Chereads / Really I Want / Chapter 25 - Chapter 24

Chapter 25 - Chapter 24

Tiba-tiba saja Zafran merasa ada sesuatu yang janggal. Sebab dari kejadian Zea yang tiba-tiba lari meninggalkan kantin, sampai sekarang tidak ada kabar. Tidak biasanya Zea akan menghilang tanpa kabar sedikit pun.

Ponsel Zea pun sulit dihubungi. Zafran sudah 99x menelephone Zea. Namun, tidak ada satu pun panggilan yang dijawab. Padahal di layar ponsel milik Zafran terdapat tulisan berdering, yang artinya handphone Zea itu sebenarnya sedang aktif. Sedangkan Zea selalu mematikan terakhir dilihatnya di aplikasi WhatsApp. Sehingga Zafran tidak tahu pasti, apakah Zea memang sengaja tidak menjawab panggilannyanya atau memang sedang tidak bermain ponsel.

Hati Zafran sungguh tidak tenang. Dari tadi dia mondar-mandir seperti setrika. Akhirnya dia memutuskan untuk menelephone Zea kembali.

"Ini adalah panggilan yang ke seratus kali. Gue harap lo angkat telephone dari gue, Zea," ujarnya lirih.

Namun hasilnya tetap sama. Panggilan Zafran tidak ada jawaban. Dia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Jika saja tidak hampir maghrib, dirinya akan pergi ke rumah Zea untuk memastikan keadaan Zea.

Dia mengambil bingkai foto yang ada di atas nakas. Di dalam foto itu terlihat dirinya dan Zea saat sedang pacaran. Foto itu diambil saat dirinya sedang double date.

"Gue sayang lo, Ze. Gue nggak mau kehilangan lo. Gue nggak nyangka kalau lo bakal mutusin gue secepat ini. Harusnya gue emang nggak genit. Tapi gue nggak bisa jadi cowo cool kayak idaman lo yang berada di novel-novel, karena gue bukan kulkas," ujarnya lirih memandangi foto itu.

"Gue memang salah. Gue nggak tahu harus gimana lagi."

"Ya Allah jika Zea adalah jodohku, dekatkanlah aku dengan dia. Jika dia bukan jodohku, jodohkanlah aku dengan dia ya Allah, amin," do'a Zafran kemudian mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajah.

"Hihihi, ada yang belum move on, do'a nya maksa lagi," ujar Zimmi yang dari tadi ngintip Zafran.

Namun Zafran masih bisa mendengar suara Zimmi. Zafran lupa belum mengunci pintu kamarnya. Dia mendekati Zimmi yang berada di depan pintu kamar kemudian menjewer telinganya. Tak lupa matanya dilebar-lebarkan.

"Masih kecil sudah seneng nguping? besok gedenya mau jadi apa kamu? Mak-mak rumpi? Dasar betina!"

"Ampun, Bang. Tadi Zimmi nggak sengaja, tolong lepasin Zimmi. Nanti Zimmi bantu buat dapetin Kak Zea lagi deh."

Seketika dia melepaskan jewerannya. "Bantunya gimana? Kamu punya ide?  Kamu kan deket banget sama Zea, bantuin Abang ya, please."

"Ada dong."

"Bantuin Abang ya."

"Iya, Zimmi pasti bantu kok. Bantu kasih Amin saja, hahaha," ujar Zimmi kemudian berlari meninggalkan Zafran.

"Zimmi! Awas kamu kalau ember!"

"Banyak tuh di kamar mandi, hahaha!"

***

Zea sudah tak sadarkan diri. Arini semakin menangis menjadi-jadi. Untung saja sekarang mereka sudah sampai di rumah sakit. Andi langsung menggendong Zea. Arini mengikuti Andi di belakang dan terus menangis. Sedangakan Dian, sampai sekarang dia bingung. Posisi dia tidak tahu apa-apa. Dia hanya berharap Zea akan tetap baik-baik saja.

"Suster, tolong bantu saya!" Teriak Andi kepada suster yang sedang mendorong brankar.

Sebenarnya Andi adalah seorang dokter. Namun karena tempatnya bekerja lumayan jauh, dia membawa Zea ke rumah sakit terdekat. Dirinya hanya bisa berdo'a semoga keadaan Zea tetap baik-baik saja.

"Dian, kamu tenangin Mama dulu. Papa lagi mau ngurus administrasi."

"Iya, Pa."

Dian merangkul Arini dan mengelus punggungnya untuk memberikan ketenangan. Dia khawatir terhadap keadaan Zea dan juga tidak tega melihat Arini yang terus menangis. Dia sendiri bingung bagaimana cara menenangkan Arini.

