Sisa-sisa kebahagiaan tadi malam masih terasa di pagi hari ini. Kebiasaan malas Zea pun sedikit berkurang. Apalagi melihat suasana mendung di pagi ini. Rasanya sangat sejuk dan segar.
Dia pun sudah siap. Sebelum keluar dari kamar, dia mengecek ponsel dulu. Siapa tahu Zafran membatalkan permintaannya untuk berangkat bersama.
Zafran
Zea, aku otw nih. Jangan lama-lama ya.
Iya. Jangan masuk ke rumah. Tunggu aku di depan rumah tetanggaku aja.
Zea sangat bersyukur melihat chatnya dengan Zafran centang dua. Dia berharap Zafran akan membaca pesan itu. Mengingat dirinya pernah dihina sebagai pelacur, tidak memungkinkan jika dirinya akan dijemput bolak-balik sama Dian ataupun Zafran.
Setelah beres, Zea segera menuju ruang makan. Seperti biasa, akhir-akhir ini dia berpenampilan dengan rambut poni dan kaos kaki panjang.
"Hari ini kamu nggak ada uang saku, Zea. Ini hukuman buat kamu biar kamu jerah. Punya laki saja ganti-ganti pasti uangnya sudah banyak," sindir Diana ketika Zea baru saja sampai di ruang makan.
Deg!
Oh tuhan! Apa semalam itu hanya di mimpi Zea? Lalu apakah ayam goreng kesukaannya itu benar-benar nyata? Jika benar-benar nyata, lalu bagaimana kabar kebahagiaan tadi malam?
Zea hanya bisa menangis dalam diam. Percuma saja jika menangis, matanya saja baru sembuh mau nangis lagi. Ya kali penampilan kok kayak preman digebuki masa terus.
"Zea, nggak apa-apa kok, Bun. Zea berangkat dulu. Assalamualaikum."
Seperti biasa, dia tidak akan mencium tangan Diana. Ternyata cuaca mendung ini telah menyambut kepahitan nasib. Ya sudahlah, daripada terus-terusan galau di rumah, dia akan menunggu Zafran di depan rumah tetangga.
Dia pun tersenyum saat melihat Zafran sudah bersama vespanya di sana. Dia menghampiri Zafran yang masih membenarkan tatanan rambut.
"Zaf!"
"Allah hu akbar! Ntar kalau jantungku lepas gimana?"
"Ya tinggal masuk rumah sakit."
"Kamu suka gitu, nggak peka."
"Ayo berangkat. Sudah mau hujan nih," ajak Zea sudah duduk di boncengan.
Mereka berdua langsung cabut. Dada Zea terasa agak sesak. Jadi, seperti ini rasanya berharap kepada orang. Di saat lagi seneng-senengnya dikecewakan itu rasanya sangat sakit. Memang ya harapan itu ada kalanya menyenangkan dan ada kalanya pula menyedihkan.
Tak lama kemudian hujan turun membasahi bumi. Zafran segera mencari tempat untuk berteduh. Dia lupa tidak membawa jas hujan. Kalau saja mau diterjang, maka seragamnya akan basah kuyup. Bisa-bisa malah masuk angin. Zafran tidak akan mengambil resiko tersebut. Lagi pula sebentar lagi akan ada penilaian akhir semester. Jadi, Zafran harus menjaga kesehatan, begitu juga Zea.
"Bawa jaket nggak, Ze?" tanya Zafran saat meneduh di depan warung makan.
"Enggak," jawab Zea dengan pandangannya yang masih saja kosong memikirkan perlakuan Bundanya.
Dengan begitu Zafran langsung melepas jaketnya. Kemudian disampirkan di bahu Zea. "Ini dipakai kamu saja."
Zea pun tersenyum sambil merapatkan jaket Zafran agar lebih hangat. Dia kembali menatap hujan yang tak kunjung reda. Untung saja sekolahnya itu akan memaklumi anak yang telat sekolah jika hujan di pagi hari. Ya mungkin karena tidak semua orang memiliki jas hujan. Jadi, daripada tetap memberikan hukuman kepada anak terlambat masuk, mending aturan itu dihilangkan saat cuaca hujan. Jika saja tidak dihilangkan, maka banyak siswa yang akan membolos sekolah.
"Zea, kamu kenapa?"
Zea tersenyum getir. Kemudian dia melangkah mendekati hujan. "Aku cuma bingung saja."
"Bingung kenapa?"
"Hidupku seperti hujan ya, sudah tahu jatuh dan nggak ada yang peduli tetap saja bangkit," ujar Zea menatap hujan. Tangan kanannya terulur untuk menadah air hujan.
Zafran pun mendekati Zea. Dia berdiri di belakang Zea. Tangan kanannya terulur memegang tangan Zea dari bawah yang masih saja menadah air hujan.
"Kalau kamu hujan, aku yang jadi buminya. Aku selalu siap nerima kamu kapan pun disaat kamu jatuh," ujar Zafran membuat Zea menatapnya. Mereka berdua saling tersenyum.
