Di waktu kembali, Grace melihat jam besar di ruang tengah menampilkan pukul sepuluh kurang lima belas menit. Ia pikir kakeknya sudah terlelap, tapi ternyata tidak.
Aaron berdiri di depan kamarnya bersama senyum. "Wah, siapa nih? Cantik banget. Bawa boneka pula." Melihat beruang pada Grace, jadi ingat sudah lama cucunya tidak dekat dengan boneka.
Mata almond memandang pria berambut perak. "Ini Grace kakek. Cucunya kakek." Tubuhnya maju memberi pelukan. "Kakek kok belum tidur?" tanyanya cemas. Sepanjang hari kakeknya ini bekerja keras, dan saat hari telah selesai, waktu yang dimiliki tidak diisi dengan istirahat.
Aaron tertawa kecil sambil melepas rangkulan. "Kakek mau liat cucu kecil kakek yang baru pulang kencan. Seneng banget kayaknya."
"Kakek, ini bukan kencan. Cuman jalan-jalan biasa." Jadi yakin jika Kenzie tidak pernah lupa melapor. Kata berbakti itu rupanya dilaksanakan juga pada orang lain.
Wajah Aaron meragukan. "Beneran? Terus ini apa? Kakek kok baru liat sekarang." Jari keriputnya menyentuh hiasan kupu-kupu.
Pemilik membalas santai sambil menyentuh benda yang dimaksud. "Ini? Hadiah." Mau disebut apa lagi bando ini kalau bukan hadiah? Kalau dia membeli dari Kenzie, baru sebutannya barang yang dibeli.
Anggukan masuk ke mata Grace. Kakeknya terlihat senang atas kepulangannya dalam keadaan ini.
"Oke. Rahasiamu bukan rahasianya kakek. Ya udah, buruan tidur. Besok hari pertama sekolah."
"Oke kakek!"
Grace berjalan ke kamarnya sambil menepuk kepala boneka. Besok adalah hari pertama sekolah sekaligus hari kedua dimulainya janji Kenzie. Senyum licik berada di wajah cantik yang maskulin itu. Sepertinya Kenzie harus ribuan kali memutar akal agar bisa berjaya.
###
Pada pagi selanjutnya, Grace sedang mematut dirinya di depan cermin. Tubuh rampingnya dibalut kemeja putih serta rok abu-abu selutut. Dahi yang biasanya tertutup rambut, sedikit tampil.
"Kok gini sih?" Keluhnya insecure melihat bayangannya. "Kakek, kok bukan celana sih?" Gadis itu keluar menghampiri kakeknya yang juga baru keluar dari ruangannya.
Aaron menaikkan kedua alis. Lalu saat hal mulai dipahami, pria kepala enam itu memberi balasan yang seketika membungkam bibir tipis Grace. "Kenapa? Emang di sekolah lamamu nggak pake rok? Pake celana? Oh gitu. Makanya temennya banyakan cowok."
Grace memamerkan barisan gigi putihnya. Berinisiatif melarikan diri, Aaron menghentikan. "Grace, bando kupu-kupu kamu mana? Cucu kakek tambah imut lho kalo pake itu."
"Grace simpen, kek. Emang kenapa kalo nggak dipake? Grace tetep jadi Grace." Rautnya menjelaskan bahwa ini bukan masalah besar.
Aaron memandang prihatin dan berdecak tak suka. "Aduh. Gracenya kakek kok begini sih? Pantesan nggak punya pacar juga."
Dibuat menekuk bibir gadis itu. "Kalo Grace punya pacar, kakek bakal batalin perjodohannya?" Jika cara itu bisa, maka ia akan mencari pacar magang.
Aaron tertawa kecil lalu merangkul cucu tunggalnya menuju lantai dasar. "Grace, seiring waktu semua bisa berubah. Entah jadi baik atau jadi buruk," nasihatnya. Dalam hubungan dua remaja itu, dirinya tidak perlu ikut campur, tapi memberi beberapa bumbu mungkin jadi menarik.
Grace duduk tenang dalam Bentley usai menyelesaikan sarapan yang dipenuhi godaan serta candaan dari sang kakek. Sekian lama menatap pohon dan bangunan yang seperti bergerak, Grace membaca kembali isi kertas yang diberikan kakeknya.
