Chereads / Really I Want / Chapter 36 - Chapter 35

Chapter 36 - Chapter 35

Pagi ini Zea sangat malas berangkat ke sekolah. Terutama kedua matanya itu sangat terasa berat. Seperti biasa saat Zea menangis, mata bengkaknya terkadang sampai 3 hari. Namun hari ini ada ulangan fisika. Benar-benar bikin pusing. Memang ya yang namanya guru fisika itu terkenal killer. Jika saja bukan karena guru fisika, Zea tidak ingin berangkat sekolah.

Ya kali kalau nilainya dibawah KKM disuruh lari sesuai dengan nilai KKM dikurangi nilai ulangan. Benar-benar kejam. Sebab itu Zea mengalah untuk berangkat sekolah. Misalkan Zea tidak tahu jawabannya, dia bisa tanya kepada temannya.

Setelah memakai seragam sekolah, dia mengaca. Ini yang paling Zea benci setelah menangis. Kedua matanya jadi susah untuk dibuka. Lagi-lagi harus memoles wajah untuk mengurangi matanya terlihat bengkak.

"Kenapa ya hidup gue gini-gini terus?" tanyanya menatap kaca.

Zea kembali memoles wajah. Akhir-akhir ini hidupnya benar-benar sial. Gara-gara terlalu banyak luka membuat penampilan Zea culun. Rambut tetap berponi, kaos kaki panjang, memoles wajah setiap selesai nangis, dan yang paling membuat ribet yaitu selalu membawa lipgloss.

"Sudah selesai," ujarnya tersenyum dengan kaca. "Lama-lama gue bakal buka rias pengantin kalau gini terus."

Dia membereskan alat make up. Setelah itu dia keluar dari kamar. Saat bertemu dengan Bundanya, rasanya ingin menangis lagi.

"Hari ini kamu nggak usah sarapan karena kamu sudah berani sama saya dan kamu hari ini nggak boleh bawa motor."

"Nggak apa-apa kok, Bun. Gini-gini Zea masih bersyukur karena Bunda masih mau bayar bulanan sekolah Zea. Zea pamit dulu, assalamualaikum," pamit Zea tanpa mencium tangan Diana. Sebab dia yakin, Diana tidak akan merespon.

"Kak Zea, tunggu! Ana mau berangkat sama Kakak!" teriak Ana.

"Sarapan dulu Ana!" bentak Diana menyengkal tangan kanan Ana.

Ana pun langsung menghempaskan genggaman tangan itu. "Nggak, Bun! Kak Zea juga anak Bunda. Dia juga berhak untuk sarapan, maafin Ana. Assalamualaikum."

Perkataan Ana benar-benar menohok Diana. Jika saja gengsi pada diri Diana tidak mendominasi, dia akan memperbaiki semuanya. Dia juga ingin memperlakukan Zea seperti anak pada umumnya. Apalagi saat mengingat masa lalu yang menjijikan itu. Rasanya sangat muak dengan kehidupan ini.

"Maafin Bunda, Zea, hiks." ujar Dina lirih.

***

"Kak Zea! Tungguin Ana!" teriak Ana sambil mengayuh sepeda.

Dia terus mengayuh sepeda. Langkah kaki Zea benar-benar cepat. Mungkin karena saat dulu dia sering bermain lari-lari. Sampai tanpa sadar ada batu kecil yang membuat ban sepeda depan Ana oleng.

Gubrak!

"Aw!" rintih Ana. "Kakak! Ana jatuh!"

Dengan begitu Zea membalikan badan, kemudian berlari menghampiri Ana. Nurani Zea selalu kalah dengan Ana. Dia tidak bisa berbuat kejam kepada Ana.

"Ana, lo nggak apa-apa?"

"Sakit, Kak."

"Ya sudah gue boncengin saja, ya. Nanti pas di sekolah minta obat merah di UKS. Hari ini gue ada ulangan fisika pagi."

Ana hanya mengangguk. Dia menuruti permintaan Zea. Tak apa ada luka di lutut, yang terpenting bisa bersama Kakaknya karena Zea adalah sosok kuat dan pintar. Ya walaupun tidak pandai dalam hal akademik, tapi dia pandai dalam bidang non-akademik. Jadi, mereka adalah sosok adik kakak yang bisa saling melengkapi.

Tanpa banyak waktu, mereka berdua sudah sampai di depan sekolah Ana. "Ana gue nggak bisa lama-lama. Sekarang sudah pukul enam lebih sepuluh menit. Gue berangkat dulu ya," ujar Zea langsung meninggalkan Ana.

"Iya, Kak. Hati-hati di jalan!" teriak Ana.

Di dalam perjalanan, Zea merasa was-was. Pukul 07.00 dia harus sudah sampai di sekolah. Jika saja telat, maka dia akan mengerjakan soal di depan kelas. Bisa berabe jika itu benar-benar terjadi. Rencana akan menyontek akan gagal.

