Air mata Ana semakin membanjiri pipi melihat Diana benar-benar masuk ke dalam mobil. Dia segera berlari menuju mobil Diana. Ketika jaraknya sudah dekat, mobil yang dinaiki Diana justru melaju pesat.
"Bunda!" Panggil Ana.
Kedua tangan Ana memegang gerbang rumah. Dia menatap kepergian Diana sambil terus menangis. Ana benar-benar tidak menyangka kalau Diana akan setega itu. Dalam keadaaan darurat pun Diana tidak mencari keberadaan Zea. Keberadaan Zea saja dia sangat tidak peduli, apalagi kondisi Zea.
Tangan kanan Ana mencengkram gerbang menahan amarah kepada Diana. Andai saja posisi Ana bisa digantikan Zea, maka Ana akan mengalah demi Zea, demi kakaknya bisa mendapatkan kasih sayang tulus dari seorang ibu.
Ana pikir setelah dia bercerita mengenai Zea, Diana akan peduli. Dia juga berpikir bahwa hari kemarin adalah bentuk pertama momen keluarga akan tumbuh harmonis. Nyatanya itu hanya halusinasi saja, Diana masih saja tidak peduli kepada Zea.
Lalu bagaimana jika Ana mengatakan penyakit Zea kepada Diana? Apakah Diana akan perhatian atau malah tambah membenci Zea? Ana bingung, dia tidak tahu lagi bagaimana caranya membuat keluarganya terasa harmonis.
Setiap hari Ana tidak sanggup melihat Zea menderita dan dia juga tidak suka melihat perlakuan Diana yang kasar dan terlalu tidak peduli. Ana merasa sulit dalam mencari solusi pada posisinya. Dia ingin melaporkan ke polisi tapi Diana adalah orang tuanya, jika tidak melaporkan ke polisi, dia tidak tega melihat Zea tersiksa.
"Bunda, jahat. Kenapa Bunda malah pergi disaat Kak Zea benar-benar membutuhkan Bunda? Bunda, jahat, hiks," ujar Ana sambil menatap jalanan sepi. Tidak ada satu pun kendaraan lewat di depan rumahnya. Ana memutuskan datang ke rumah tetangganya untuk meminta pertolongan. Setiap langkah kakinya tak hentinya meneteskan air mata.
"Assalamualaikum! Om! Tante! Tolongin saya! Hiks," teriak Ana dari depan gerbang.
"Om Tian, tolongin Ana!"
"Tante Rumi, tolongin Ana!
"Tolongin, Ana, hiks."
Beberapa kali Ana memanggil nama pemilik rumah, tetapi tidak ada respon dari pemilik rumah tersebut. Kondisi rumah tetangganya terlihat gelap, sepertinya mereka sedang pergi keluar. Ana memutuskan untuk meminta pertolongan kepada tetangga lainnya.
Setiap langkah kakinya, Ana merasa sangat lemas dan tidak berdaya. Semua rumah tetangganya terlihat banyak yang sudah gelap. Kemungkinan mereka sudah tertidur atau masih pergi. Lagi pula rumah tetangganya rata-rata menggunakan pagar tanpa bel rumah, sehingga menyulitkan Ana untuk memanggil para tetangganya.
Sebuah keberuntungan bagi Ana. Ketika dia sedang berjalan melewati pos kamling ada bapak-bapak yang memanggil dirinya."Dek!"
Ana pun membalikkan badan menatap kumpulan bapak-bapak. "Iya, Pak?"
"Kenapa menangis? ada yang bisa kami bantu? apa ada yang menyakiti kamu? mana orangnya?" tanya salah satu bapak-bapak tersebut.
"Tolongin Kakak saya, Pak. Dia pingsan, tidak ada keluarga saya yang berada di sini. Keluarga saya berada di luar kota semua dan Bunda saya baru saja berangkat kerja ke luar kota. Tolongi saya, Pak. Saya nggak tahu lagi mau minta tolong sama siapa, para tetangga saya tidak ada yang keluar ketika saya memanggilnya. Tolongin, Pak, hiks."
"Ana! kenapa kamu menangis?" tanya Pak Rizqi salah satu tetangga dekat Ana.
"Kak Zea pingsan dan banyak darah juga. Tolong bawa Kak Zea ke rumah sakit, Pak. Ana tidak tahu bagaimana mana cara mengurus rumah sakit, hiks."
"Ayo, kita ke rumah mu sekarang!" ajak Pak Rizqi.
