"Zea kenapa, Pak?" tanya seorang pria berseragam putih. Jika dilihat-lihat sepertinya dia adalah seorang dokter.
"Zea pingsan dan hidungnya mengeluarkan darah. Saya juga tidak tahu mengapa dia bisa seperti ini. Mohon bantuannya, Pak, agar dia segera ditangani," pinta Pak Rizqi.
"Ayo, langsung bawa ke ruangan saja biar saya tangani langsung."
Ana masih tidak percaya kebaikan dokter di depannya ini. Namun, dia sangat curiga mengenai hal ini. Mengapa dokter tersebut mengenal Zea dan langsung mempermudah proses penanganannya. Ah, sudahlah, Ana tidak ingin terlalu banyak memikirkan banyak hal. Sekarang dia hanya ingin fokus berdo'a untuk keselamatan Zea.
Sambil menunggu, Zea mencoba untuk menghubungi Diana. Ana akan memberi tahu semuanya tentang kejadian malam ini. Dia bingung untuk membayar biaya hidupnya dengan Zea karena uang tabungannya akan digunakan untuk melunasi biaya administrasi perawatan Zea selama di opname, sedangkan Diana akan pergi ke luar kota selama 1 bulan.
Beberapa kali Ana memberikan pesan kepada Diana, tapi tidak ada satu pun pesan yang dibalas. Dia memutuskan untuk menelfon Diana. Namun, hasilnya sama saja, panggilan dari Ana selalu ditolak. Dari sini Ana jadi tahu bahwa Diana memang sengaja tidak merespon pesan ataupun panggilannya. Diana benar-benar sudah tidak peduli kepada Zea.
Ana tidak tahu lagi mau minta tolong kepada siapa. Biaya rumah sakit tidak sedikit, dirinya belum kerja, dan belum pula untuk biaya sehari-harinya nanti. Sebenarnya Ana ingin meminta tolong dan mengabarkan keadaan Zea ke kerabatnya, tetapi dia sudah janji kepada Zea untuk tidak memberitahu kepada orang lain mengenai penyakit yang diderita Zea.
"Apa gue sekolah sambil kerja biar bisa bantuin Kak Zea," batin Ana.
Kedua mata Ana menatap bulan purnama, terlihat bulat dan memancarkan cahaya menerangi kegelapan. Jika bulan bisa menerangi kegelapan, mengapa Ana tidak bisa menerangi Zea? melihat bulan tersebut membuat Ana sadar bahwa setiap kegelapan pasti memiliki jalan keluar.
Oleh karena itu, Ana berjanji kepada diri sendiri untuk tidak mudah menyerah. Dia akan berjuang membantu dan menemani Zea. Umur tidak ada yang tahu, tapi entah kenapa Ana sangat takut kehilangan Zea saat mengetahui penyakit yang diderita Zea.
"Kak Zea, semoga cepat sembuh. Aku sayang banget sama kakak," batin Ana. Tanpa dia sadari kedua matanya kembali meneteskan air mata.
Ana sangat merindukan ayahnya. Dalam kondisi seperti ini, biasanya ayahnya akan memberikan motivasi dan semangat hidup. Semenjak Ana mengetahui kenyataan mengenai ayahnya, dia sangat merasa sedih dan kecewa karena Diana telah merahasiakan ini semua.
"Ana, kamu yang sabar ya," ujar Pak Rizqi.
"Iya, Pak."
"Apakah bunda kamu sudah diberi kabar?"
Pertanyaan Pak Rizqi membuat Ana tersenyum getir mengingat perlakuan Diana. Ketika Zea hilang, Diana tidak perduli apalagi saat dia sedang ke luar kota untuk mencari uang. Sekarang Ana sadar bahwa Diana tidak akan menjawab panggilannya karena dia mengabari Diana menggunakan handphone milik Zea.
"Sudah, Pak, tapi belum ada respon dari Bunda, mungkin Bunda lagi dalam perjalanan," jawab Ana berbohong menutupi segala masalah yang terjadi pada keluarganya. Dia menundukkan kepala karena takut.
"Kamu yang sabar, kalau ada perlu apa-apa hubungi bapak saja. Datang saja ke rumah jangan malu-malu."
"Tapi Ana sudah banyak merepotkan bapak, Ana nggak tahu bagaimana cara membalas kebaikan bapak."
"Saya menolong kamu ikhlas. Lagi pula setiap orang membutuhkan bantuan orang lain."