Dia terus berjalan cepat. Tidak mungkin jika Zea akan berlari. Berjalan cepat saja rasanya benar-benar menyiksa di kepala, apalagi lari. Memang penyakit sialan.

Tin! Tin!

Suara klakson motor itu membuatnya terkejut. Dia berbalik badan menatap orang tersebut. Seketika itu dia pun mendelik kesal.

"Apa lo?!"

"Jangan judes. Yakin lo nggak mau bonceng?" tawar Zafran.

Tanpa banyak omong, Zea langsung duduk di belakang Zafran. Untung saja Zafran datang. Jika tidak, Zea akan pingsan di jalanan.

"Jalan!" suruh Zea.

"Dasar nggak tahu malu."

"Nggak mau jalan, gue turun sekarang!"

"Oh, silahkan turun."

"Kok gitu?"

"Makanya jadi orang jangan sok!"

Tanpa aba-aba Zafran langsung menjalankan vespanya. Tentu saja itu membuat Zea terkejut. Sampai tanpa sadar Zea memeluk Zafran karena takut jatuh.

Zafran tersenyum puas. Kalau saja bisa seperti ini terus, hari-hari Zafran jadi semangat. Dunia jomblonya meronta-ronta ingin segera mendapatkan pasangan. Dia berharap, semoga Zea benar-benar jodohnya.

"Zea, lo tahu bedanya distributor sama gue?" tanya Zafran.

"Enggak, emang apa?"

"Kalau distributor menyalurkan barangnya kepada orang lain. Nah kalau gue menyalurkan hati ini kepada lo. Semoga lo suka dan puas sama hati ini," teriak Zafran dengan tangan kiri memegang dadanya.

"Itu bukan hati bego!"

"Bodoamat sih, yang penting gue untuk lo!"

Zea memutar bola matanya malas. "Lo tahu kenapa makan durian itu nggak boleh banyak-banyak?"

"Taulah, biar nggak pusing."

"Nah itu kayak omongan lo. Kalau dicerna lama-lama bikin pusing jadi enek di perut!"

Zafran hanya terkekeh. Zea marah, Zea sebal, Zea emosi, Zea sewot, dan lain-lain. Baginya itu sudah biasa. Bahkan kena tonjok Zea pun sudah pernah.

"Lo makin jelek kalau lagi marah, Ze. Jadi heran sama muka lo itu!"

Zea tetap diam tidak merespon lagi. Hingga mereka berdua sudah sampai di parkiran sekolah. Zea menepuk jidad. Dia lupa kalau ini hari Senin akan ada upacara. Kalau saja ingat dari tadi, dia tidak akan cepat-cepat ke sekolah. Jika ada upacara, sudah dipastikan ulangan harian fisika akan ditunda. Sebab mapel fisika jam 1 dan 2. Tentu saja waktu itu masih digunakan untuk upacara.

"Zea! Mata lo kenapa?" Tanya Zafran menatap lekat kedua mata itu.

Mata indah yang bisa menumbuhkan cinta. Kedua mata itu juga yang membuat hubungan cintanya hancur. Memang jaman sekarang susah untuk cari jodoh.

Terkadang Zafran juga ingin ikut acara take me out. Siapa tahu dapat pilihan jadi tidak jomblo lagi. Dia juga ingin menggunakan aplikasi tantan. Siapa tahu ketemu jodoh di sana.

"Mata gue?" Tanya Zea.

"Iya, mata lo kenapa gitu? Habis nangis?"

"Nggak kok. Tadi malem gue cuma lembur buat cerita di wattpad. Kasihan pembaca gue, takutnya pada nunggu lama. Gue tahu, menunggu itu nggak enak. Apalagi nggak ada kepastian."

"Dasar bucin."

"Bucin mbah lo!"

Kedua alis Zafran menyatu. "Emang ada yang baca?"

"Ada sih. Tapi nggak banyak."

"Lah ngapain masih saja suka nulis cerita? Nih mata lo kayak habis dipukulin masa."

Zea tersenyum kecut. Tidak mungkin jika dirinya benar-benar mengatakan bahwa dirinya menangis. Lagian Zafran juga tahu kalau Zea suka menulis cerita.

"Gue bikin cerita sesuai isi hati. Ya siapa tahu bisa buat motivasi seseorang."

"Kalau capek jangan dipaksain, Ze."

"Siap, Bang Jago. Hmm, terimakasih ya. Gue masuk ke kelas dulu."

"Tunggu, Ze!" Tangan kanan Zafran menarik tangan kiri Zea.

Zea pun menatap tangannya yang masih digenggam Zafran. Kemudian dia berbalik badan menatap Zafran. "Nanti pulangnya bareng gue. Ada sesuatu yang harus gue omongin sama lo."

Zea hanya menganggukkan kepala. Rasanya cukup penat. Dia masih punya uang dari hasil online shop sehingga memutuskan pergi ke kantin untuk membeli aqua.

"Gue butuh lo, Zaf. Gue ingin cerita semua ini sama lo. Tapi gue takut lo bakal jijik dan ngejahuin gue," batin Zea menangis.