"Sebentar, Pak. Rumahnya sebelah mana ya? nanti saya jemput pakai mobil saya dan bapak-bapak mending lanjutkan tugas jaga malam ini, biar saya dan Pak Rizqi yang akan mengantarkan Ana dan Zea ke rumah sakit," ujar Pak Anton.
"Baik, Pak. Saya setuju banget biar tidak ada kelalaian pada jaga malam ini," kata Pak Santoso menyetujui usulan Pak Anton.
"Jadi, rumah kamu dimana, Ana?"
"Rumah saya di paling pojok arah jalan ini," jawab Ana.
"Ya sudah, Pak Rizqi dan Ana duluan ya. Saya mau ambil mobil dulu."
Pak Rizqi dan Ana mengangguk setuju. Ana meminta Pak Rizqi untuk berlari agar cepat sampai di rumahnya. Dia sangat khawatir terhadap kondisi Zea dan dia juga tidak tahu sejak kapan Zea pingsan.
Akhirnya mereka berdua sampai di depan rumah. Mereka berdua segera menuju kamar kamar Zea. Pak Rizqi terkejut melihat keadaan Zea yang tengah terbaring lemah. "Astagfirullah, Zea!"
"Tolongin Kak Zea, Pak," pinta Ana.
"Iya, Ana."
Pak Rizqi mengangkat tubuh Zea untuk dibawa keluar diikuti Ana sambil mengambil hp milik Zea. Siapa tahu ada hal penting yang berhubungan dengan Zea. Ketika mengambil hp Zea, dia tidak sengaja melihat sebuah buku dairy yang sudah terkena bercak darah. Dia memutuskan untuk membaca isi buku tersebut. Namun, niatnya terurungkan ketika Pak Rizqi memanggil namanya. "Ana, mobilnya sudah sampai!"
"Iya, Pak!" jawab Ana. Dia meletakkan buku tersebut dan segera menuju ke depan rumah. Ternyata benar, mereka telah menunggu Ana di dalam mobil. Tanpa banyak waktu, dia segera memasuki mobil.
Dalam perjalanan, pikiran Ana begitu terombang-ambing. Dia yakin bahwa Zea masih menyimpan banyak rahasia di dalam hidupnya. Ana sangat penasaran mengenai buku tersebut. Jiwanya ingin mengetahui buku tersebut di saat dirinya pulang nanti, tetapi raganya sulit digerakkan untuk membuka buku tersebut. Dia takut Zea akan marah jika dirinya ikut campur dalam urusan Zea.
Padahal Ana berharap Zea akan menjadikannya tempat bersandar ketika Zea sedang sedih. Terkadang Ana merasa tidak dianggap karena Zea terlalu tertutup kepada dirinya. Ana hanya ingin Zea berbagi masalah agar tidak terlalu capek memendam dan menghadapi masalah sendirian.
"Ana, yang sabar ya. Kita berdo'a semoga Zea baik-baik saja," ujar Pak Rizqi berusaha menenangkan Ana. Sejak tadi dia tidak tega melihat Ana menangis. Pak Rizqi tahu sedikit mengenai permasalahan keluarga Diana. Beberapa kali dia mendengar pertengkarannya di keluarga Diana.
Walaupun Pak Rizqi tidak pernah ikut campur, tapi dia sering memperhatikan kondisi keluarga Diana. Beberapa kali dia mendapati Zea dengan wajah muram. Sepandai-pandai Zea menyembunyikan lukanya, Pak Rizqi tetap tahu kejiwaan dan fisik Zea karena Pak Rizqi ahli psikolog. Menurutnya, perbuatan Diana memang keterlaluan. Sebenarnya, dia juga pernah menawarkan bantuan kepada Zea, tetapi Zea selalu menolak dan menutupi lukanya.
"Iya, Pak. Terimakasih sudah membantu saya dan Kak Zea. Saya tidak tahu lagi bagaimana kondisi saya jika tanpa pertolongan Pak Rizqi dan Pak Anton."
"Sama-sama, Ana," kata Pak Anton sambil tersenyum.
Tidak ada perbincangan lagi diantara mereka. Tanpa terasa mereka telah sampai di parkiran rumah sakit. Pak Rizqi menggendong Zea menuju IGD agar segera mendapatkan penanganan. Namun, ketika beberapa mereka melangkah, mereka dikejutkan oleh seseorang yang tiba-tiba memanggil nama Zea.
"Zea!" Panggil seseorang yang berpakaian serba putih.