Seketika Zea menangis. Kemarin Zafran baru saja mengajak balikan. Sikap nyebelin dia pun sudah agak berkurang. Kenapa harus ada lagi masalah? kenapa masalah tak ada henti-hentinya? apakah cobaan pada penyakitnya itu kurang berat untuk Zea? Semua itu sangat menjadi beban untuk Zea.
Apakah dunia itu kejam? tidak. Semua tergantung pada diri seseorang. Ada orang yang baik dan ada juga yang buruk. Tuhan menciptakan manusia dengan berbagai akhlak, ada yang mudah menyerah dan ada pula yang pantang menyerah. Ada yang sabar dan ada pula yang mudah marah. Mungkin karena harapan tidak tercapai yang membuat orang menyebut bahwa dunia itu kejam. Padahal kesempatan masih ada.
"Maafkan aku, Zaf. Aku nggak tahu lagi harus lakuin apa buat kamu. Maafkan aku yang sudah bikin kamu kecewa."
"Kamu berhak mencari wanita lain. Mungkin aku benar-benar nggak pantas buat kamu."
"Bukan itu yang bikin aku kecewa. Aku yakin kamu itu wanita baik. Aku juga percaya kalau dia itu sahabat mu, karena apa? karena aku sangat percaya sama kamu."
"Tapi kenapa kamu nggak pernah bilang kalau kamu itu sakit?" Zafran memeluk Zea. Tubuh Zea pun semakin bergetar. Dia yakin kalau Zea semakin menangis.
"Karena aku nggak mau merepotkan kamu, Zaf. Sudah cukup yang kamu berikan untuk aku."
Zafran melepaskan pelukannya. Dia menangkup kedua pipi Zea. "Sekarang jawab jujur. Kamu sebenarnya sakit apa, Ze?"
Zea hanya menundukkan kepala tidak berani menatap wajah Zafran. Kedua tangannya memilin roknya untuk melampiaskan rasa kesal. Dalam kondisi seperti ini membuat Zea ingin menghilang detik ini juga. Zea sangat tidak suka dalam situasi saat ini.
"Kenapa diam, Ze? jawab pertanyaan aku, tatap muka aku!"
Zea melepaskan kedua tangan Zafran yang masih saja menangkup kedua pipinya. Dia menatap Zafran. Tatapan mata dia benar-benar penuh khawatir dan penasaran.
"Maaf, Zaf. Aku nggak bisa kasih tahu kamu. Ayo Dian, kita pulang!"
Dian hanya bisa diam dan mengikuti perintah Zea. Tidak mungkin jika dirinya akan ikut-ikutan dalam masalah mereka berdua. Lagi pula memiliki Zea seutuhnya sangat tidak mungkin. Sebab masih ada seseorang di hati Zea dan orang itu benar-benar mengharapkan Zea.
Sebagai laki-laki sejati tidak boleh merebut apa yang dimiliki orang lain, termasuk pacar. Apalagi berantem demi merebutkan seorang wanita. Itu sangat tidak mungkin. Kecuali berantem untuk melindungi wanita dari kejahatan. Tapi tetap saja yang namanya berantem itu tidak baik. Jika perdamaian lebih baik mengapa harus ada pertengkaran. Dian tidak akan mengambil resiko tersebut.
"Kenapa lo nggak ngasih tahu dia, Zea? Gue rasa dia benar-benar sayang sama lo," tanya Dian saat di perjalanan.
"Jangan sia-siakan orang yang benar-benar sayang sama lo, Ze."
"Dian, tolong cepetan dikit. Gue sudah capek sama pusing. Gue mau istirahat, lagian ini sudah maghrib."
"Iya, Ze." Dian menambah laju motor. Dia memilih untuk diam. Jika Zea sudah seperti itu, artinya dia tidak mau ada orang yang ikut campur dalam setiap permasalahannya. Tidak ada perbincangan lagi diantara mereka berdua.
"Gue nggak apa-apa ngalah buat cowo itu, Ze. Asal lo bahagia, gue juga bahagia. Lo inspirasi hidup gue dan selamanya lo itu hanya sahabat gue," batin Dian tersenyum getir.
Hingga mereka berdua sampai di depan rumah Zea. Dian khawatir saat melihat Zea turun dari motor sambil memegangi kepala. Apalagi bibirnya, dia sangat terlihat pucat. Satu hal yang paling Dian benci, Zea masih saja berlindung dibalik senyuman.
"Mana yang sakit, Ze?" tanya Dian memegang kedua bahu Zea.
