Selamat membaca
°•°•°
Kurebahkan tubuh yang terasa sangat lelah di kasur empuk milikku setelah melempar asal tas ransel putih di atas lantai. Seragam yang masih melekat serta sweater merah maroon belum juga kulepas. Berbaring seraya menatap langit kamar dengan senyum cerah yang terbit begitu saja.
Membayangkan sosok laki-laki yang mampu membuat jantungku berdegup kencang tak karuan. Rambut hitam pekat dengan poni panjangnya yang disisir rapi ke belakang, membuat dia terlihat segar meski tugas matahari di langit hampir berakhir. Belum lagi lesung pipinya di bagian kanan yang malu-malu ingin keluar, hanya kecil tapi berdampak besar untukku. Bibirnya yang tak terlalu tebal dan mengeluarkan suara tegas lagi-lagi mampu menarik perhatianku. Jangankan wajah tampan itu, tubuhnya yang tinggi dan tegap pun turut andil membuatku terbayang-bayang akan pesonanya.
"Astaga!" aku menutup muka. Kurasa pipiku menghangat. "Kayaknya aku emang suka sama dia..." aku menarik tubuh pelahku untuk bangun dan duduk di tepi ranjang. "Eh, HP!" baru saja ingat, aku pun mencari charger yang biasanya ada di meja. Mengeluarkan benda pipih berwarna hitam itu di kantong rok abu-abu. Mengisi dayanya, begitu sudah kusambungkan dengan kabel yang sesuai. Pandanganku teralihkan. Aku mengambilnya dari atas meja yang kugunakan untuk belajar.
"Hai Budyku!" aku terkekeh. Budy adalah buku harianku, singakatan dari : BukU DiarY. Jangan ditanya bentuknya ya, sudah pasti dia itu lecek, kotor, dan bau. HAHA! Percaya? Jangan... Aku bercanda kok mengatakannya. Budy itu sedikit masih tampan. Ingat, sedikit. Dia tidak buruk, hanya saja umurnya yang sudah tak muda lagi, tapi juga enggak usang, ya begitulah bentukannya. Warna tubuhnya yang hitam masih cukup jelas. Tapi ya... sudah tak terlalu bersih seperti dulu.
Aku berteman dengan Budy sejak aku memakai rok warna biru tua di sekolah dulu. Dimulai dari pertengkaran kecil antara Mama dengan Papa, kelakuan Diya yang sering buruk padaku, sampai kejadian tiga hari lalu waktu aku pindah rumah di sini sekaligus sekolah dengan Diya, semuanya itu aku adukan pada Budy. Ya, ini adalah rumah keduaku. Mama yang membelikannya untukku dan Diya. Mama sendiri yang menyuruh kita untuk hidup mandiri. Meskipun begitu, uang bulanan tetap mengalir seperti biasa. Masalahnya cuma karena kami yang berada jauh dengan beliau, yakni berbeda kota. Jauh di mata namun dekat di hati, hehe. Aku harap.
Surat dan lain-lain diurus sendiri oleh Mama. Padahal aku dan Diya baru saja memasuki semester dua kelas sepuluh beberapa minggu lalu. Seperti inilah takdir, tidak bisa ditebak kedepannya. Ikut alurnya saja.
"Oke Budy! Saatnya kita menghabiskan waktu berduaan! Tiada yang mengganggu." masalah PR sudah aku selesaikan di sekolah, begitulah program di sekolah baruku. Kalau seorang siswa tidak memilih ekstra kurikuler, mereka boleh menggunakan waktu di sekolah untuk mengerjakan tugas. Berhubung aku tidak suka ekskul, aku lebih baik menyicil PR, sama saja kan pekerjaan rumah dengan tugas?
Hari ini Budy, sesuai hadirnya aku di sekolah yang pertama kalinya, aku juga memiliki pengalaman baru disana, bukan cuma temen... Kamu tau Budy! Aku menemukan seseorang yang pertama. Ya, dia yang pertama Budy! Dia berhasil membuatku kagum, mungkin ini yang namanya cinta pandangan pertama. Eh, hahaha, cinta? Iyakah? Mungkin masih suka. Jujur Budy, dia laki-laki tampan berhati tampan pula. Aku percaya Budy, kalau kamu udah lihat dia, kamu pasti bakalan iri. Satu lagi Budy, ibarat hidup yang ada manis-pahitnya, di kelas juga ada. Sean si manis dan pahitnya itu si Nino. Ya, Sean namanya. Aku menyukainya Budy! Hari ini aku memilihnya, sesuai pilihan hatiku.
Ya... Sean. Aku menyukaimu.
Nadea.
Aku menguap. "Selesai!" kukembalikan Budy dan sahabatnya yang kugunakan untuk mencoret-coret tubuh Budy kembali ke asalnya. "Oke, sepertinya butuh mandi."
