Selamat membaca
°•°•°
Baru sepuluh menit yang lalu guru Sejarah keluar, kelas sudah mulai gaduh layaknya pasar malam. Membuatku menghela napas.
"Psst... Psst... Heiii...!" panggil seorang siswi dari arah belakang. "Kamu ada bolpen lagi, nggak?" sembari menepuk-nepuk pundakku tak sabaran.
Aku pun menoleh seraya tersenyum. "Ada, bentar aku cariin dulu. Mau minjem sekarang?" tanyaku ramah.
"Iyalah. Emang kapan lagi...?" jawabnya dengan bola mata memutar. Aku pun dengan senang hati mencari ke dalam laci meja--- berada tepat di depan perutku ---usai memberikan senyum singkatku padanya.
"Ini," kusodorkan benda bertinta hitam yang dia inginkan. Gadis berkucir ekor kuda tanpa poni itu pun merampasnya dengan mengangguk asal, tidak mengucapkan terimakasih atau apapun, lalu melanjutkan aktivitasnya. Aku hanya bisa menggeleng. Kembali fokus pada soal yang diberikan guru tadi.
Belum ada lima menit aku menatap buku. "Jepit item! Woi!" ada suara teriakkan. Kulihat sumbernya dari salah satu laki-laki yang sedang duduk bergerombolan di pojok kelas paling belakang. "Heh!" yang merasa dipanggil pun berjalan menghampiri.
"Apa?" sahut gadis itu cukup pelan, tapi masih mampu kudengar. Kemudian ia berdiri tepat di depan siswa bersepatu coklat dengan tatapan bingung.
"Beliin makan pas istirahat nanti. Begitu bel langsung beli! Ngerti?" si jepit hitam hanya diam tak membalas. "Budek ya?!" sambungnya. Sedangkan gadis yang belum kuketahui namanya itu menggeleng pelan. "Kenapa diem, hem? Bisu?!" bentaknya dengan posisi sudah berdiri menatap tajam siswi manis itu yang kepalanya sudah mulai menunduk, mungkin merasa takut.
Karena rasa geram yang timbul tiba-tiba, aku pun menghampiri mereka. Bukannya ingin sok-sokan jadi pahlawan, hanya saja aku tidak suka sama apa yang namanya pemaksaan. Menyakitkan.
"Ekhm, maaf, kenapa berisik ya? Banyak tuh anak lain yang keganggu sama suara kamu." memang benar, sedari tadi para siswa sudah mencuri pandang ke arah laki-laki dihadapanku ini, akulah salah satu nya. Entah kenapa guru yang izin ke toilet tadi belum juga cepat kembali.
"Nggak usah ikut campur! Urusin dirimu sendiri aja! Daripada kamu yang aku suruh, mau?" aku mengernyit.
Gadis disampingku ini langsung berbisik padaku, "kamu balik ke tempat duduk kamu aja. Aku nggak papa."
"Heh murid baru! Jawab! Mau gantiin dia?" aku tak tahu kenapa tidak ada yang peduli satu pun dengannya. Seisi kelas cuma menatap kami dalam diam.
"Gantiin apa?" masih dengan tatapan tajam, siswa di hadapanku ini menggulung lengan seragam miliknya. Dia pikir aku takut?
Baru saja ia ingin menjawab, salah satu temannya ikut bersuara, "udah lah No. Jangan kelewatan, sering banget nyuruh anak orang seenaknya. Nggak berubah-berubah dari SMP!" aku tersenyum kagum. "Ganteng" cuma kata itu yang bisa kuutarakan dalam hati ketika wajahnya terlihat jelas di depan mataku.
"Udah, kalian berdua duduk aja. Nggak usah takut dan jangan diladenin tuh anak." suaranya lagi sembari melirik laki-laki pembuat onar.
Secepatnya aku mengangguk dan tersenyum. Sedangkan cowok belagu itu menatap kami- aku dan si jepit hitam- dengan tatapan seperti mengatakan, "jangan seneng dulu". Sebelum kembali duduk, gadis jepit hitam berbisik lagi padaku katanya, "makasih Nadea. Namaku Alin, nanti istirahat aku traktir makan ya di kantin." aku menggeleng seraya tersenyum, setelah itu menepuk-nepuk pundaknya pelan.
°•°•°
GILA!!! Alin nyatanya tidak main-main dengan ucapannya. Sedari tadi aku sudah menolak ajakannya ke kantin karena aku pikir dia hanya bercanda. Alhasil di sini lah aku dan Alin, di koridor kelas menuju lokasi pusatnya makanan. Ia menarik paksa tanganku. Aku, berusaha mati-matian agar tidak mengikutinya. Sudah berkali-kali aku mengatakan 'nggak' namun tetap saja, gadis itu kekeh ingin mentraktirku.
