Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu. Dimana anak IPA dan IPS akan bersaing merebut kemenangan. Siswa siswi yang akan bertanding sudah berada di lapangan, termasuk para penonton dan pendukung pun sudah berada di pinggir lapangan. Mereka akan bertanding basket.
Sebelum mulai, tanpa sengaja tatapan Zea bertemu dengan tatapan Zafran. Mereka saling menatap. Dengan begitu, Zafran memberikan kecupan jauh untuk Zea. Sedangkan Zea memberikan jempol ke bawah untuk meremehkan kata-kata Zafran. Namun Zafran tak mempermasalahkan itu, dia malah mengepalkan tangannya sebagai tanda memberikan semangat untuk Zea. Benar-benar sinting.
Pertandingan pun dimulai. Zea merebut bola dari lawannya. Dia terus mendribble bola hingga dia berhasil memasukan bola ke dalam ring basket. Pendukung dari kelas IPA pun bersorak girang. Mereka terus memberikan semangat untuk Zea.
Terutama pendukung laki-laki dari kelas IPA, mayoritas dari mereka banyak yang mendukung Zea. Hal tersebut menjadikan ada sedikit rasa sebal di hati Zafran. Dia tidak mau jika Zea terpikat dengan laki-laki selain dirinya.
"Zea lo pasti bisa!"
"Zea! Zea! Zea!"
"Semangat Zea! Kelas IPA harus menang!"
Begitulah suara teriakan dari anak IPA. Apalagi saat Zea yang menguasai bola, teriakan mereka semakin kencang berharap Zea memasukan bola lagi. Namun di sana juga ada penonton yang diam saja. Mungkin karena dia itu pemalu.
"Zea! Zea aku padamu!" teriak Anton yang merupakan pendukung dari anak IPA. Dia salah satu anak IPA yang lumayan populer. Apalagi adik kelas, mereka banyak yang ngefans kepada Anton.
Zafran yang mendengar teriakan Anton pun mendengus sebal. Dia sendiri tidak tahu kenapa dirinya bisa seperti itu. Andai saja dia tahu jika bakal seperti ini, mungkin dia tidak akan menyetujui usulan dari para anggota osisnya. Dia sendiri merasa sangat tidak fokus menjadi panitia saat ini.
Dia menatap setiap gerak gerik Zea bermain. Kali ini dia merasakan Zea agak berbeda. Terlihat agak menggoda karena baju basket yang Zea kenakan. Kemudian dia melihat penonton laki-laki lagi, kebanyak dari mereka banyak yang menatap dan mendukung Zea. Zafran yakin itu, sehingga dia semakin sebal.
"Ekhem, ada yang cemburu nih," sindir Dirga yang merupakan salah satu panita kegiatan. Dia adalah salah satu anggota osis yang lumayan akrab dengan Zafran. "Kalau cemburu tandanya bakal ada yang CLBK nih," sindirnya lagi.
Zafran mendengus kemudian menatap Dirga judes. "Apaan?! Nggak ada tuh."
"Nggak usah bohong, Bro. Kalau masih sayang ya perjuangin. Kalau udah nggak ada rasa mending cari yang lain. Masih ada waktu sebelum terlambat. Sebelum janur kuning melengkung."
"Sok dangdut lo! Emang kelihatan cemburu ya?"
Dirga tertawa terbahak-bahak. Seorang Zafran yang terkenal genit jadi kelihatan bego karena cinta. Dia sendiri tidak habis pikir kenapa mereka berdua bisa putus. Padahal saat pacaran dulu, mereka berdua kelihatan romantis terus walaupun sering ribut karena gombalan Zafran kepada Zea. Sebab gombalan Zafran endingnya suka bikin nyesek. Namun endingnya pasti akan tertawa.
"Gue sendiri nggak tahu jalan pikiran lo. Kenapa lo nyia-nyiain cewe kayak Zea. Kalau aja gue bisa jadi pacar Zea, gue pasti nggak akan lepasin dia."
Ucapan Dirga benar-benar menohok Zafran. Kata-katanya itu mirip seperti Zimmi. Dia sekarang baru sadar. Rasa penyesalan pun tumbuh. Matanya menatap Zea lagi yang sedang bermain basket. Sungguh dia ingin memutar waktu.
"Renungkan baik-baik, Bro. Gue ke sana dulu mau ngambil minum," ujar Dirga menepuk bahu Zafran.
Zafran menghela napas. Dia kembali menatap Zea yang terus bersemangat dalam pertandingan. Suara semangat untuk Zea pun tak ada hentinya membuat hati Zafran cukup terasa sesak. Tangan kanannya sudah gatal ingin memukuli setiap pria yang terus memandang dan memberikan semangat Zea.
