"Lo?!"
"Udah nabrak nggak minta maaf? dasar nggak ada akhlak!" sindir Zea yang masih mengelus-ngelus kepalanya sendiri.
"Kepala lo juga nggak ada akhlak. Kalau ngebentur nggak kira-kira. Sakit tahu!"
"Ribet banget lo jadi orang. Paling kebentur dikit aja berisik!"
"Gundul mu! Lo juga kenapa dari tadi ngelus kepala terus? Sakit kan? Makanya jadi orang nggak usah belagu," ujar Dina tak mau kalah.
Perkataan Dina begitu menohok hati Zea. Kata gundul itu mengingatkan rambut rontok yang sudah sering dia alami. Mungkinkah jika rambutnya suatu saat nanti akan benar-benar gundul? Tapi Zea tidak menginginkan itu.
Jika saja itu akan terjadi, sebagai manusia, Zea akan menerima takdir itu. Drama yang semakin menjadi-jadi dan sehari-hari harus memakai wig. Tidak kebayang lagi jika suatu saat nanti dirinya juga akan hidup seperti robot. Dibilang manusia tapi hidupnya ketergantungan obat, seperti robot yang ketergantungan baterai. Mau dibilang bukan manusia namun dirinya sudah ditakdirkan sebagai manusia hidup sejak lahir.
Zea segera menempis pikiran itu. Memang sih harapan orang sakit adalah sembuh. Namun, semua orang tidak bisa melawan takdir hidup dan mati. Semua itu sudah digariskan sejak lahir. Karena itu, Zea yakin usaha adalah hal yang terbaik. Setidaknya berjuang sebelum kekalahan adalah suatu hal yang luar biasa. Tidak semua orang bisa melakukan itu.
"Ze, kok diem sama bengong gitu? Lo kenapa?" tanya Dina mengibaskan tangan kananya di depan wajah Zea.
"Ah, nggak kok. Gue cuma lagi syok lihat lo aja. Gue kira malah gagar otak gara-gara kebentur kepala lo yang kek batu itu," jawab Zea santai.
"Lo nyebelin banget ya. Eh ngomong -ngomong, selamat ya. Gue bangga punya temen kayak lo."
"Iya dong, anak siapa dulu," ujar Zea membanggakan diri.
Sesekali dia melirik Dina yang sedang senyum-senyum sendiri. Padahal dirinya sudah membanggakan diri, tetapi Dina belum juga marah. Padahal Zea suka banget kalau melihat Dina marah karena warna wajahnya itu mirip banget sama anus ayam.
Padahal saat Zea membanggakan diri, Dina selalu sebal dengan tanda-tanda memonyongkan bibirnya. Tak hanya itu, terkadang rambutnya sendiri yang menjadi korban. Jadi heran sendiri sama jalan pikirannya, saat marah pasti dirinya sendiri yang menjadi korban. Persis orang gila.
"Kenapa tadi lo lari? Padahal banyak anak yang mau ngucapin selamat dan mau tos sama lo."
"Gue tadi kebelet, mana bisa gue nahan pipis," jawab Zea.
Sudah banyak sekali Zea melakukan kebohongan. Sebenarnya dia sendiri benci kebohongan, sedangkan hidupnya penuh dengan kebohongan. Zea juga tidak tahu kebohongan yang sering dirinya buat akan berakhir dosa atau tidak.
"Ohh gitu. Sudah sana mending lo ke lapangan, di sana udah pada nunggu lo."
"Oke, gue duluan ya."
"Sip."
"Eits tunggu dulu."
"Apa?"
"Kemarin yang ngambil dan ngantar-ngantar barang online shop lo siapa?"
"Oh itu temen lama gue. Kenapa?"
"Ganteng banget. Seneng deh temenan sama lo. Gue cantik, lo jelek, boleh dong nikung temen sendiri. Cowo lo ganteng - ganteng, hehehe."
Mata Zea terbelalak. "Dasar sinting! Makanya jadi orang jelek biar dapat cogan. Jodoh kan saling melengkapi, ya sudah nikmatin saja kalau pasangan lo jelek. Untung masih ada yang mau sama lo. Hahaha."
"Gini kalau ngomong nggak bismillah. Sudah ah gue mau pup."
"Iyuh jijik, gue ke lapangan dulu. Bye!" pamit Zea yang dibalas dengan acungan jempol Dina.
Zea merasakan ada sesuatu yang bimbang, teapi entahlah itu apa dan yang penting tujuannya sekarang adalah mencari dan meminta sesuatu kepada Zafran atas kemenangannya.
