Mengingat ucapan Zea saja rasanya sakit. Melihat Zea berboncengan dengan laki-laki juga sakit. Apalagi melihat Zea bermesraan dengan laki-laki lain. Mungkin rasa sakitnya sampai ke sel-sel tubuh. Demi apa pun rasanya itu seperti es campur. Ada sakit, sesak, sebal, dan lain-lain.
"Anjing!" maki Zafran saat melihat Zea tertawa.
Saat bersama Zafran, Zea jarang terlihat tertawa lepas. Zea lebih sering pasang muka sebal. Melihat tawa Zea membuatnya sangat cemburu. Zafran ingin menghajar laki-laki yang sedang bersama Zea, tapi dia sadar diri bahwa dirinya tidak lagi memiliki Zea seutuhnya. Lagi pula Zafran cukup sadar diri bahwa dirinya tidak padai dalam hal tonjok menonjok.
"Eh lah Babi!" maki Zafran saat melihat Zea memeluk laki-laki itu.
"Bangsat!" maki Zafran saat melihat Zea tertawa sambil memukul helm laki-laki itu.
Dalam perjalanan menguntit, Zafran tak henti-hentinya melontarkan berbagai perkataan kasar. Dia sendiri tidak sadar apa yang telah dia ucapkannya. Dasarnya laki-laki kalau sudah marah suka tidak sadar.
Zafran sangat terkejut saat tahu kalau mereka berdua berhenti di parkiran rumah sakit. Dia juga segera ikut memarkirkan motor yang agak jauh dari mereka. Setelah melepas helm, dia menutup kepalanya menggunakan penutup kepala jaket. Hingga sampai sekarang Zea belum sadar jika sedang dimata-matai oleh Zafran.
Dia lebih terkejut saat melihat mereka berdua mencium tangan seorang dokter. "Dia siapa? atau jangan-jangan dia mertua Zea?" batin Zafran. Dia kembali fokus memata-matai mereka.
Kacau sudah pikiran Zafran. Dia benar-benar takut kehilangan Zea. Cukup sekali saja Zafran menyia-nyiakan Zea. Dia sangat menyesal atas perilaku yang selama ini telah diperbuat.
Zafran kira Zea mau memanggil pakai aku-kamu karena dia yakin bahwa Zea juga masih menyimpan rasa cinta untuknya. Ternyata salah, semua diluar perkiraan dan pikiran Zafran, tapi dia langsung menempis pikiran jeleknya mengenai Zea. Dia memutuskan untuk lebih fokus ke arah tingkah laku dan percakapan mereka.
"Zea, sudah siap?" Tanya Andi.
Zea masih saja terdiam dengan pandangan kosong. Tentu saja itu membuat banyak pertanyaan dalam pikiran Zafran. Apakah Zea dijodohkan? Apakah Zea belum siap tunangan? Apakah Zea belum siap menikah? dan apakah sebenarnya mereka berdua itu sudah diam-diam tunangan? Ah sial! Rasanya Zafran ingin menghabisi laki-laki itu sekarang juga.
Mengingat sikap Zea membuat Zafran sedikit tenang. Di sana dia tidak melihat anggota keluarga dari Zea. Jadi, tidak mungkin kalau mereka berdua tunangan. Walaupun mendapatkan Zea adalah hal mustahil, tapi Zafran tidak akan mudah putus asa. Segala sesuatu yang diperjuangkan hasilnya akan memuaskan.
"Zea? Kenapa bengong?" tanya Andi sambil mengibaskan tangan kanannya di depan wajah Zea.
"Zea?"
Zea pun terkejut. "Eh, iya, Om? Maaf tadi ngomong apa ya?"
"Apa kamu sudah siap?"
"Sudah, Om. Hmm, apa Zea benar-benar akan sembuh? Zea capek dengan semua ini, Om. Kenapa Tuhan nggak ngambil Zea saja? Zea sudah ikhlas. Zea juga sudah siap."
"Kamu nggak boleh ngomong gitu, Ze. Hidup dan mati itu sudah ditakdirkan oleh tuhan. Kamu jalanin saja dulu. Om, yakin bahwa setiap cobaan itu pasti ada hikmahnya dan Om, juga sangat yakin suatu saat nanti kamu pasti jadi anak yang tegar dan berpikir dewasa. Kamu harus jadi anak yang kuat. Ingat Zea, jangan langsung menyerah sebelum mencoba."
