Garvin membenarkan posisi sementara Grace perlahan mengangkat wajahnya. Jeda beberapa detik, gadis itu kembali ke postur awal. Dia tidak mampu menghadapi orang di depannya. Hanya dua detik melihat mata elang itu, Grace bisa meramalkan dirinya akan mencair di sini. Entah bagaimana kehidupan laki-laki itu, aura yang melekat padanya dapat menaklukan orang.
Namun, tidak sopan juga tidak menyumbang kalimat ketika ada yang mengajak bicara. Grace menghela nafas.
Kerutan samar terjadi pada dahi Garvin. Kini laki-laki itu yakin dirinya begitu menakutkan. "Gue nggak gigit," tukasnya dengan nada murung. Matahari yang bersinar makin terang seolah mengejeknya yang serasi dengan kegelapan. Selama ini ia selalu abai pada perkataan orang, karena hanya dirinya sendiri yang tahu bagaimana kehidupannya. Namun, melihat bagaimana takutnya gadis ini, ada motivasi untuk menjelaskan.
"Enggak. Tadi kelilipan."
Garvin tertarik dari lamunannya. Sepasang manik kecil menatap tanpa dosa. Tiba-tiba kerisauan yang duduk dalam hati laki-laki itu terbang bersama hembusan angin yang mendorong daun lepas dari tangkainya.
###
Tempat paling banyak dikunjungi ketika jam istirahat di sekolah adalah kantin. Baik siswa maupun guru akan pergi ke sana usai bel berdentang diikuti kegiatan mereka yang dihentikan untuk mengistirahatkan pikiran dan tubuh.
Di antara kesibukan dan kebisingan tersebut, terdapat Dawn yang menyeruput mie bahagia. Teman-teman yang berada di dekatnya menyaksikan dengan heran. Mereka pikir Dawn begitu sayang pada makanannya hingga tidak menghendaki itu habis dalam waktu singkat.
"Gue nggak tau kalo lo nggak dikasih uang jajan," tehur Zack setelah sekian lama menonton gadis bertubuh ceking melahap mi dengan senyum.
Dawn menunjukkan senyum dan semua giginya terekspos. "Kalo punya makanan tuh, harus sangat dinikmati. Kita kan nggak tau, apa makanan ini akan jadi makanan terakhir kita." Cara bicaranya bijaksana. Seorang pertapa adalah sebutan yang tepat untuk Dawn.
"Terserahlah. Tapi yang penting sekarang, Grace gimana? Kita nggak tau dia lagi apa. Lo sih, main dibiarin aja."
Fokus para penghuni meja panjang tersebut menuju ke seorang gadis berambut sebahu dengan bando di atasnya. Gadis itu memandang Dawn penuh perhitungan sedangkan tangannya bergerak mengambil potongan ayam kecap milik Dawn yang duduk di seberangnya.
Kecuali Dawn dan Lea di meja, orang-orang saling berdiskusi mengenai cerita yang setiap orang yang menceritakannya melebih-lebihkannya. Entah itu tentang sikap Kenzie yang kelewat dingin, ataupun perilaku Grace yang arogan.
"Lea, lo tenang aja. If Grace needs help, then she'll call," balas Dawn menampilkan wajah tenang bersama satu tangan yang memperagakan. Pikirnya Lea tidak begitu mengenal privasi dan waktu untuk sendiri.
"Yang bener? Tapi jam istirahat mau abis lho, dan Grace nggak muncul juga. Kalo dia nyasar gimana? Lo sendiri kan yang bilang dia emosi banget pas pergi," kata Hazel.
Menanggapi situasi ini, Dawn bertepuk tangan beberapa kali agar ia diperhatikan. "Pernah nggak sih lo, lagi marah atau sedih, sedih banget, sampe pengen makan bontomat sekardus. Terus ada yang datengin lo dan pengen hibur, tapi lo nggak mau. Jadinya lo pergi dan menyendiri."
Terlihat beberapa mengangguk setuju dan lainnya menggaruk kepala meski tidak gatal. Kata Dawn berada di level medium untuk dipahami.
Senyum bangga terbit di wajah Dawn. Keadaan seperti ini sangat disukainya. "Pikir ayo pikir. Dawn gitu lo. Selalu... Eh? Min gue tambah, ya?"
Teman-teman menatap Dawn melepas kacamatanya lalu mengucek mata. Gadis itu nampak mencoba memfokuskan matanya ke sebuah objek.