Di setiap perjalanan banyak siswa siswi yang mengucapkan selamat. Baik dari adik kelas, teman satu angkatan, maupun kakak kelas. Bahkan dari kelas IPS pun banyak yang mengucapkan selamat, terutama dari anak kelas XII. Padahal Zea sendiri tidak kenal dengan mereka.
Dapat berkomunikasi dengan kakak kelas adalah suatu hal yang diinginkan setiap adik kelas. Apalagi yang mengawali pembicaraan adalah kakak kelas. Pasti rasanya seperti terbang melayang. Banyak juga yang sampai kebawa perasaan.
Kedua mata Zea menyapu lapangan untuk mencari keberadaan Zafran. Sebab di lapangan banyak sekali kumpulan siswa siswi yang sedang menonton pertandingan bola voli pria. Saat melihat di pojok lapangan, dia melihat Zafran yang sedang berdiri di sana.
Kemudian Zea memutuskan untuk mendekati Zafran. Menurutnya, yang terpenting bisa membuat Zafran kaget. Sekali-kali bikin orang jantungan tidak apa-apa deh.
"Dor!" seru Zea saat di depan Zafran kemudian memeletkan lidahnya.
Bukannya kaget, Zafran justru menjitak kepala Zea. Dia sendiri sebenarnya sudah tahu kehadiran Zea. Namun, dia hanya saja pura-pura tidak melihat Zea.
"Sakit tahu!" Protes Zea memonyongkan bibirnya.
"Lagian kenapa juga lo jadi orang sinting?!"
"Lo yang sinting!" Zea lebih memonyongkan bibirnya.
"Udah deh nggak usah dimonyongin gitu. Mau gue tarik tuh bibir biar monyong beneran."
"Ck, nyebelin banget sih!"
Zea memalingkan muka, sedangkan Zafran terkikik sendiri. Melihat wajah Zea membuatnya semangat lagi. Dia sendiri bingung terhadap perasaannya akhir-akhir ini. Setiap bertemu Zea benar-benar membuatnya bahagia dan semangat, sedangkan setiap menghilangnya Zea selalu membuatnya gelisah. Entahlah apakah dirinya benar-benar masih cinta dengan Zea? Zafran tidak tahu.
"Ngambekkan cepat tua," ejek Zafran sambil menangkup kedua pipi Zea agar dia mau menatapnya.
Zafran tersenyum dan itu juga membuat Zea menjadi tersenyum. "Cantik."
Zea tidak kuasa menahan semburat malu di kedua pipinya. Dia tersenyum sendiri karena sesuatu yang dia halukan di dalam novel, kini benar-benar terjadi. Jadi, halu adalah cita-cita yang belum tersampaikan.
"Ah, makasih. Tapi nggak dijatuhin kayak biasa kan?"
"Enggak kok, gue ngomong serius."
Zea semakin tersipu malu. Ucapan Zafran benar-benar membuatkan senang. Seperti sedang dihipnotis. Bahkan dia sendiri tidak sadar jika dirinya terus senyum-senyum sendiri.
"Gimana? Masih ingat tantangannya kan? Lo harus nurutin semua permintaan gue."
Bukannya menjawab, Zafran justru terus memandang wajah Zea sambil senyum-senyum sendiri. Menurutnya, wajah Zea itu imut. Namun, dia menemukan sesuatu yang aneh pada diri Zea.
"Kok malah bengong?"
"Zea, lo kayak agak pucat. Lagi sakit?"
Zea tertegun, dia diam sambil memikirkan jawaban untuk Zafran. Padahal saat merapikan penampilan tadi, menurutnya sudah pas. Memang sejak tadi dia merasakan agak pusing. Mau gimana lagi, dirinya harus tetap kuat di hadapan banyak orang.
Dia juga berharap tidak pingsan lagi. Sebab rasanya sudah terasa sangat letih. Jika saja bukan karena tantangan dan Zafran tidak meremehkan anak IPA, Zea pasti tidak akan mengikuti pertandingan bola basket dan dia akan membolos ke rumah Arini. Tidak mungkin jika dirinya tetap di rumah. Pasti Bundanya akan mencemooh dirinya.
"Enggak kok. Mungkin karena gue kecapekan. Terus gimana? Gue hebat kan?"
"Iya hebat banget. Lo sudah cocok banget jadi pacar gue."
Mata Zea melotot sempurna. "Amit-amit jabang kebo. Ntar gue dicampakkan lagi."
"Zea, lo sadar nggak sih. Kita itu saling melengkapi. Lo anak IPA dan gue anak IPS."
"Terus?"
"Ya gue nggak tahu, hehehe," jawab Zafran sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Sinting!"