"Pagi, Bun!" sapa Ana saat tiba di ruang makan. Dia sudah siap dengan seragam yang melekat di tubuhnya.
"Pagi juga sayang! Ayo sarapan, ini Bunda juga sudah buatkan bekal untuk kamu."
Ana hanya tersenyum kecut. Andai saja Zea bisa merasakan di posisinya. Mendapat uang saku lebih, disiapkan bekal dan air minum untuk ke sekolah setiap pagi, dan itu adalah bentuk perwakilan dari perhatian lebih. Kenapa perhatian Diana tidak dibagi saja untuk Zea juga? miris melihat perlakuan Diana. Padahal anaknya bukan cuma Ana.
"Bun, Kak Zea kemana? tumben belum kelihatan. Apa dia sudah berangkat dan nggak sarapan lagi?" tanya Ana menundukkan kepala takut Diana akan marah. Dia menggigit bibir bawahnya dan memilin roknya seragamnya. Entah kenapa dia jadi ketakutan saat menanyakan keberadaan Zea.
Diana hanya diam. Bahkan dia seperti orang tuli. Pertanyaan Ana hanya lewat begitu saja di telinganya. Ana semakin menundukkan kepala dan terus memilin rok.
"Makan yang banyak, Ana! kamu sekolah maka harus makan biar bisa konsen dan bisa mikir!" Perintah Diana memberikan nasi untuk Ana.
Oh, shit! Diana tahu betul kalau sekolah butuh asupan agar bisa konsen dan mikir. Namun, kenapa dia sering tidak memperbolehkan Zea makan? uang saku pun boro-boro. Lalu apa kabar jika kalian di posisi Zea?
Lagi-lagi Ana hanya bisa tersenyum kecut. "Iya, Bun."
Ana mulai memakan makanan yang sudah disiapkan Diana. Sebenarnya dalam suasana seperti ini membuat perutnya terasa kenyang tanpa makan. Masalah bisa membuat perut Ana terasa kenyang.
Setelah selesai, dia memasukkan bekal dan air minum ke dalam tas. "Bun, Ana berangkat dulu."
"Iya. Hati-hati di jalan, jangan ngebut ya." Ana pun mengangguk kemudian mencium punggung tangan kanan Diana.
Ada sesuatu yang mengganjal di pikiran Ana. Tapi dia berusaha untuk membuang pikiran jelek yang bersarang di otak. Dia terus berusaha tenang saat mengayuh sepeda.
Tin! Tin!
Suara klakson motor mengagetkan Ana. Dia segera minggir ke tepi jalan. Biasalah, orang naik sepeda bakal kalah sama orang naik motor. Orang naik motor bakal kalah sama orang yang naik mobil. Begitu kejamnya dalam perjalanan karena yang kecil harus rela mengalah.
Dia sudah mengayuh sepeda di jalan yang paling tepi. Namun, suara klakson itu tetap saja menjadi perusak pendengaran Ana. Andai saja dirinya sedang bersama Zea. Sudah dipastikan sangat aman tak terkendali. Zea tidak segan-segan memaki orang tersebut. Akhirnya Ana memutuskan untuk berhenti.
Cit!
Ana mengerem sepedanya. Dia mendengus menatap pengendara motor itu. Bukannya dia jalan malah ikutan berhenti. Ana sangat sebal, ternyata dia itu Zafran.
"Apaan sih, Kak?! jadi orang jahil banget. Ntar kalau aku jatuh gimana? mau tanggung jawab?!"
"Santai dong calon adik. Nggak usah mikirin tentang tanggung jawab karena aku seratus persen bakal tanggung jawab sepenuhnya sama kamu. Aku kan calon kakak kamu."
"Aku? kamu? sejak kapan bisa ngomong gitu?"
"Sejak proses balikan sama kakak kamu, hehehe. Nggak kangen sama aku nih?"
"Nggak sama sekali!" jawab Ana ketus.
Sejak dulu Zafran memang sering membuat Ana kesal. Dia tidak bertemu dengan Zafran semenjak hubungannya dengan Zea putus. Ya walaupun Zafran itu menyebalkan, tapi dia itu penyayang kok. Buktinya saat Zafran dan Zea pacaran, Ana sering diberi boneka dari Zafran.
"Jahat kamu, Na."
"Bodoamat, wlek! Ana mau berangkat sekolah dulu."
"Tunggu, Na! Zea kemana? Hp nya kok nggak bisa dihubungin?"
Deg!
Ana semakin khawatir. Sebenarnya ada apa? kenapa dari tadi rasanya sangat was-was? Namun, Ana tetap berusaha baik-baik saja agar Zafran tidak curiga.
"Na!" Panggil Zafran mengibaskan tangannya di depan Ana.
"Eh, iya. Mungkin sih Kak Zea sudah berangkat dari tadi."
"Oh gitu. Ya sudah aku berangkat dulu ya, takut telat. Kamu hati-hati di jalan."
"Siap, Kak!"
Zafran melajukan motor. Dia mengendarai motor dengan kecepatan di atas rata-rata. Dia sendiri masih bingung, kenapa Zea menghilang begitu saja. Apakah karena masalah kemarin? seharusnya kan kalau ada masalah harus diselesaikan secara baik-baik. Bukan malah menghilang dari masalah.
Setelah sampai di parkiran sekolah. Zafran segera menuju ke kelas Zea. Siapa tahu benar kalau Zea sudah berangkat duluan.
Seketika Zafran mematung saat mengedarkan pandangan di kelas Zea. "Zea nggak ada? kemana dia?"
"Dina! Zea kemana?" Tanya Zafran saat melihat Dina.