Hanya dalam waktu lima belas menit aku sudah kembali segar. "Mana uangnya?" suara Diya dari belakang tubuhku. Salahku, lupa mengunci pintu.
Aku memutar bola mata jengah. "Plis Diya... Kamu kan udah dikasih Mama juga. Pekek uangmu sendiri. Aku juga punya kebutuhan, bukan kamu doang." Diya mendekat. "Plis Diya!"
Diya tersenyum. "Dikit doang Dea. Cuman lima puluh. Ya?" dengan terpaksa aku mengangguk. Aku tahu apa yang akan terjadi kalau aku menolak keinginannya, pipiku pasti akan merah akibat tamparan keras darinya.
"Nih." Diya menerimanya.
"Makasih." selepas itu pergi tanpa menutup pintu kamarku. Aku hanya mampu menatap kepergiannya tanpa berkata.
Beralih mengecek benda pipih yang tadi sempat pingsan di sekolah. "Alin?" Alin mengirim pesan. Ia mengatakan bahwa akan ke rumah untuk menjemputku. Aku setuju dengan usulnya yang berniat mengajakku mencari makan malam.
°•°•°
Matahari sudah berganti posisi, jauh sebelum aku bersiap pergi dengan gadis di sampingku ini. Aku tidak menyangka bahwa dia bisa menjalankan kendaraan beroda empat seperti sekarang ini. Celana jeans hitam selutut yang dipadukan dengan kaos berlengan panjang warna merah. Belum lagi jepit bentuk pita yang berwarna senada dengan kaosnya. Membuatku berdecak kagum. Dia itu kaya iya, polos iya, apa adanya juga iya, tidak sombong pula. Keren.
"Kenapa Nad? Aku aneh ya?" aku menggeleng.
"Enggak. Aku kagum aja sama kamu." Alin terkekeh. "Em, panggil aku Dea aja." ia mengangguk.
"Aneh-aneh aja kamu. Aku biasa aja kali... Kamu tuh, yang buat aku iri."
Kalimat terakhirnya membuatku melongo. "Kok bisa?"
"Bisa lah. Rambutmu tuh, panjangnya yang hampir sepinggang, punya tubuh ramping, enggak pendek tapi juga nggak tinggi sih. Kamu juga anak baik, terus cantik pula! Buat iri kan?"
"Ye... Malah ngomongin aku! Udah lah, semua cewek itu cantik." putusku enggak mau memperpanjang sesi saling memuji ini karena aku harus ingat, di atas langit masih ada langit. Dipuji tidak terbang dan dihina tidak tumbang, iya kan? Harus.
Alin mengangguk seraya tersenyum. "Iya lah cantik, namanya juga cewek, lain lagi kalau cowok."
"Itu tau!" Alin tersenyum lagi. "Apalagi yang di kelas. Baik, ganteng juga... Idaman."
"Siapa?"
"Eh? Apa?" tanyaku gelagapan. Aduh!
"Yang kamu maksud itu... Siapa?" Alin menaik-turunkan alisnya. Alamat! Aku baru sadar kalau keceplosan. "Aku tau!"
Jantungku sudah berdetak satu tingkat lebih cepat dari batas normal. "Ha? Masa?" serius? Alin tau? Nggak mungkin!
"Iya." balasnya santai.
Benar, aku akan malu kalau tebakannya tepat. "S-siapa emang?"
"Kan kamu sendiri tadi yang mengidam-idamkan sosoknya. Kok balik tanya ke aku?" pandangannya mengarah pada jalanan di depan sekarang.
"Bukan gitu... Katanya tadi kamu tau, gimana sih... Terus siapa?"
"Sean."
"K-kok bisa tau?" aku menatap heran ke arah Alin, indigo?
"Aku ngasal malah bener, bonus dong berarti...."
"Dasar!" kena jebakan! Bibirku manyun dengan sendirinya. Yah... Malu, itu yang tengah aku rasakan. Masih sehari masuk sekolah yang baru udah suka sama laki-laki, sekelas lagi. Mau gimana lagi? Sudah pilihan hati.
"Aku ngerasanya sih waktu kamu senyum-senyum gitu pas ngeliat Sean. Makanya aku mikir, mungkin dia orangnya. Siapa tau bener ya kan? Eh ternyata emang bener."
"Iya-iya bener... Udah deh berhenti ngebahas!"
Aku tahu Alin menahan tawanya. "Udah sampek! Waktunya makan..." aku yang baru ngeh pun mengedarkan pandangan di sekitar dan benar, kita sudah sampai.
"Hem...."
Alin pun tersenyum lebar tepat di depan mukaku setelah mendengar responku. Lirikan malas kuberikan karena aku tahu kalau dia sengaja ingin menggoda. "Jangan ngambek Dea, cantiknya entar luntur. Kalau luntur, Sean nggak bakal suka...."