"Udah nggak papa. Anggep aja ini tanda pertemanan. Gimana? Mau ya?!" masih menimbang-nimbang Alin bersuara lagi, "ayolah! Sekali ini aja ya!" rengeknya seraya menggoyang-goyang tanganku yang ada di genggamannya. "Jarang nih aku punya temen kayak kamu. Kebanyakan dari mereka itu datengnya kalau pas lagi butuh aja. Ayolah Nad, plis!" okelah, daripada menanggung malu karena menjadi bahan tontonan di sini. Sebab, bukan hanya aku dan Alin yang lewat, banyak siswa yang berlalu-lalang. Aku pun mengangguk sekali, sedikit terpaksa. "Gitu dong dari tadi." bertepatan dengan itu, Alin lari meninggalkan aku.
"Ashhh..." belum ada sepuluh langkah, pergelangan tanganku ditarik paksa oleh seseorang. "Kenapa?!" sahutku tak suka. "Bisa nggak sih Diya, kalau mau manggil orang itu pake namanya. Jangan asal narik-nar," dengan seenaknya, saat ini tangan kiri Nadiya menutup mulutku secara kasar.
"Nerocos aja, berisik! Aku minta uang!" dengan santai aku menunjuk telapak tangannya yang masih menempel di mulutku. "Kasih dulu!" aku menggeleng. "Tck." tangannya pun menjauh dari bibirku.
"Buat apa?" Nadiya memutar bola matanya. "Mama kan udah ngasih kamu juga. Ngapain masih minta ke aku?" Nadiya hanya mengangkat salah satu alisnya dengan tangan dilipat di depan dada.
"Jalan sama pacar aku lah. Emang kamu?!" aku tersenyum kecut. "Makanya cari pacar, biar bisa jalan-jalan!"
Aku tertawa karena omongannya, sungguh-sungguh tertawa. Dasar! kujawab dengan sisa tawa yang ada, "ya udah sana minta uang pacar kamu. Ngapain minta ke aku." aku pun melenggang pergi meninggalkan Nadiya. Masih beberapa kali melebarkan kaki, aku merasakan sakit di lututku karena tiba-tiba kakiku ini sudah mencium lantai. Apalagi kalau bukan ulah saudari kembarku tadi, Nadiya. Berhasil membuatku tersandung.
"Tinggal ngasih aja apa susahnya sih?!" aku pun berdiri sambil menatapnya. "Kasih uang, aku pergi. Selesai. Gitu doang, nggak ribet!" aku masih menatapnya tanpa mengeluarkan suara, lalu mengangkat bahu asal dan pergi dari hadapannya.
Kini gantian tarikan kuat dirambutku berhasil membuat kepalaku pening. Kencangnya bukan main, dan refleks aku berteriak menyebut nama si pelaku, siapa lagi kalau bukan Nadiya lagi. Hingga beberapa siswa yang lewat beralih menatapku dan dirinya. Jambakannya lantas dilepas. "Udah aku bilang, kamu kan juga dikasih sama Mama. Pakek uang kamu sendiri lah. Sshh..." aku mengelus-elus kepalaku yang sakit, masih dengan menatap Nadiya.
"Yaelah, dikit doang Dea! Sama saudara sendiri jangan pelit!" ia menepuk pipi kiriku. "Pokoknya nanti sampek rumah aku minta uangnya! Dah..." tak lupa sebelum pergi ia menoyor kepalaku seenak jidat. Aku hanya bisa menatap punggungnya sambil menggeleng. Tidak ingin membalas karena selain saudara sendiri, aku juga tak ingin membalas kejahatan dengan kejahatan, dan ya sebaliknya, aku harus tetap bersikap baik.
"Lama nggak? Maaf ya kalau lama." Alin menyodorkan nasi bungkus dan air mineral dengan tampang merasa bersalah. Aku menggeleng lalu menerimanya. Dia memberikan cengiran lebar lalu berujar, "aku kira mau nyusul, ternyata enggak." kemudian menggaruk-garuk kepala.
"Bukannya aku nggak nyusul Lin. Udah mau nyusul kok, cuman gara-gara kelakuan si Diya tadi, aku jadi nggak bisa nyamperin kamu." batinku berteriak. "Hehe, ketinggalan jejak. Salah siapa ninggalin aku? Pakek lari lagi..." jawabku apa adanya, dan ada benarnya juga kan?Memang aku ketinggalan jejaknya tadi.