Zafran menatap tangannya. Sedangkan Zea masih saja menatap Zafran. "Coba deh perhatikan tangan kita. Tangan kamu di atas, tangan aku di bawah tangan kamu dan air hujan ini ibarat masalah mu. Kalau kamu ada masalah dan nggak bisa menyelesaikannya, maka masih ada aku yang akan membantu masalah itu."
"Serius?" tanya Zea yang masih saja menatap Zafran.
"Iya. Coba nih perhatikan tangan kita. Air hujan di tangan mu itu jatuh di tanganku."
"Bisa saja kamu tuh. Untung hari ini nggak nyebelin."
"Nah, kalau nyebelin kenapa, Ze?"
"Mau aku tenggelamin kamu ke laut merah."
"Kok gitu?"
"Kamu nyebelin dan jahat. Satu spesies sama fir'aun. Dia kan tenggelamnya di laut merah."
"Salah, Ze. Kalau fir'aun tenggelamnya di laut merah, kalau aku tenggelamnya di hati kamu."
"Gini nih kalau anak IPS, mau gombal agak-agak bego gimana gitu. Hati aja kecil mana bisa kamu tenggelam di hati."
"Kan aku tuh sudah bilang. Kamu anak IPA, aku anak IPS. Jadi, saling melengkapi."
"Hehehe, bisa saja."
Zea terkekeh diikuti senyum Zafran. Entah kenapa kali ini Zafran bisa membuat bebannya agak berkurang. Padahal biasanya dia itu super menyebalkan. Tiba-tiba saja Zea merasakan ada sesuatu yang keluar dari hidungnya.
"Darah sial!" batin Zea.
"Zea! Kamu mimisan!" pekik Zafran saat melihat darah itu.
Zea segera menghapus darah sial itu. Entah kenapa darahnya itu selalu datang tak diundang. Padahal Zea selalu berusaha untuk menutup-nutupinya.
"Mimisan? Nggak lah. Kemarin itu aku ngupil. Terus upilnya masuk ke dalam banget. Aku tetap cari upil itu sampai kena. Nah kuku aku waktu itu panjang, jadinya hidungku luka."
"Nah kalau luka kan nggak bakal keluar darahnya secara tiba-tiba, Ze."
"Emang tadi kamu nggak lihat kalau aku narikin hidung aku? Soalnya gatel gitu. Mungkin karena itu lukanya jadi lecet lagi."
"Ohh gitu. Lain kali kalau mau ngupil hati-hati."
"Hehehe, iya."
Tak lama kemudian hujan pun sudah berhenti. Mereka berdua melanjutkan perjalanan ke sekolah. Senyum Zea pun tak kunjung hilang. Hingga mereka berdua sampai di parkiran sekolah.
"Zaf, nanti pulangnya kamu sendiri ya. Aku ada perlu."
Alis Zafran terangkat satu. "Perlu? Ngapain?"
"Ada deh. Aku masuk kelas dulu."
***
Zea sedang menunggu jemputan. Sudah hampir 1 jam Zea menunggu. Zafran pun sudah pamit kepada Zea untuk pulang. Dia mondar-mandir sendiri. Mau bonceng teman takut yang jemput datang. Giliran nunggu yang jemput malah nggak datang juga.
Dia duduk di bangku depan sekolah. Perutnya juga keroncongan. Mau beli makan uangnya juga pas-pasan. Sungguh Zea ingin menangis saat ini juga.
Namun tak lama kemudian ada motor yang berhenti di depannya. "Lama ya, Ze?"
"Banget," jawab Zea mencebikkan bibir.
"Hehehe, ya maaf. Mau berangkat sekarang?"
"Iya." Mereka berdua meninggalkan sekolah.
Namun tanpa mereka sadari, Zafran melihat itu. Ada sedikit rasa kecewa. Rasanya juga ngilu-ngilu gimana gitu. Kepalanya juga terasa berdenyut-denyut. Apakah darahnya sedang mendidih? Oh tidak. Jika itu benar-benar terjadi, Zafran sedang darah tinggi. Lama-lama bisa bikin struk. Ya kali cogan kok struk. Amit-amit jabang kebo.
"Zea, jadi ini alasannya kenapa nggak mau balikan sama aku?" Gumam Zafran lirih. Dia menguntit Zea dari belakang.
Sebagai anak pintar, kalau menguntit seseorang ya harus cerdas lah. Seperti Zafran, dia meminjam tas milik Adit, helm full face milik Dirga, dan yang terakhir dia meminjam jaket milik Sigit. Perlu kalian ketahui, Sigit itu teman sekelas Zafran. Dia itu orang cupu yang tidak memiliki teman. Cuma Zafran yang mau berteman dengan Sigit. Katanya sih mau bantu Sigit biar tidak dibully terus.
"Ternyata berharap sama orang itu sakit ya," gumam Zafran lirih merasakan sesak di dada.