"Apaan sih...."
"Nggak usah ngambek...."
"Siapa yang ngambek?!" lalu kulebarkan senyum, bukan senyum palsu. Tapi sedikit terpaksa.
"Gitu dong... Biar Sean suka balik!" selepas itu lari meninggalkanku sendirian di parkiran.
"Hih... Dasar Aliiin...!" gemas sendiri melihat tingkahnya itu.
°•°•°
Teman perempuanku sukses membuat diriku dilanda rasa bimbang. Sebelum Alin meminta ijin ke toilet ia bertanya penuh kesungguhan, "kamu serius suka sama Sean, De?" aku mengangguk. "Aku kasih tau ya... Kalau kamu bener dan yakin suka sama Sean, kamu harus pasang pelindung hati. Karna apa? Karna yang suka sama Sean itu banyak, bukan kamu doang. Jangan kaget kalau tiba-tiba aja Sean punya pacar. Karna apa? Karna orang ganteng itu bebas. Dia bebas milih siapa yang pantes buat dia pilih. Jadi, pikir baik-baik sebelum kamu jatuh paling dalem..."
Oke, menurutku itu sulit. Mendengar penyuka Sean yang bisa dibilang tidak sedikit. Apalagi aku tahu, anak-anak cewek di sekolah juga banyak yang cantik, kecantikan mereka bahkan di atas rata-rata. Belum lagi yang berprestasi dan sopan, pasti juga jadi incaran.
"Argh... Pusiiing!" kutundukkan kepala di atas meja. Baru beberapa detik, aku mendengar suara kekehan Alin.
"Santai sister... Tenangin pikiran. Butuh kopi?" aku mendongak agar bisa menatapnya.
"Nggak usah... Aku kuat."
"Mau pesen apa?"
Aku sudah kembali ke posisi awal, menatap lurus Alin yang mengembangkan senyum lebarnya di depanku, karena memang sudah posisi awal di hadapanku. "Udah lah... Udah banyak loh kita pesennya. Pulang aja lah."
"Nonton?" aku menggeleng. Alin malah tersenyum. "Aku tau... Kamu lagi pengen sendiri ya? Maaf kalau aku salah ngomong ya... Aku cuman mau kamu nggak terlambat aja."
Aku mengangguk. "Aku tau kok. Kamu ngasih tau juga demi aku. Thank's ya..." Alin tersenyum.
"Sama-sama... Jadi gimana? Mau nonton?" aku tetap menggeleng. "Ya udah ayok pulang."
"Ayok!"
Gadis sederhana itu menggeleng pelan. "Nadea-Nadea."
Aku terkekeh. "Alin-Alin."
Mobil Alin siap membelah padatnya jalanan. Aku terdiam sembari menatap jalan yang sulit di terjang karena macet menyerang. Masih terekam jelas ditelingaku tentang saran Alin tadi.
Kulirik dia yang fokus pada benda bundar di depannya. Sesekali mengecek benda pipih yang ada di genggamannya. Aku tahu, dia baik. Tujuannya agar aku tidak merasakan sakit nantinya. Tapi aku yakin, hatiku sudah mantap untuk memilih laki-laki itu.
"Aku tau, ini aneh. Aku tau, ini terlalu cepet, aku juga tau kalau ini bukan untuk main-main. Tapi aku yakin, milih dia. Aku siap jatuh cinta." tekadku dalam hati. Aku membuang napas kasar lalu menghirup oksigen dalam-dalam. "Aku juga siap patah hati."
Akhirnya sampai juga. "Malem Dea... Selamat tidur ya! Dan jangan lupa tugasnya!"
"Selamat malam dan tidur juga... Kalau tugas sih udah terkondisikan, utama dong!"
"Sip lah...! Bye!" aku mengangguk. Sebelum menutup jendela, Alin memanggilku dengan kepalanya sedikit menunduk. Aku pun kembali menatapnya. "Kalau dia memang udah jadi pilihan hati, jangan takut bermimpi. Tapi harus berusaha untuk meraihnya dan berani berlari karna dia itu mimpi yang wajib digapai." Alin tersenyum. "Jangan lupa, selalu sebut dia dalam doa kalau kamu memang pengen dia jadi kenyataan. Inget, doa mampu merubah semuanya. Apa yang keliatannya nggak mungkin bisa aja jadi mungkin."
Aku mengangguk. Sebelum melanjutkan jalan, aku berbalik. Seketika senyum cerah terbit di pipiku asli, tanpa kubuat-buat. Aku senang mendengarnya. "Pasti Lin... Makasih!" Alin mengangguk kemudian melajukan mobil silvernya.
°•°•°
Gimana, gaesss? Makasih yang mau stay dan selalu mendukung. Percayalah, dukungan kalian yang menyemangati para penulis.
See You
Gbu