"Sabar, Zafran. Lo nggak boleh marah. Lo nggak boleh mukul mereka. Lo harus ingat kalau lo itu nggak bisa tonjok-tonjokan. Ntar kalau lo kalah di depan Zea kan jadi malu," batinnya menyemangati dirinya sendiri.
Dia terus memandang Zea yang terus menguasai bola. Lagi-lagi Zea berhasil memasukkan bola ke dalam ring basket. Pendukung dari anak IPA pun bersorak gembira.
Tanpa sengaja tatapan Zea bertemu dengan Zafran saat dirinya sedang bertos dengan kawan satu timnya. Zafran pun memberikan senyum untuk Zea, sedangakan Zea hanya cuek. Dia kembali bermain.
Zea melihat jam tangannya, permainan hampir selesai hanya tinggal 15 menit lagi. Sebenarnya dari tadi Zea sudah merasakan kepalanya berdenyut. Namun demi kehormatan anak IPA, dia harus bisa bertahan. Sesekali dia juga merintih lirih. Orang lain pun pasti tidak akan mendengarnya, Zea yakin itu. Sebab suara dari penonton sangat keras.
Hingga pertandingan bola basket telah selesai. Tentu saja dimenangkan tim IPA. Tim IPA pun berteriak gembira, mereka saling bertos ria. Namun Zea merasakan ada sesuatu yang keluar dari hidungnya. Kemudian dia mengusap menggunakan tangan kanan.
"Ck, darah sialan!" batinnya memaki darah itu. Kepalanya terus berdenyut. Zea langsung berlari dari kerumunan untuk menuju ke kamar mandi.
"Zea! Lo mau kemana?!" teriak beberapa cowo dari kelas IPA.
Zea tidak menjawab pertanyaan itu. Dia terus berlari tidak mau orang lain tahu darah itu. Termasuk saat dia melewati Zafran. Padahal Zafran menyodorkan minuman untuknya.
"Zea! Lo mau kemana?!" Teriak Zafran kemudian mengejar Zea. Namun niatnya itu terurungkan karena dirinya masih akan mengurus lomba berikutnya. Apalagi saat ada yang memanggil dirinya. Padahal dia sangat penasaran dengan Zea.
Akhirnya Zea sampai di kamar mandi. Dia membersihkan darah itu. Dia mengaca di kaca yang ada di pintu kamar mandi.
"Gue benci dengan semua ini," ujar Zea lirih. Dia sangat sedih saat melihat wajahnya. Sangat terlihat pucat saat lipgloss yang dipakainya sudah terbilas air.
Apalagi saat dirinya memegang rambutnya. Banyak rambut rontok yang menyangkut di sela-sela jari. Zea yakin betul bahwa itu pasti efek dari kemoterapi. Sebenarnya Zea menolak untuk dikemoterapi, namun Andi dan Arini yang memaksanya pada saat itu.
Setelah selesai membersihkan darahnya, dia memakai lipgloss. Semenjak sakit Zea sudah lumayan parah, dia selalu membawa lipgloss kemana-mana. Harapan rahasia sakitnya ada di lipgloss tersebut.
Dia membersihkan beberapa rambut yang rontok dan menata rambutnya kembali agar terlihat rapi. Sejenak dia tersenyum di depan kaca. Dia yakin betul bahwa cermin adalah teman terbaik. Sebab cermin bisa menyesuaikan keadaan seseorang.
"Nah kalau gini kan mantap. Gue jadi kelihatan kayak orang sehat," gumamnya lirih saat membenarkan tatanan poni, karena luka pada saat itu, dirinya mengharuskan memakai poni sampai bekas lukanya benar-benar hilang. Untung saja kejadian saat Zea akan diopname, luka di kepalanya sudah sembuh. Hanya meninggalkan bekas saja. Sehingga Andi, Arini, dan Dian tidak akan curiga. Sebab saat Zea ditanya tentang luka, dia selalu menjawab kalau dirinya baru saja jatuh, padahal baru saja kena hajar bundanya.
"Ya Allah, berikanlah kekuatan kepadaku. Jangan sampai aku mimisan lagi di depan orang banyak," do'a Zea lirih.
Penampilan Zea sudah beres. Dia memutuskan untuk keluar dari kamar mandi kemudian menuju ke lapangan. Semakin lama dirinya berada di kamar mandi, semakin banyak pula orang yang curiga. Apalagi tadi saat akan ada kesenangan dan ucapan selamat atas kemenangannya.
Bugh!
"Aw! Sst sakit," rintih Zea lirih.