Chereads / Really I Want / Chapter 37 - Chapter 36

Chapter 37 - Chapter 36

Sesuai dengan permintaan Zafran tadi pagi. Mereka berdua akan pulang bareng. Zea menunggu Zafran di parkiran. Cuaca siang ini memang cukup panas. Jadi, tidak mungkin jika Zea menunggu Zafran di depan gerbang sekolah. Biarlah banyak orang yang sewot kepada Zea. Kebanyakan dari mereka adalah kaum betina yang menatap Zea tak suka. Mungkin karena perbuatan genit Zafran memberikan harapan kepada mereka. Korban gombal Zafran cemburu kepada Zea.

Lagian jadi cewe itu harus punya harga diri tinggi. Kalau saja jadi cewe yang baperan, maka cepat pula tersakiti. Apalagi jadi cewe yang suka ngejar cowo, amit-amit jabang kebo. Intinya jangan sampai gitu. Memalukan diri sendiri dan membuat harga diri wanita rendah.

Tak lama kemudian Zafran datang sambil menenteng jaket. Seperti biasa, dia akan tebar pesona. Tak asing lagi bagi Zea, perbuatan Zafran memang tak tahu malu dan tidak memikirkan perasaan orang lain.

"Nunggu lama?" Tanya Zafran sambil memakai jaket. 

"Nggak juga. Paling setengah jam."

"Setengah jam itu lama, Mantan."

"Kalau sudah tahu lama ngapain masih nanya!"

"Ya cuma memastikan saja," ujarnya sambil memakai helm. "Ayo, gue mau ajak lo ke suatu tempat."

Zea hanya mengikuti perintah Zafran saja. Hari ini dia merasa sangat lemas. Jadi, jika bertengkar sama Zafran artinya sama saja buang-buang tenaga. Mau bagaimana pun Zea juga sudah tahu endingnya.

Zafran menatap Zea dari kaca spion. Semenjak tadi pagi, Zea jarang berbicara. Saat istirahat juga tidak kelihatan. Bahkan sampai sekarang pun dia masih saja diam.

"Zea, lo kenapa?"

"Hah? Gue nggak dengar, banyak angin!"

"Lo kenapa? Diam mulu?"

"Gue nggak apa-apa kok."

Zafran tersenyum tipis. "Cewe itu kalau bilang nggak apa-apa pasti ada apa-apa."

"Zafran, gue boleh benci sama lo nggak?"

"Boleh kok. Berkat kebencian lo, gue jadi semakin yakin kalau lo jodoh gue."

"Kok gitu?"

"Nanti lo akan tahu rasanya disaat salah satu dari kita pergi."

Mereka berdua telah sampai di depan cafe dekat sekolah. Zafran memarkirkan motornya kemudian menarik Zea untuk cepat masuk ke dalam. Tempat itu terlihat ramai pengunjung. Kebanyakan dari mereka itu anak SMA. Zafran memilih tempat duduk di sudut ruangan.

"Lo mau pesan apa, Ze?"

"Jus alpukat saja. Gue lagi nggak nafsu makan."

Memang benar yang dikatakan Zea. Sejak tadi siang, perutnya terasa mual. Sejak tadi Zea juga berpikir, apakah penyakitnya semakin parah? Hatinya juga merasa tidak tenang. Entah kenapa sejak tadi dia merasa takut untuk menghadapi kenyataan takdirnya.

"Ya sudah. Bentar ya."

Zea hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. Kepalanya semakin pusing saat mengingat ucapan Bundanya. Apakah pantas jika Zea dikatakan pelacur? Apakah Zea harus jujur kepada Bundanya jika setiap pulang sekolah dia cod dengan pembeli? Dengan begitu, apakah Dina akan peduli?

Rasanya semua itu mustahil. Saling menatap muka saja Diana tak sudi. Ketika mencoba untuk komunikasi malah berujung kekerasan fisik. Bahkan Zea sendiri bingung, bagaimana cara berbalas budi kepada orang tuanya? apakah Diana akan menerima dirinya?

Flashback on

"Anak-anak, kalian harus berbalas budi kepada kedua orang tua. Karena mereka telah merawat dan membesarkan kalian. Terutama ibu, dia yang telah mengandung, melahirkan, dan menyusui."

"Balas budi itu nggak harus kalau sudah sukses dan nggak harus pakai uang. Cukup menjadi anak pintar saja itu sudah termasuk balas budi."

Flashback off

Dia ingat betul ucapan guru agamanya waktu kelas 4 SD. Semenjak itu, Zea selalu berusaha untuk menjadi anak pintar. Sejak dulu Zea sudah yakin kalau dirinya itu memang tidak mampu dalam hal akademik, tapi kalau dalam bidang non-akademik, Zea berada di barisan paling depan. Sampai suatu hari Zea berhasil meraih juara 1 lomba bulu tangkis pada saat kelas 5.

"Bunda! Zea dapat juara satu lomba bulu tangkis!" teriak Zea kecil sambil berlari membawa piala dan piagam.

