Arini melepaskan pelukannya dan kembali menatap Zea. Tangan kanannya terulur membersihkan bekas air mata Zea dan menata poni Zea agar rapi. Dia mengelus rambut Zea dari pangkal sampai ujung.
Zea suka dengan perlakuan itu. Sebuah perilaku yang sejak dulu tidak pernah dia rasakan lagi saat usianya sudah menginjak 6 tahun. Diana semakin hari selalu berusaha menjauh dari Zea. Bahkan dia selalu menunjukan wajah jijik kepadanya.
Flashback on
"Mama, kaki Zea luka. Tadi Zea jatuh naik sepeda," ujar Zea menunjukan lukanya di lutut sebelah kanan.
"Luka sedikit saja mengeluh. Obatin sendiri sana! Saya lagi sibuk dengan pekerjaan saya. Kamu nggak usah berisik, adikmu masih tidur," ujar Diana ketus kemudian meninggalkan Zea yang sedang menundukkan kepala.
Zea kecil tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Dia sendiri tidak tahu obat apa yang harus di pakai. Sedangkan papa nya sudah 1 minggu tidak pulang ke rumah. Akhirnya dia mengikuti Diana kemana dia pergi. Ternyata Diana memasuki ruang kerjanya dan Zea sengaja mengintip Diana dari balik pintu.
"Ternyata benar. Mungkin Mama lagi mau fokus nyari uang buat aku. Karena Papa nggak pulang-pulang," batinnya sambil tersenyum dan berusaha berpikir positif.
Flashback off
Zea masih ingat betul perlakuan Diana pada saat itu. Kehadirannya hanya dianggap sebagai benalu. Masih mending jika dianggap sampah, setidaknya sampah masih bisa didaur ulang kembali menjadi barang yang bermanfaat.
"Zea, kenapa mata lo bengkak gitu? Kayak habis nangis ya?" Tanya Dian yang tiba-tiba datang.
"Ah masa?"
"Iya, ngaca dulu sana!" Perintah Dian.
Lagi-lagi Zea berbohong. Dia selalu bersandiwara saat ada orang yang mulai mencurigai dirinya. Dia mengambil kaca kecil yang ada di samping televisi. Sesuai dengan perintah Dian, dia mengaca.
"Tante, masa mata ku langsung bengkak gini. Ah ini gara-gara drakor tadi nih."
"Iya ya, Ze. Tante baru nyadar mata kamu sampe bengkak gitu."
"Ck, dasar betina sukanya baperan," sewot Dian.
"Makanya jadi orang jangan suka baperin orang biar nggak baper. Soalnya kalau sudah baper tuh jadi baper terus. Terus kalau baper terus jadinya tambah baper. Jadi gu--"
"Terserah lo mau bilang apa. Pusing gue, lo kalau ngomong sukanya muter-muter padahal intinya sama."
"Buah tomat buah kedondong. Bodoamat terserah gue dong!"
"Main basket kuy! Lama sudah nggak main sama lo."
Zea menganggukkan kepala kepala sebagai jawaban. Dia langsung berdiri dan menarik tangan kanan Dian. Dia yang menjadi heboh sendiri. Dan lagi-lagi Dian sebal. Seakan-akan Zea adalah tuan rumahnya.
Hingga mereka sudah sampai di lapangan basket belakang rumah Dian. Lapangan itu hanya terdapat satu ring bola dan lapangan itu adalah permintaan Dian karena ambisinya yang ingin seperti Zea, bisa bermain bola basket. Sebab Zea sering mengejek Dian saat dirinya menang.
Dia tidak segan-segan berbuat sombong. Sebenarnya tujuannya adalah agar Dian mau bangkit dan terus berlatih. Hingga pada akhirnya Dian mau berlatih dengan Zea setiap sore hari.
Namun semenjak Zea sakit, dia jarang bermain dengan Dian lagi. Hanya jika ada keperluan penting saja Zea akan datang dan Dian tidak pernah mempermasalahkan itu. Dia selalu mengalah untuk Zea. Baginya melihat Zea senang dirinya juga ikut senang. Walaupun ada rasa sebal-sebal sedikit.
"Dian, lo sudah bisa main basket kan?" Tanya Zea mengejek sambil mengambil bola basket yang ada di kotak samping lapangan.
"Songong banget lo! Kita tantangan saja. Kalau lo yang menang gue akan turutin semua permintaan lo selama tiga hari. Kalau gue yang menang lo juga harus mau nurutin semua permintaan gue selama tiga hari, gimana?"
"Oke, siapa takut. Kalau kalah jangan nangis. Lo kan cengeng, hahahaha!"
"Nyebelin banget sih. Itu kan dulu. Sekarang enggak," ujar Dian sambil menarik pipi Zea.