Begitu serius gadis itu membaca hingga tak terasa mobil telah berhenti. Beberapa menit berlalu, supir baru sadar nona belum turun, berinisiatif memanggil pelan-pelan, dan Grace tersentak hebat. Gadis itu keluar dengan canggung.
Baru lewat dua detik ketika gadis beransel abu-abu berdiri di atas kakinya, rombongan kecil yang siapa lagi kalau bukan anak Blue Moon, datang padanya.
"Widih, Grace udah dateng aja." Dawn menggandeng lengan gadis di depannya. Teman-teman yang lain mengikuti di belakang dan samping. "Jadi, kelas beruntung mana yang jadi kelasnya seorang Grace?" tanya Dawn energik.
"Sebelas IPA dua."
Balasan santai dari Grace menghentikan langkah semua orang. "Grace, ketua Black Wings di sana juga kelasnya," imbuh Zack langsung. Wajahnya tak senang.
Grace mengangguk kecil. Alur kisah yang ditulis kakeknya luar biasa. Sudah satu sekolah, lalu satu kelas. Apa nanti mau satu bangku juga?!
"Yah, nggak sekelas dong kita. Huhuhu. Dawn sedih. Nanti kalo istirahat gue samperin lo." Dawn menyandar lesu ke bahu gadis yang sedikit lebih tinggi darinya. Rambut panjang tanpa pengikatnya digesekkan pada pundak Grace.
Rombongan lanjut jalan kembali. Bercanda ria mereka lakukan selama perjalanan berjudul 'Mengantar Grace ke Kelas Baru.'
"Ei, Grace. Gue baru sadar lo pake bando. Cantik banget." Tatapan Lea kepada kupu-kupu perak yang tampak hidup dan duduk diam di kepala Grace. Pembuatnya harus diberi apresiasi setinggi-tingginya.
Grace tersenyum. "Punya lo juga bagus. Mawar, cinta sejati." Matanya terarah ke bagian atas kepala Lea.
"Aw! Bisa aja lo. Hihi." Lea terpukau oleh mulut manis Grace. Apa yang dimakannya hingga bisa berkata demikian?
Kemudian rombongan tiba di depan kelas berpapan 11 IPA 2. Hiruk pikuk ala anak sekolah menjadi latar perbincangan antara Grace dan teman-temannya.
"Dawn. Nggak usah aneh-aneh." Devo yang puas diam akhirnya bicara. Wajah galaknya ia tunjukkan agar tetangga rumahnya itu tidak berbuat hal berlebihan. Setiap ada anggota baru, tidak pernah mau ketinggalan memperkenalkannya ke banyak orang dengan suara yang sangat 'merdu'.
Lea memalingkan mata dari Dawn yang cemberut. "Grace. Entar istirahat kita ke sini. Lo jangan ngilang ke tempat lain." Tangannya memperagakan 'oke'.
"Ya," timpal Grace sambil melambaikan tangan. Dengan begitu empat remaja hilang dari pandangannya.
Selesai dengan melambai pada mereka, kemudian Grace memutar tubuh, menghadap seantero kelas yang langsung menatapnya. Banyak dari mereka terpana melihat kehadirannya. Pandangan tidak biasa menghujani gadis di depan pintu.
Grace merasakan canggung di situasi ini. Padahal sebelumnya dirinya pernah mengalami hal serupa. Namun, itu sudah lama. Ya, yang dirasakannya ini wajar.
"Wah! Grace!" Separuh kelas tiba-tiba berlari kepadanya bersama kertas dan pulpen. Jangan lupakan juga ekspresi antusias mereka yang berbeda-beda.
"Gue liat lo di turnamen bulan lalu. Keren banget! Nggak nyangka bisa ketemu langsung!" Mereka meminta diberi tanda tangan, tapi Grace tidak langsung memberikan. Seperti ada uang ada barang, ia menanyakan tentang kursi kosong. Di saat jawaban telah didapat, Grace ingin berharap saja tidak ada kursi kosong untuknya.
"Kursi kosong? Itu di sana, sampingnya Kenzie."
Mata enggan Grace tertuju pada remaja yang menyembunyikan wajah di lipatan tangan. Harusnya mulutnya lebih terjaga dari mengucapkan yang tidak sepatutnya.
"Nggak papa Grace. Ini bagian naskahnya kakek. Harus dihadapi. Semangat!" serunya dalam hati.
###
Grace : 😡
Author : "Nggak berani komen 😓"