kenzie ayo masuk."
Kalimat Aaron menambah kadar kekesalan pada diri Grace. Sejak makan malam itu, hanya nama Kenzie yang disebut. Namanya disebut pun jarang-jarang. Kini Grace berkewajiban menyingkirkan saingannya dalam kasih sayang kakek.
Bi Rina menuntun lembut nona muda yang masih kesal. "Tuan memang suka sama den Kenzie, tapi non kan cucunya. Tuan pasti lebih sayang ke non," ungkapnya halus.
"Bi Rina nggak usah hibur Grace. Kakek nggak sayang Grace lagi. Hiks."
Wanita di samping Grace menatap prihatin. Nonanya ini meski kelihatan kuat, sebenarnya sangat manja dan selalu ingin disayangi. Melihat Aaron dan Kenzie tiba, Bi Rina meninggalkan Grace di ruang tamu.
"Kakek tinggal ya? Grace, jangan aneh-aneh." Aaron dari menatap hangat Kenzie berubah dingin pada cucunya.
Yang ditatap terakhir kali membuang muka dan bersedekap dada.
"Grace?" peringat Aaron seraya menanyakan kepekaan gadis itu. Ia tahu ada kesalahpahaman di antara dua remaja ini.
Grace meniup poninya dengan jengkel. "Iya." Dan melirik sedikit ke kakeknya yang langsung mengangkat tumit dari lokasi.
Sepeninggalan kakek, Grace mendiamkan Kenzie. Rasa kesal belum juga mengudara dari dirinya. Ingin memberi satu saja pukulan di wajah sok ramah itu, tapi ada Aaron yang mengawasi dari lantai atas.
"Grace," panggil Kenzie untuk mengisi keheningan ini. Masih tak ada jawaban, Kenzie bangkit dari tempatnya. Gadis keras kepala itu hanya bisa ditaklukan dengan cara yang tepat.
Tiba di depan Grace,ย tangannya terjulur menepuk ringan tempat Aaron mendaratkan pukulan tadi. Dari tepukan berubah belaian. Saat Kenzie melakukan ini, tidak ada gerakan apapun dari pihak lain.
"Kenapa nggak siap-siap? Katanya mau jalan," tukas Kenzie. Segera dirinya dihadapkan wajah merah Grace. Entah karena malu atau marah. Namun, di saat Grace menghempaskam tangannya kasar, ia tahu gadis itu marah.
"Heh! Dari kemarin gue tahan semuanya. Tingkah lo juga gue anggep angin lalu. Tapi sekarang, gue nggak bisa tahan lagi!" hardik gadis bermata arang itu sambil berusaha menandingi tinggi manusia di depannya.
Kenzie menurunkan pandangan. Pemilik mata berkilauan mendongak begitu tinggi hanya untuk melihatnya. Pasti tidak nyaman. Maka ia mengulurkan tangan dan mendorong kepala belakang Grace.
"Udahan dong marahnya. Siap-siap gih. Entar kemaleman." Kenzie kembali menepuk ringan kepala gadis yang selisih tinggi satu kepala dengannya.
Grace mencibir atas kalimat sok perhatian tersebut. "Lo pikir lo siapa? Gue nggak bisa sembarangan diatur orang."
"Udah dong Grace. Nanti gue kabulin apa yang lo mau." Kalimat kedua berupa bisikan, menambah daya pikat untuk kalimat itu sendiri.
Grace berpikir apa yang diinginkannya akan dikabulkan oleh Kenzie, termasuk permintaan yang sangat diharapkan. "Nggak terkecuali?" tanyanya mencari keyakinan dalam kalimat Kenzie.
"Iya." Kenzie mengangguk. Sebenarnya tidak sulit membuat Grace jinak. Dia hanya seperti anak kecil. Sesuatu sederhana yang ditawarkan kepadanya sudah bisa menerbitkan senyum.
Balasan dari lawan bicara memuaskan Grace. Kenapa Kenzie tak menawarkan hal seperti ini dari kemarin. "Oke. Lo tunggu sini."
###
Author : "Eyak! Grace seketika jinak."
Kenzie : "๐ Kehebatan gue jangan diraguin."
Author : "Oke, Nak. Ya udah, selamat kencan Minggu malam^^"