Chereads / Really I Want / Chapter 21 - Chapter 20

Chapter 21 - Chapter 20

Pagi ini Zea sudah siap akan pergi ke sekolah. Dia memakai sedikit lipgloss agar tidak terlihat pucat. Matanya juga masih bengkak karena menangis, dia memakai sedikit bedak dibagian kantung mata untuk mengurangi terlihatnya mata bengkak itu. Hari ini dia sengaja membawa lipgloss ke sekolah untuk antisipasi agar tidak ada orang yang mencurigai keadaannya.

Dia juga harus bisa waspada agar tidak ketahuan oleh guru. Mana mungkin pihak sekolah mengizinkan muridnya untuk memakai make up. Sekolah tempat mencari ilmu bukan ajang perlombaan make up.

Saat menatap cermin, dia tersenyum tipis. Hari ini Dia akan menutupi tiga luka, yaitu kaki, dahi, dan mata. Bukannya agak ringan, tiap hari justru tambah berat. Beban hidup yang tidak bisa diajak kompromi.

"Miris banget hidup gue. Sandiwara terus-terusan dan entah sampai kapan akan berakhir," batinnya.

Beberapa menit dia memperhatikan dirinya di cermin. Dari atas sampai bawah dan dari depan sampai belakang. Dia sedikit terkikik geli. Bagaimana tidak heran, kalau sampai detik ini dirinya masih setia bertahan di posisi seperti.

Posisi menahan luka, tekanan batin, dan pikiran. Padahal itu semua bisa berakibat mental. Jika saja tidak kuat, Zea bisa gila.

Dia memasukkan buku-buku pelajaran ke dalam tas. Hari ini dia benar-benar ingin serius belajar. Setiap saat bersedih, Zea tidak pernah melampiaskan kesedihannya ke dalam kegiatan yang negatif. Dia selalu mencari hal-hal positif yang bisa dia jadikan pelampiasan. Setidaknya pelampiasannya itu bisa menghasilkan hal-hal yang bermanfaat bukan merugikan dirinya sendiri ataupun orang lain.

Zea melangkahkan kaki menuju kamar Ana. Sesuai dengan permintaannya, dia ingin meminjam kaos kaki Ana dan Ana juga yang menyuruh Zea datang ke kamarnya untuk mengambil kaos kaki.

"Na!" panggil Zea tanpa mengetuk kamar membuat Ana terkejut dan kesal.

Padahal saat Ana mau masuk ke kamar Zea, dia akan mengetuk pintu terlebih dahulu. Walaupun terkadang tidak ada respon Ana tetap masuk sedangkan Zea suka seenak jidat sendiri.

"Ketuk pintu dulu kali, Kak! Bikin kaget saja."

Zea terkekeh melihat Ana kesal. Sebab dia tahu bahwa Ana paling kesal jika ada yang membuatnya terkejut. Katanya bikin jantung deg-degan terus.

"Lagian sama adik sendiri masa harus ketuk pintu dulu," protes Zea.

"Ya nggak gitu konsepnya. Kalau aku lagi ganti baju gimana? Malulah masa dilihat Kakak."

"Kenapa nggak dikunci pintunya?"

"Hehehe sering lupa."

"Kecil-kecil otaknya tua banget. Gue pinjem kaos kaki lo ya."

"Iya, ini sudah aku ambilkan," ujar Ana memberikan kaos kaki berwarna putih.

"Makasih, Ana."

"Sama-sama, Kak. Ana pergi ke meja makan dulu ya. Jangan lupa nanti sarapan. Kemarin Kak Zea sakit. Walaupun sekarang sudah sehat, Kakak harus bisa jaga kesehatan. Pokoknya harus ikut sarapan."

"Iya-iya, cerewet banget sih." Ana keluar dari kamarnya. Zea terus menatap punggung Ana. Dia tidak tahu bagaimana persis perasaannya sekarang. Antara sedih atau bahagia. "Lumayan, polesan gue bisa mengelabuhi Ana. Tapi, andai lo tahu yang sebenarnya, Na," batinnya.