"Terimakasih, Om. Do'akan Zea semoga cepat sembuh ya, Om. Terimakasih Om Andi dan Tante Arini selalu ada untuk Zea."
"Ayo, kita keruangan, Om. Dian, do'akan gue ya."
Zea pun tersenyum. Dian sangat terharu melihat perjuangan hidup Zea. Tidak seperti hidupnya yang tercukupi segalanya. Bahkan sejak kecil Dian tidak pernah melihat kedua orang tuanya bertengkar. Masalah kebutuhan hidup juga lebih.
"Semangat, Ze. Gue selalu berdo'a dan dukung lo kok. Lo itu segalanya buat gue," ujar Dian sambil merangkul Zea.
Zea tersenyum menatap Dian. Dia sangat bersyukur memiliki teman seperti Dian. "Terimakasih, Dian. Gue nggak tahu lagi harus ngomong apa sama lo. Gue cuma bisa ngomong kalau gue sayang sama lo dan lo juga segalanya buat gue. Zea sangat berterima kasih sama Om, Dian."
Deg!
Apa-apaan ini? Zafran tidak mengerti dengan semua ini. Hatinya terasa ngilu mendengar pernyataan Zea. Kedua tangannya mengepal menahan amarah. Namun, dia juga bingung tentang setiap perkataan mereka.
"Berdo'a buat kesembuhan Zea? Apa Zea sedang sakit? Zea sayang sama laki-laki yang namanya Dian itu?" gumam Zafran bertanya-tanya.
"Sama-sama. Ayo, kita ke ruangan. Jadwal Om masih banyak lagi buat nanganin pasien lain."
"Hehehe iya, Om."
Zafran terus mengikuti kemana mereka bertiga akan pergi. Hingga mereka bertiga memasuki sebuah ruangan. Zafran langsung mematung.
"Ngapain mereka ke ruangan itu? Atau jangan-jangan Zea akan melakukan kemoterapi?" batin Zafran lagi.
Untuk menghilangkan rasa penasarannya itu, dia akan menunggu Zea diparkiran rumah sakit. Jika menunggu di depan ruangan sangat tidak memungkinkan. Dia tidak ingin Zea langsung tahu kalau sejak tadi dirinya memata-matai Zea.
Dia langsung menuju parkiran. Dia duduk di depan warung dekat parkiran. Tempat warung itu sangat mudah untuk mengetahui akan kedatangannya Zea nanti. Lagian sangat dekat dengan motor yang dipakai Zea dan Dian tadi.
Pikiran Zafran semakin bertanya-tanya. Dadanya sesak mengingat ucapan Zea mengatakan sayang kepada laki-laki itu. Semua itu membuat Zafran emosi.
Sudah lama Zafran menunggu Zea dan Dian datang ke parkiran. Hingga akhirnya mereka berdua benar-benar sudah datang dan sedang menuju ke arah parkiran. Zafran segera bangkit untuk menghampiri mereka berdua. Dia langsung memeluk Zea. Sedangkan Dian, dia hanya menjadi pengamat mereka berdua.
"Zea, kamu habis jengukin siapa? Siapa yang sakit, Zea?" tanya Zafran sambil mengelus rambut Zea. Dia sangat terkejut melihat rambut Zea benar-benar rontok di sela-sela jarinya.
"Aku baru jenguk temen."
"Jangan bohong, Ze. Ini apa? Aku tahu semuanya," ujar Zafran menunjukkan rambut rontok. "Rambut ini baru saja aku dapat dari rambut kamu."
Zea hanya bisa tersenyum kecut. Kali ini dia tidak bisa mengelak lagi. Apalagi melihat wajah Zafran yang sudah memerah seperti itu. Mungkinkah dia sedang marah?
"Kenapa diam? Kenapa kamu nggak pernah cerita sama aku? Kenapa kamu malah sama laki-laki ini? Jadi, ini alasan kamu tidak mau menerima aku lagi? Ini alasan kamu menolak permintaan ku? Aku benar-benar nggak nyangka."
Zea menggelengkan kepala menatap Zafran. Dia tidak tahu apa maksud Zafran. "Dia cuma teman aku dari kecil, Zaf. Apa aku salah jika sama temen aku? Dia sahabatku, dia sudah seperti keluarga ku sendiri."
"Aku benar-benar kecewa sama kamu," ujar Zafran lirih dan begitu menohok Zea.