Kedua sudut bibir Ana terangkat ke atas menunjukkan senyuman manis. Ternyata masih banyak orang baik di dunia ini. Sekarang Ana tidak merasa sendiri lagi. Kehadiran Pak Rizqi membuatnya semangat untuk menjalani kehidupan mandiri. Mulai sekarang Ana jadi paham tentang pentingnya hidup mandiri dan menutupi setiap luka. Tidak semua orang berhak tahu mengenai masalah hidup yang kita hadapi karena kita yang menjalani dan orang lain hanya bisa simpati. Selain itu, Ana jadi tahu mana orang yang benar-benar peduli dan mana orang yang pura-pura peduli.
Ana sadar bahwa selama ini perbuatan baik Diana kepada Zea hanya sebatas demi dirinya. Diana tidak ikhlas dalam memperlakukan Zea sebagai seorang anak. Buktinya Diana sering memarahi Zea atau bahkan sampai menggunakan kekerasan fisik.
"Jadi, gimana Ana? apakah kamu mau? bapak harap kamu mau menerima tawaran bapak. Di dunia ini hanya sementara dan semua orang membutuhkan bantuan orang lain. Tidak ada orang yang bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Kamu pasti tahu mendengar bahwa manusia adalah makhluk sosial kan?" tanya Pak Rizqi. Dia tidak tega melihat kondisi Ana dan Zea. Apalagi ketika mendengar tangisan Zea. Pak Rizqi tidak mempunyai anak perempuan, dia hanya memiliki satu anak laki-laki dan tidak ada harapan lagi untuk bisa mempunyai anak, kecuali adanya mukjizat dari Yang Maha kuasa karena istrinya mempunyai masalah dalam kandungannya. Jika saja Zea adalah anak kecil, Pak Rizqi akan mengadopsi Zea untuk dijadikan anak angkatnya.
"Iya, Pak. Nanti kalau Ana butuh apa-apa akan menghubungi bapak. Sebelumnya Ana mengucapkan terimakasih kepada bapak karena telah menolong Ana."
"Sama-sama, Bapak pulang dulu ya, kamu tidak apa-apa kan? insyaallah besok bapak ke sini lagi," pamit Pak Rizqi.
"Iya, Ana. Maaf kami tidak bisa nungguin kamu lama-lama. Kamu jaga diri baik-baik ya, kalau ada apa-apa kamu bisa hubungi saya langsung. Ini nomornya bapak kalau kamu butuh sesuatu," kata Pak Anton memberikan kertas kecil bertuliskan angka.
"Iya, Pak, Terimakasih sudah membantu Ana dan mengantar Kak Zea ke rumah sakit. Ana sangat berterimakasih sama Pak Rizqi dan Pak Anton."
"Masalah administrasi kalau ada yang kurang hubungi bapak saja, insyaallah akan bapak bantu selagi masih bisa dan mampu," pinta Pak Anton.
"Apa itu tidak berlebihan, Pak? biaya rumah sakit itu kan mahal."
"Justru itu, bapak bersyukur karena masih diberi kesehatan, ingat Ana bahwa sehat itu mahal walaupun tidak ternilai dengan uang."
"Iya, Pak. Terimakasih, kalau Ana sudah butuh banget bakal menghubungi Pak Anton dan Pak Rizqi."
"Ya sudah kita pulang dulu. Assalamualaikum," pamit Pak Anton.
"Waalaikumsalam." Ana mencium telapak tangan mereka secara bergantian.
Tak lama kemudian dokter keluar dari ruang IGD membuat hati Ana berdebar. Ana takut mendengar pernyataan mengenai Zea. Sejak tadi Zea masih belum sadarkan diri.
"Kondisi kakak saya gimana, Dok?" tanya Ana.
"Zea tidak apa-apa. Dia hanya kecapekan saja."
Pernyataan dokter tidak langsung membuat Ana percaya, justru malah membuatnya curiga. Dari raut wajahnya terlihat seperti ada yang disembunyikan. Walaupun Ana tidak terlalu mengetahui tentang tingkah laku seseorang, tapi Ana yakin bahwa dokter yang menangani Zea menyembunyikan sesuatu.
Gelagat dan wajah paniknya membuat Ana tak henti menyelidiki tingkah dokter tersebut. Ana takut jika Zea akan kenapa-napa. Semakin Ana menatap wajah dokter semakin terlihat raut wajah panik dalam diri dokter.
"Bagaimana keadaan kakak saya, Dok. Dia keluarga saya dan saya harus tahu semua ini "