Sudah satu jam lebih Arini menangis. Dian semakin bingung. Dia sendiri baru kali ini melihat Arini menangis tidak berhenti-henti.

"Ma, sudah ya. Kita berdo'a saja semoga Zea tetap sehat. Aku beliin Mama minum dulu ya biar bisa tenang."

Arini hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. Setelah itu dia meninggalkan Arini untuk membeli aqua. Sambil berjalan, batinnya juga tak henti berdo'a untuk Zea.

Baru juga mau membayar. Arini sudah menelephone nya. "Iya, Ma. Nanti Dian nyusul."

Setelah telephonenya selesai, Dian memberikan uang berwana merah selembar untuk membayar roti dan tiga aqua. "Ini uangnya, Mbak. Kembaliannya buat Mbak saja."

"Makasih ya."

"Iya, mbak. Sama-sama."

Dia segera menuju ruang opnam yang sudah di share lokasi oleh Arini. Sebab Arini tahu jika Dian itu pemalu dan sudah dipastikan dia tidak mau bertanya kepada orang lain. Setidaknya hati Dian sudah sedikit tenang saat mendengar suara Arini sudah tidak menangis lagi saat di telephone tadi. Dia yakin pasti Zea akan baik-baik saja.

Saat sampai di depan ruangan. Dia segera memasuki ruang tersebut. Dia melihat Arini yang sedang memagang tangan Zea. Tangan kanannya juga terus mengelus rambut Zea. Di sana juga ada Andi yang terus memberikan kekuatan kepada istrinya agar tidak menangis lagi.

"Ma, Pa, keadaaan Zea gimana?" Tanya Dian.

"Seperti yang kamu lihat."

Dian menghela napas. Dia kangen Zea kecil. Keadaan Zea yang sekarang memang 180° sangat berbeda. Dia sangat lemah. Bahkan sekarang bukan hanya lemah, namun juga tidak berdaya.

"Ma, Pa, Dian mau tanya. Tapi tolong jawab jujur ya."

"Iya. Emangnya mau tanya apa?"

Dian mendekati Arini. "Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Zea tiba-tiba mimisan dan Mama langsung nangis saat mengetahui keadaan Zea. Papa juga langsung cekatan."

Arini bingung dalam keadaannya sekarang. Sebab Zea sudah menjanjinya agar tidak menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Dia menatap suaminya untuk meminta pendapat. Andi pun menganggukkan kepala dan tersenyum sebagai jawaban.

"Empat tahun yang lalu, Mama menemukan Zea sedang menangis saat pulang sekolah. Dia sendiri, dia rapuh, dan dia selalu bersandiwara. Tapi pada saat itu Mama sedang sama Papa mu. Jadi Zea tidak bisa berbohong walaupun dia sedang bersandiwara," jelas Arini menatap langit kamar rumah sakit untuk menahan air matanya agar tidak jatuh.

Flashback on

Saat di lampu merah, Arini dan Andi melihat Zea menundukkan kepala sambil memegangi kepalanya. Mereka berdua terus memperhatikan Zea. Bahkan Zea sendiri tidak menyadari jika dirinya lewat di samping mobil mereka berdua. Sehingga Arini tahu pasti jika Zea sedang menangis.

Lampu pun sudah hijau. Arini yakin Zea sedang menangis. Dia tidak tega melihat itu.

"Pa, berhenti!" Andi pun meminggirkan mobilnya. "Papa cari tempat buat parkir mobil atau Papa putar balik saja ya. Mama mau turun buat ngejar Zea. Soalnya kayak ada yang aneh."

"Yaudah Papa putar balik saja ya. Kalau ada apa-apa biar mudah."

"Iya, Pa."

Arini keluar dari mobil. Dia berlari untuk mengejar Zea. Cuaca pun tidak panas, sehingga menambah semangat Arini untuk tidak putus asa. Sebab jaraknya dengan Zea sudah lumayan jauh.

"Zea!" Panggil Arini memanggil nama Zea.

Zea merasa namanya dipanggil sehingga dia mambalikan Badan. Dia melihat ada seseorang yang tersenyum kepadanya. Dia yakin orang itu adalah Arini. Kemudian dia membalikan badan lagi untuk menghapus jejak air mata.

Saat dia membalikan badan lagi. Ternyata Arini sudah berada di depannya sekitar 2 meter. Zea tersenyum kepadanya.

"Tante!"

"Zea kok sendiri? Jalan kaki?"

"Iya, Tan. Sekolah Zea kan dekat. Jadi nggak perlu bawa sepeda."