"Kok bisa minusnya tambah? Lo marathon drama lagi?" tanya Devo memperhatikan Dawn semakin mengucek matanya. "Jangan dikucek."
"Lo liat apaan sih Dawn? Semut?"
Suara orang-orang tidak didengar oleh Dawn. Gadis itu sangat tertarik sekaligus terkejut oleh objek yang tampak tidak terusik akan keramain di sekitarnya. Ketika Dawn menyadari dua orang di sana memiliki bayangan, secara spontan tangannya menggebrak meja.
"Lo kesambet Dawn? Ngagetin orang aja. Woy, sadar." Lea menjentikkan jarinya di depan wajah temannya. Namun, sepertinya itu tidak berhasil, maka Lea mencubit pipi Dawn.
Untuk beberapa waktu, Dawn mengaduh kesakitan. Meski begitu, ia tidak memarahi pelaku. "Guys, itu beneran Grace?" tanyanya was-was. Tidak masalah ia membuat keributan karena terkejut melihat pasangan yang tampak serasi, tapi yang jadi masalah adalah siapa mereka.
"Itu... Garvin? Sama Grace?!" Lea menutup mulutnya setelah menoleh dan mendapati hal mengejutkan. Pertanyaan yang sama dengan Dawn bermunculan di kepalanya, apakah mereka nyata?
"Itu Garvin!"
Penghuni kantin mulai menyadari kehadiran The Best Badboy yang jarang terlihat di publik, terlebih lagi bersama perempuan. Para penggemar Garvin mendesah kecewa dan lainnya terkagum-kagum tentang betapa tampannya laki-laki itu.
Beberapa saat yang lalu...
"Udah istirahat, ya?"
Grace menoleh ke samping. Figur samping seorang laki-laki menawan tertimpa cahaya matahari. Tiba-tiba Grace merasa pipinya memanas. Cara laki-laki itu membujuknya beberapa waktu lalu terlalu sabar.
"Iya." Grace hanya bisa mencicit. Orang yang sedang mengantarnya kembali ini terlalu baik. Kadang hal yang dilihat belum pasti sesuai dengan kenyataan.
Garvin memalingkan wajahnya. Ada yang dipikirkan gadis kupu-kupu itu. "Gue laper. Ke kantin?" Rasanya kata yang diucapknya blak-blakan. Hatinya harap-harap cemas menanti jawaban dari Grace. Apa mungkin ia harus memperbaiki kata-katanya barusan?
Dalam beberapa detik Grace dibuat terkejut juga gugup. Sesuatu apa yang terkandung dalam kalimat tadi sampai membuatnya terdengar seperti ajakan menuju kehidupan baru?
Perasaan Grace benar-benar campur aduk dan gadis itu bingung. Namun, ajakan itu ke kantin karena lapar. Mengapa ia jadi membesar-besarkannya?
"Grace?"
Pemilik nama menaikkan pandangan. Gerakannya refleks sehingga di saat wajah Garvin terpampang jelas di hadapannya, segera ia membuang muka. Ini kedua kali namanya disebut oleh Garvin, dan Grace merasa menjadi seorang yang penting.
Garvin merasa dirinya ditolak secara langsung. Tentu saja. Meskipun Grace merupakan murid baru serta baru bertemu dengannya, dia telah mendengar betapa tidak baiknya dirinya. Tiba-tiba Garvin menyesal atas segala kelakuannya yang didasari balas dendam. Kalau saja peristiwa ini ia ketahui, sudah sejak dulu ia memperbaiki diri.
Namun, manusia tidak akan tahu apa yang terjadi di hidupnya. Terlepas dari itu, waktu tidak bisa kembali. Garvin tersenyum kecut.
"Udah sampe." Demi menambal rasa kecewanya, dengan semangat laki-laki itu menunjuk lorong yang menuju ke halaman utama.
Grace tidak berekasi apa-apa. Gadis itu merasa memberikan penolakan untuk niat baik Garvin. Seorang bisa begitu perhatian jika merasa akrab, dan tampaknya Garvin sedang melakukannya.
"Em. Jalan ke kantin ke mana?"
###
Garvin : "Senengnya dapet lampu ijo dari doi 😁"
Author : "Turut bersuka cita. Pajak jadiannya ditunggu 😁"
Dawn : "Kapan Grace sama Garvin jadian?! Apa jangan-jangan mereka udah pacaran duluan? Gue telat dapet berita! 😡"