Alin tersenyum kecil. "Iya ya..."
"Dasar..." Alin malah terkekeh. "Yaudah buruan balik kelas, btw makasih ya..." ia pun mengangguk.
"Awhhh..." rintih Alin kencang karena tubuhnya tiba-tiba saja terdorong hingga beberapa langkah didepanku. Aku yang masih terkejut langsung menengok ke arah belakang menatap laki-laki itu lagi, biang onar. "Tck... Dia lagi, dia lagi." ucapku tetap di dalam hati karena jengah melihat muka belagu itu.
Aku menatapnya tajam tanpa rasa takut. Entah kenapa aku bisa seberani ini padahal aku murid baru. Kupastikan mataku sudah mendelik lurus ke arahnya. "Heh! Untung aja dia nggak jatuh. Mau kamu apa sih?!" bentakku. Sungguh tak terima akan kelakuan jahilnya barusan.
"Sorry! Sengaja..." sahutnya sederhana. Selepas itu pergi. Aku hanya bisa menghembuskan napas kasar dengan menatap kepergian orang kurang ajar itu.
"Ada yang sakit, Lin?" tanyaku setelah mengelus pundaknya.
Ia menggeleng kecil. "Cuma kaget aja sih." bukannya marah atau apa, Alin malah tersenyum polos.
"Maafin Nino, Lin. Dari dulu memang nggak berubah." aku terdiam ketika mendengar suara itu, suara yang mendamaikan dari seseorang yang tampan tampang juga hatinya. Huft... tarik napas buang. Tarik napas buang. Tarik napas buang. Alin mengangguk tanpa bersuara. "Duluan Lin." kemudian ia beralih menatapku. "Dea..." senyum manis tak lupa ditunjukkannya.
"Eh, i-iya." dengan berbinar aku menatap punggung itu sedikit lama.
"Udah, jangan diliatin terus. Ntar suka...." aku menggeleng pelan. "Emang udah suka." batinku jujur. Iya jujur, tapi di batin saja. "Ayok ke kelas. Keburu bel, ntar malah nggak jadi makan." lalu Alin menarik tanganku, kubalas dengan anggukan cepat. Kami pun berjalan kilat untuk mengejar waktu.
°•°•°
Parah... Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak setengah jam yang lalu. Sedangkan aku sendiri, masih di tempat parkir menunggu Nadiya yang belum juga kelihatan batang hidungnya.
"Tck... Harus sampek kapan nungguin? Udah tau kalau sore dikit nggak ada angkutan umum." sialnya, tak ada bangku disini, membuatku benar-benar harus menahan lelah karena berdiri. Lebih sial lagi karena ponsel yang kugenggam ini, dia tidak bisa menyala karena pingsan, membutuhkan asupan energi. Alhasil, sulit untukku memesan ojek online. "Kamu ke mana sih Diya... Hhh...."
Mobilnya masih ada! Itulah yang menjadi alasanku untuk tetap menunggunya. Bahkan tinggal mobil miliknya saja yang setia di tempat ini. Karena kedudukannya yang lebih tinggi di banding denganku. Ia lahir lima menit lebih dulu sebelum aku. Jadi menurutku Nadiya lah yang memang layak menerima fasilitas itu.
"Dah...!" suara Diya sudah terdengar, namun aku tak menoleh ke sumber suara.
"Ayok!" ajaknya setelah di depanku dan kubalas dengan anggukan tegas lalu berujar, "lama banget... dari mana aja?" Diya tersenyum.
"Kayak nggak tau aja. Biasa lah." aku mengernyit. "Nggak usah bingung. Kayak nggak tau aku aja." setelah itu ia masuk ke benda berwarna putih yang dari tadi menunggu pemiliknya. Aku pun menyusul.
"Gila! Emang kamu udah putus sama Dewa?" Diya tersenyum miring kemudian menggeleng lalu menyalakan mesin mobil. "Selingkuh?" Diya mulai menjalankan kendaraan yang kami tumpangi seraya membalas tatapanku yang sedari tadi masih setia menatapnya.
"Ya iyalah. Diem deh... kayak nggak tau aja." aku membuang napas kasar. Tak suka.
"Aku kira kamu udah berubah." menghadap ke depan dengan perasaan campur aduk yang enggak bisa kujelaskan. Diya malah santainya tertawa riang, membuatku menggeleng. Satu yang melekat di diriku, aku benar-benar tak habis pikir dengan ulahnya.
°•°•°
Gimana? Permulaan nih....
Ada masukan? Nggak ada? Oke.
See you
Gbu