Zea menghempaskan tangan Dian. "Aw! Sakit tahu! Lo yang lebih nyebelin! Kita mulai!" dengan curang, Zea langsung mendribble bola itu sambil tertawa.
"Curang lo!"
Zea terus mendribble bola tanpa memperdulikan Dian. Sesekali Dian juga memeluk Zea dari belakang untuk merebut bola. Dengan begitu Zea menginjak kaki dan menyikut perut Dian.
"Aw! Sakit, Ze!"
"Rasain tuh!"
Hingga pada akhirnya Zea berhasil memasukan bolanya ke dalam ring. Dia teriak-teriak heboh sendiri tanpa memperdulikan Dian yang sedang kesakitan. Zea menghampiri Dian dan mengejeknya seperti kebiasaanya.
"Dasar cemen. Gitu aja sudah kalah."
"Curang lo! Untung lo itu cewe, coba saja kalau lo cowo, gue hantam lo biar tahu rasa!"
"Kalau dasarnya cemen ya cemen!" ejeknya terus tidak mau kalah.
"Jangan mancing emo--"
Ucapan Dian terpotong oleh Zea. "Dian, kepala gue pusing banget, sakit."
"Zea, lo kenapa?" tanya Dian panik langsung merangkul Zea.
Lagi-lagi Zea merasakan ada sesuatu yang keluar dari hidungnya. Jika dirasakan baunya terasa anyir. Dia yakin kalau dia pasti mimisan lagi.
Dian menatap Zea kaget. Padahal dari tadi Zea terlihat semangat. "Zea, lo mimisan!"
"Gue nggak kuat," rintih Zea terasa lemas.
Badannya sudah tak berdaya. Rasa sakit dikepalanya itu terus menyerang dirinya. Sedangkan kakinya sulit untuk digerakan seperti tak ada nyawa. Untuk kali ini dirinya tidak bisa lagi menyembunyikan rasa sakitnya. Zea benci dengan dirinya sendiri. Kenapa harus mimisan di depan Dian? Padahal dirinya sudah berjanji untuk tidak terlihat lemah.
Dian menggendong Zea yang terus merintih menuju rumahnya. Dia sangat khawatir, sebab dia tidak pernah melihat Zea kesakitan. Dian ingat betul saat Zea terjatuh dari motor dan dia mengatakan keadaannya baik-baik saja. Padahal Dian tahu bahwa Zea sedang sakit dan lututnya terluka.
Saat sudah masuk ke dalam rumah. Dian teriak-teriak memanggil Arini. Dia meletakkan Zea di sofa terlebih dahulu. Sebab dirinya sudah tidak kuat menggendong Zea. Dia memutuskan untuk mencari keberadaan Arini.
"Mama! Zea, Ma!
"Ma! Mama dimana? Tolongin Zea!"
Teriak Dian mencari Arini. Hingga akhirnya Arini datang dengan wajah panik. "Ada apa, Dian? Zea kenapa?"
"Zea mimisan, dia bilang kepa--"
Belum menyelesaikan penjelasannya. Arini sudah memotong perkataan Dian. "Sekarang Zea dimana?"
"Di sofa ruang tamu."
Arini langsung berlari menuju ruang tamu dan diikuti Dian dibelakangnya. Begitu sampai di ruang tamu, Arini menitikkan air mata. Dia tidak tega melihat Zea yang sedang merintih kesakitan. Apalagi saat melihat darah Zea.
Saat itu juga Andi yang baru saja pulang kerja ikut panik melihat keadaan Zea. Mereka berdua segera membawa Zea menuju ke rumah sakit. Arini terus menangis tak kuasa menahan khawatirnya.
Dian hanya memandang tiga orang di depannya dengan tatapan bingung. Zea sedang kesakitan, Andi menggendong Zea dibawa ke dalam mobil yang pintu mobilnya sudah dibukakan oleh Arini, sedangkan Arini terus menangis.
"Dian ayo kamu ikut juga, kita berangkat ke rumah sakit sekarang," suruh Andi.
Dian mengikuti perintah Andi. Andi langsung menjalankan mobilnya menuju rumah sakit. Dalam perjalanan Dian bingung dalam kondisi seperti ini. Tiba-tiba saja Arini manangisi Zea yang sedang kesakitan dan dengan cekatan Andi akan membawa Zea ke rumah sakit.
"Pa, sebenarnya ada apa? Kenapa Zea mimisan dan kenapa Mama nangis terus?" Tanya Dian yang duduk di depan sebelah Andi menyetir.
"Kita berdo'a dulu saja ya. Semoga Zea baik-baik saja dan kita bahas ini nanti. Papa lagi fokus nyetir."
"Baik, Pa."