Zea menyingkirkan kedua tangan Dian. "Gue nggak apa-apa. Cuma kecapekan saja."
"Ya sdah, lo istirahat ya. Kalau masih sakit, besok nggak usah sekolah dulu. Kalau perlu apa-apa jangan sungkan buat hubungin gue."
"Iya-iya. Cerewet banget sih. Makasih ya," jawab Zea mencubit hidung Zafran. Mereka berdua sama-sama terkekeh geli. Hal-hal seperti inilah yang jarang mereka lakukan semenjak beda sekolah. Dulu waktu masih SMP banyak yang bilang kalau mereka berdua pacaran. Itulah kalau punya sahabat cowo, sudah seperti ratu, banyak diperhatiin, dilindungi pula. Hal yang membuat persahabatan terasa tidak enak dan bikin persahabatan rusak, biasanya terjadi karena friendzone.
"Gue pulang dulu ya."
"Iya. Hati-hati di jalan, jangan ngebut."
"Siap!"
Setelah Dian pergi, Zea membuka pintu dengan hati-hati. Dia tidak ingin Diana marah lagi. Sudah cukup kena omelan yang begitu menusuk di hati.
Dia mulai berjalan mindik-mindik. Selain takut kehadiran Diana, kehadiran Ana juga bisa membahayakan dirinya. Siapa tahu ada Ana yang tiba-tiba memanggil namanya membuat Diana datang.
"Zea!" Panggil Diana tiba-tiba membuat Zea mematung.
"Aw! Sakit, Bun!" Teriak Zea saat merasakan rambutnya dijambak.
"Mau jadi apa, hah? Jam segini baru pulang sekolah!"
"Ampun, Bun... sakit... hiks."
"Kamu ini memang anak yang nggak tahu diri!"
"Aw! Ampun, Bun. Jangan siksa Zea. Ssshhh, sakit, Bun."
"Anak pembawa sial!"
Plak!
Suara tamparan di pipi kanan Zea.
"Ampun, Bun! Hiks."
"Anak nggak tahu diuntung!"
Plak!
Suara tamparan di kepala Zea. Tamparan kedua benar-benar membuat Zea tak berdaya. Dia menangis sambil memeluk kedua kakinya. Tidak ada orang yang ingin dimarahin orang tua dengan kekerasan fisik. Termasuk Zea, dia semakin merasakan sakit yang luar biasa.
"Ampun, Bun. Maafin, Zea, hiks."
Diana melotot tak percaya. Ternyata banyak rambut rontok di tangannya. Apakah itu karena menjambak Zea? Diana mematung sambil memandangi rambut itu.
"Pergi dari hadapan saya atau kamu akan saya siksa lagi?!" pinta Diana lirih masih bisa didengar Zea.
Tanpa banyak waktu, Zea segera berlari menuju kamar. Dia tidak kuat. Sejak pagi hingga malam banyak merasakan siksaan. Entah itu siksaan fisik atau batin. Keduanya sama-sama terluka.
Setelah sampai di kamar. Dia segera mengambil buku diary untuk mencurahkan segala rasa sakitnya. Dia mulai menulis sambil tengkurap di kasur.
Hari ini, apakah hidupku akan benar-benar selesai di dunia? Apakah aku benar-benar akan meninggalkan dunia? Bahkan sampai sekarang aku belum mendapat kasih sayang yang sesungguhnya dari Bunda. Semua penuh kebohongan dan sandiwara.
Bunda, Zea sayang sama Bunda. Zea ingin dipeluk Bunda. Zea sakit, Bun. Zea butuh dukungan Bunda untuk melawan penyakit ini.
Aku pusing, aku capek, aku lelah dengan semua ini. Aku semakin menderita dengan penyakit ini. Tuhan, apa aku boleh memilih mati? Aku muak dengan semua ini.
Tuhan, jika hidupku di dunia benar-benar akan berakhir, ijinkan aku untuk memeluk Bunda dan mengatakan kalau aku sayang banget sama Bunda. Walaupun itu hanya satu menit.
Aku sayang Bunda
Zea selalu sayang Bun
Belum sempat Zea menyelesaikan tulisannya, dia merasakan ada sesuatu yang keluar dari hidung. Dia yakin kalau itu darah sial. Kedua tangannya mengelap darah itu. Zea terdiam sambil memandang darah itu. Zea heran, kenapa mimisan kali ini cukup banyak? ini tidak seperti biasanya.
"Sshh, sakit," ujar Zea lirih memegangi kepalanya.