"Nggak tahu, Zaf, telat mungkin, dia kan kadang suka telat."
"Iya juga sih. Ya sudah thanks, gue cabut dulu mau cuci mata, hehehe."
Cuci mata yang Zafran maksud adalah mencari perhatian dari kaum betina. Hitung-hitung tebar pesona. Untung saja orang kaya, kalau tidak sudah diamit-amitin sama kaum betina.
"Dasar playboy cap buaya lo! anak setan bin dajjal! nggak ada akhlak!"
"Bodoamat yang penting bahagia, wlek!"
***
Semenjak pulang sekolah, Ana sama sekali belum melihat Zea. Hingga hari pun petang. Bahkan suara Zea saja tidak ada. Kemana Zea? ini sudah jam tujuh malam.
Ana mondar-mandir memikirkan Zea. Saat panik seperti ini, kaki Ana tidak bisa diam. Dia sangat khawatir, apalagi mengingat kondisi Zea.
Dia membuka pintu dan terkejut. "Bunda!"
"Kamu kenapa, Ana? Kok panik banget?" tanya Diana khawatir.
"Kak Zea kemana, Bun? Dari tadi pagi dia nggak kelihatan." Kali ini Ana berusaha untuk menghilangkan rasa takutnya.
"Paling bentar lagi pulang. Dia sudah biasa pulang malam sama cowo, kamu nggak perlu khawatir."
Ini yang paling Ana benci. Dalam keadaan seperti ini, Diana tetap saja tidak mau memikirkan Zea. Apa susahnya sih memikirkan saja? mikir saja susah apalagi peduli.
"Nggak, Bun. Dia kakak aku, dia anak Bunda juga. Ana sayang sama Kak Zea. Ana khawatir sama Kak Zea!" teriak Ana berkaca-kaca.
"Apa Bunda tahu? Di saat aku dinakalin teman-temanku dulu, Kak Zea yang selalu belain aku. Bahkan dia sampai berdarah karena melawan anak laki-laki. Bibir Kak Zea berdarah, Bun. Apa Bunda mau tahu keadaan Kak Zea? nggak! Bunda selalu menghindar dari kakak," ujar Ana lirih mulai meneteskan air mata.
flashback on
"Bunda, bibir Zea berdarah," adu Zea kecil.
"Obatin sendiri ya. Saya sedang ada urusan," jawab Diana tak sudi memandang wajah Zea.
flashback off
"Saat kecil dulu, dia juga rela dihukum Bunda hanya untuk melindungi Ana, padahal yang menghilangkan cincin emas itu Ana bukan Kak Zea."
Flashback on
"Dasar anak kurang ajar! Kamu pikir harga emas itu murah?!"
"Ampun, Bunda. Zea nggak bakal ngilangin lagi, Bun. Ampun, Bun, sakit, hiks," adu Zea saat Diana menjambak rambutnya.
flashback off
Masa lalu itu mulai memutar pikiran Diana. Benar apa yang dikatakan Ana, dirinya sama sekali tidak pernah memikirkan Zea. Dadanya mulai terasa sesak.
"Bunda nggak apa-apa kalau nggak mau cari Kak Zea. Ana bisa cari sendiri kok," ujar Ana meninggalkan Diana.
"Bunda, sibuk. Sekarang Bunda harus berangkat ke luar kota ada perlu pekerjaan. Ini uang buat kamu dan Zea. Bunda berangkat ya, jaga diri baik-baik," pamit Diana meninggalkan Ana.
Kedua sudut mata Ana mengeluarkan air mata. Ana tidak menyangka bahwa Diana akan setega itu. Cukup Diana yang tidak peduli, Ana tidak akan meniru sikap Diana. Dia memutuskan untuk mencari Zea.
Ketika melewati kamar Zea, dia merasakan ada sesuatu yang aneh. Entah kenapa kakinya tidak mau lagi melangkah untuk mencari Zea di luar rumah, padahal rencananya akan lapor ke polisi.
"Kenapa dari tadi kamar Kak Zea tertutup ya? apa Kak Zea berada di dalam?" batin Ana bertanya-tanya.
Tok... tok... tok...
"Kak Zea!" panggil Ana.
"Kak! Apa Kak Zea di dalam?"
"Kak Zea, ini, Ana!"
"Aku harus masuk. Nggak mau tahu kalau Kak Zea marah," gumam Ana memantapkan diri.
Keberuntungan bagi Ana. Kamar Zea tidak dikunci. Dia tersenyum sejenak. Namun, seketika senyum itu luntur saat melihat keadaan Zea tak berdaya.
"Kakak!" pekik Ana.
Dia menghampiri Zea yang terkapar di atas kasur. Dia menangis melihat bekas darah di kasur, bawah hidung, buku, dan tangan. Ana yakin darah itu berceceran karena Zea mengusapnya dengan menggunakan tangan.
"Kak Zea!" terik Ana memeluk Zea.
"Bunda, Kak Zea, Bun!"
"Kak Zea bangun! Ana butuh Kakak! Hiks," panggil Ana menepuk pipi kanan Zea.
"Bunda, tolongin Kak Zea! hiks."
Ana semakin menangis tak tega melihat kondisi Zea. Dia semakin teriak-teriak berharap Diana akan datang. "Bunda boleh benci sama Kak Zea! tapi tolong kali ini tolongin Kak Zea, Bun!"
Ana memutuskan keluar kamar untuk meminta bantuan dari Diana. Dia berharap Diana belum pergi dari rumah. Hatinya sangat hancur melihat pahlawannya terbaring tak berdaya.
Ketika keluar rumah, Ana melihat Diana sedang akan memasuki pintu mobil. Dia segera memanggil Diana. "Bunda!"