Setelah selesai memakai kaos kaki, Zea menenteng tasnya dan segera menuju meja makan untuk sarapan. Di sana sudah ada Diana dan Ana yang sedang menyantap makanan. Zea yang baru saja datang merasa canggung. Dia hanya tersenyum tipis agar tidak terlalu terlihat kaku.

Ana tahu betul bahwa Zea merasa tidak nyaman di posisi ini. Dia mencoba mencairkan suasana dengan menyapa dan mengajaknya untuk sarapan. Walaupun dia juga sudah tahu bagaimana respon Zea nantinya, setidaknya membuat Zea tidak merasa sendiri.

"Pagi, Kak!"

"Pagi!"

"Ayo, Kak, sarapan! Kayak orang nggak kenal saja," ujar Ana menarik Zea untuk duduk di kursi sebelah kirinya.

"Eh, iya, Na."

Zea mulai menyantap makanan. Mereka bertiga kembali berada di dalam suasana kecanggungan. Terutama antara Zea dan Dina. Sepasang anak ibu itu sedari tadi saling memalingkan muka. Mereka sama-sama tidak sudi untuk saling menatap.

Hingga akhirnya Diana membuka suara. "Zea, hari ini kamu nggak dapat uang saku karena perbuatan kamu kemarin. Apa kamu tahu? Perbuatan kamu kemarin tidak sopan. Kamu juga tahu di sini saya sebagai apa? Saya ini orang tua kamu, kemarin kamu tidak sopan dengan saya. Jadi, ini adalah hukuman buat kamu karena membentak Mama."

Selera makan Zea langsung hilang. Dia meletakkan sendok. Mengapa Diana harus mengatakannya sekarang? Ini terkesan tidak lucu. Seketika Zea langsung sudah merasa kenyang.

Cukup mudah bagi Zea. Tidak diberi uang saku sudah menjadi hal biasa. Dia segera menghabiskan minumnya.

"Aku nggak apa-apa kok, Bun. Aku nggak terlalu berharap banyak diberi materi. Aku hanya berharap diberi banyak kasih sayang dari orang-orang terdekatku. Materi gampang dicari kalau kasih sayang sulit."

"Kamu berani lagi sama saya?"

"Nggak kok, Bun. Aku pamit. Assalamualaikum," ujar Zea meninggalkan ruang makan.

"Waalaikumsalam," jawab Ana yang terus menatap punggung kepergian Zea.

"Zea! Hari ini kamu juga nggak boleh bawa motor lagi!" Perintah Diana.

Ancaman Diana tidak akan membuat Zea sedih. Justru malah dia tersenyum. Tanpa motor masih bisa jalan kaki. Lagian anggap saja olahraga pagi, tidak akan terasa terbebani.

"Bunda nggak perlu ngasih tahu aku juga sudah tahu. Sudah ya, Bun. Aku berangkat ke sekolah dulu."

Zea sengaja tidak bersalaman kepada Diana. Tidak mau menaruh luka baru lagi, sebab dia yakin, jika dia akan mencium tangan ibunya, pasti Diana akan mengatakan tangannya masih kotor.

Padahal itu hanya alasan Diana saja. Sebenarnya dia hanya menolak Zea secara halus. Sebagai anak remaja, pastinya tahu mana yang baik dan mana yang tidak, mana yang jujur dan mana yang berbohong, mana yang serius dan mana yang main-main.

"Bun, Ana juga berangkat dulu ya."

"Loh, ini makanannya belum habis."

"Ana baru ingat kalau hari ini Ana ada jam tambahan pagi. Ana takut telat, Bun. Bentar, Bun, Ana mau ambil buku di kamar, sepertinya tadi ada yang ketinggalan," ujar Ana berbohong

"Kalau gitu biar Bunda bungkuskan kamu makanan buat dibawa ke sekolah ya."

"Terserah deh, Bun. Aku mau siap-siap dulu."

Dia segera mengambil buku tulis di kamarnya. Tak lama kemudian Ana sudah kembali di ruang makan sekaligus meminta izin pamit ke sekolah.