Arini menatap wajah Zea. Dia menatapnya terus menerus sampai membuat Zea menundukkan kepala. Apalagi mata Arini yang terus meneliti keadaan Zea sehingga membuatnya semakin takut.

"Zea, mata kamu kenapa?"

"Nggak apa-apa, Tante. Zea cuma kurang tidur, maklum Zea kan sering ikut lomba non-akademik. Jadinya Zea kurang istirahat saja karena banyak latihan."

"Jangan bohongin Tante, Ze."

Saat itu juga Andi datang. Dia keluar dari mobil menemui Zea. Dia juga kaget melihat keadaan Zea. Apalagi saat melihat matanya yang bengkak. Bibir dan hidungnya juga merah.

"Zea, kamu kenapa?  Kamu habis nangis? Siapa yang berani buat kamu nangis?" tanya Andi.

"Nggak ada, Om. Zea baik-baik saja," jawabnya.

Namun tanpa Zea sadari, hidung Zea mengeluarkan darah. Dia mengusap darah itu dan kemudian menatapnya sedih. Lagi-lagi dirinya harus kembali menitikkan air mata.

"Ze, kamu--" ucap Arini terpotong.

"Iya, Om, Tante. Zea sekarang lagi sakit. Satu minggu yang lalu dokter bilang kalau Zea sakit kanker darah. Zea selalu sendiri, nggak ada yang peduli sama Zea. Bahkan Bunda sendiri nggak pernah tanya Zea sakit apa. Di saat Zea lagi ngerasain sakit di kepala, Mama selalu bilang kalau Zea manja. Dia selalu nyuruh Zea buat beli obat biasa di warung. Dia bilang banyak obat di warung untuk pereda sakit kepala. Padahal Zea hanya ingin bilang kalau Zea sakit kanker, hiks."

Arini merasa iba kepada Zea. Dibalik keceriaannya selama ini, ternyata Zea menyimpan beban yang sangat berat. Padahal Zea sendiri sedang duduk di bangku SMP. Pada umumnya saat anak masih duduk di bangku SMP, anak masih sangat butuh dorongan orang tua dan kasih sayang dari orang tua. Walaupun mereka sudah terlihat bisa mulai hidup mandiri.

"Kamu masih punya Tante dan Om. Kamu nggak sendiri. Kamu harus kuat dan kamu harus berjuang demi kesembuhan kamu," semangat dari Arini.

"Iya, Zea. Kamu harus sembuh. Kamu nggak usah khawatir, masalah biaya biar kami yang nanggung," ujar Andi.

Zea tersenyum, ini adalah hal yang sejak dulu tidak dia inginkan, selalu merepoti orang lain. Karena dia tahu, berobat untuk penyakit kanker membutuhkan biaya yang sangat banyak.

"Maaf nih Om, Tante. Bukannya Zea menolak bantuan kalian berdua. Tapi Zea masih punya tabungan banyak kok. Zea selalu simpan hadiah uang yang diberikan saat Zea menang lomba. Terus Zea juga masih punya tabungan yang  Zea kumpulkan dari Zea masih kecil. Uang jajan yang diberikan Tante sama Om selalu Zea tabung. Zea kan rajin menabung."

"Tapi, Ze--" ucapan Arini dipotong Zea.

"Tolong, Tante, Om. Zea ingin mencoba mandiri. Dari dulu, Zea nggak pernah dapat kasih sayang yang tulus. Jadi, Zea harus bisa hidup mandiri. Nggak mungkin kalau Zea terus bergantung dengan kalian terus."

"Ya sudah, kalau kamu butuh apa-apa kabarin Om sama Tante ya. Kita siap bantu kamu kapan saja. Kita sayang Zea kok, jangan merasa sendiri. Ingat, masih ada Om dan Tante. Satu lagi, Tante mohon, kamu masih mau menerima uang jajan dari kita setiap bulan ya," ujar Arini.

"Iya, Tan. Makasih, Om, Tante. Tolong jaga semua rahasia ini. Zea nggak ingin membuat orang yang sayang sama Zea jadi khawatir. Zea percaya sama kalian." Saat itu juga mereka berdua berpelukan di pinggir jalan.

Flashback off

"Jadi, selama ini Zea sering menghilang itu karena sakit? Padahal Zea selalu ceria di depan Dian. Kenapa Zea nggak pernah cerita sama Dian, Ma, Pa?" tanya Dian menatap Zea.

"Kamu tahu sendiri gimana sifat Zea kan?" tanya Andi.

"Om! Tante!" Panggil Zea lirih. Dia menggelengkan kepala dan meneteskan air mata.