"Bun, Ana berangkat sekarang ya. Assalamualaikum." Ana mencium punggung tangan Diana.

"Waalaikumsalam. Ini bekal sama uang sakunya, Na."

"Oh iya. Hampir saja lupa. Makasih ya, Bun."

"Sama-sama. Hati-hati di jalan jangan ngebut nanti jatuh."

"Iya, Bunda."

Ana mengejar Zea menggunakan sepeda. Ana selalu menggunakan sepeda saat pergi ke sekolah. Sebab dia masih duduk di bangku SMP kelas VII. Jadi, sekolah tidak mengizinkan siswa membawa alat transportasi ke sekolah selain sepeda. Namun, terkadang Ana juga ikut membonceng Zea karena sekolah Ana searah dengan Zea.

***

Di sepanjang jalan, Zea terus berusaha menenangkan hatinya. Dia tidak ingin rapuh untuk saat ini. Dia tidak ingin terlihat lemah.

"Ayo, Zea. Lo harus kuat, lo nggak boleh nangis, ini lagi di jalanan," batinnya.

"Lo harus kuat Zea. Entar bedak lo luntur. Ntar orang-orang jadi pada tahu kalau lo habis nangis. Lagian kalau Lo nangis, wajah Lo bakal cemong. Ya kali mau berangkat sekolah kok cemong," batinnya lagi.

Zea mengepalkan tangannya dan mendongakkan kepala agar tidak menangis. "Ayo dong, lo harus kuat. Shit! Gue nggak kuat. Oh iya gue baru ingat, bedaknya kan waterproof. Ya sudah deh nangis dikit nggak apa-apa mungkin. Lagian nggak bakal bisa hilang," batinnya.

Dia menundukkan kepala. Matanya sudah meneteskan air mata. Dadanya terasa berdenyut perih. Dia sudah tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Harapannya hanya ada di takdir. Entah itu menyenangkan ataupun menyedihkan, Zea sudah siap resikonya.

"Kak Zea tunggu!" Teriak Ana sambil menggenjot sepeda.

Zea menghentikan langkahnya saat merasa namanya dipanggil. Dia segera menghapus jejak air mata. Ana terlihat ngos-ngosan karena mengebut agar cepat menghampiri Zea lebih cepat.

"Kak, ini uang saku aku buat Kakak saja. Aku kan masih SMP, paling jam setengah dua sudah sampai rumah. Kalau Kakak kan SMA, pulangnya sore terus. Nanti Kakak laper kalau nggak bawa uang saku. Lagian aku juga sudah ada bekal sama minum yang disiapin Bunda," ujar Ana memberikan uang 25.000 kepada Zea.

"Makasih, tapi itu buat lo saja. Lagian gue kuat kok. Jadi nggak bakal kenapa-napa."

"Hah? Kuat? Seharusnya kalau kuat nggak bakal sampai pingsan. Buktinya waktu itu Kakak bisa pingsan. Aku nggak mau Kakak pingsan lagi. Ini pokoknya harus diterima."

Zea menghela napas. "Ya sudah gue terima. Ini uangnya sudah jadi punya gue. Nah sekarang, gue kasih lo lima belas ribu. Makasih ya."

"Kok gitu, Kak?"

"Terserah gue dong. Kan sudah jadi uang gue. Jadi, sudah jadi hak gue juga kan?"

"Ya sudah deh, kalau itu mau Kakak. Kita berangkat sekolah bareng yuk?! Arah jalan ke sekolah kita sama. Kakak yang boncengin aku ya. Lagian ini sudah lumayan siang, nanti Kakak bisa telat."

Zea tersenyum kemudian mengangguk. Tentu saja Ana sangat merasa senang. Dia langsung memberikan sepedanya kenapa Zea. Setelah itu dia duduk di boncengan sepeda.

"Sudah siap?" Tanya Zea bersemangat.

"Sudah. Berangkat!" Sorak Ana mengepalkan tangan kanannya ke atas bergaya seperti Superman.