Namun hanya respon pahit yang dia dapatkan. "Saya nggak peduli. Dasar anak haram pembawa sial! Jadi, anak tuh yang pintar akademiknya! Dasar bodoh!"

"Menang lomba bulu tangkis? Itu hanya kebetulan karena itu dari tenaga, bukan dari pikiran!"

Bukannya dibanggakan, Zea justru diremehkan. Padahal jelas-jelas dia juga berpikir bagaimana agar lawannya terkecoh agar bisa mencetak poin. Begitulah yang Zea pikirkan sejak dirinya dihina sebagai pelacur. Jika saja bukan karena penyakitnya, Zea tidak akan sering pulang malam.

"Zea! Kok ngelamun?" Tanya Zafran tiba-tiba membuat Zea terkejut.

"Ah nggak kok. Gue cuma perhatiin anak kecil itu. Lucu banget ya."

Sebenarnya bukan kelucuan anak kecil itu saja. Melainkan keakraban anak itu kepada orang tuanya. Zea sangat menginginkan di posisi anak kecil itu.

"Iya. Lo boleh gitu kok. Zimmi sayang sama lo. Dia selalu menanti kedatangan lo lagi."

Zea menatap Zafran. "Serius? ya ampun gue kangen juga."

"Mau ke rumah gue?"

"Gimana ya, Zaf. Gue takut kemalaman terus dimarahin sama Bunda."

Tangan kanan Zafran menggenggam tangan kiri Zea. Dia senyum kepada Zea. "Santai saja. Lo bisa kapan saja datang ke rumah gue. Rumah gue terbuka lebar untuk lo. Kapan saja lo boleh datang kok. Sama kayak hati gue, selalu terbuka buat lo. Gue harap lo masuk di sini selamanya, bukan cuma mampir," ujar Zafran memegang dadanya.

Zea menahan senyumnya. Kemudian melepas genggaman tangan Zafran. "Lo anak IPS 1 kan?"

"Iya. Emang kenapa?"

"Gue bingung saja. Orang berotak pas-pasan kayak lo masuk di kelas IPS 1. Bagaimana IPS 2? Heran sendiri. Masa hati ada pintunya."

"Nah kan gue spesies langka."

"Nah ngaku kalau spesies langka."

Tak lama kemudian datang pelayan cafe membawa pesanan mereka. Pelayan itu pun sangat terlihat ramah. Dia selalu menampakkan senyum kepada siapa pun.

"Ini, Kak pesanannya. steak satu, kentang goreng satu, lemon tea satu, jus alpukat satu."

"Iya, Mbak. Terima kasih," ujar Zafran senyum-senyum tidak jelas.

Bagi Zea itu adalah hal yang sudah biasa. Dia memalingkan muka. Melihat kelakuan Zafran membuat dirinya risih sendiri. Lebih baik meminum jus alpukat sambil menatap anak kecil itu lagi. 

Pelayan itu pun meninggalkan mereka berdua. Zea tetap saja memalingkan muka. Zafran terkekeh sendiri.

"Zea, sebenarnya gue mau ngomong penting."

"Apa?"

"Lo mau balikan sama gue nggak. Gue cinta sama lo. Tolong kasih gue kesempatan sekali lagi."

Zea pun langsung menatap Zafran. "Kalau gue boleh jujur. Sebenarnya gue tuh benci banget sama lo. Ingat Zafran, ini bukan dunia novel, ini buka sinetron, ini dunia nyata."

"Lo tahu kepercayaan? Kepercayaan memang tak terlihat, tapi itu adalah hal yang sangat sensitif."

Zafran tetap diam agar Zea mengeluarkan semua unek-uneknya. Mungkin dengan begitu Zafran bisa memperbaiki diri agar lebih baik. Sejatinya seseorang akan lebih tambah baik jika sudah tersandung masalah. Setiap masalah itu terdapat hikmah.

"Lo tahu, Zaf? Waktu itu hati gue sakit. kalau lo mau dihargai orang, hargai juga orang di sekitar lo. Memang kepercayaan itu tak terlihat dan tak ternilai. Tapi jika tidak ada kepercayaan, suatu hubungan akan hancur."

"Setelah kepercayaan seseorang telah lo rusak, maka jangan harap kalau orang itu akan percaya lagi sama lo."

"Gue baru sadar kalau selama ini nggak seharusnya gue benci cinta. Ternyata cinta itu nggak salah, tapi gue yang salah karena terlalu berharap sama orang yang nggak ngertiin perasaan gue."

Ucapan terakhir Zea begitu menohok Zafran. Dia ingat betul saat dirinya tiap pagi menggoda para cewe cantik lewat. Tanpa dia sadari itu bisa membuat harapan kepada setiap cewe yang digoda.

"Tolong, Ze. Kasih gue kesempatan," mohon Zafran kepada Zea.

"Maaf, Zaf. Gue nggak bisa. Kalau soal perasaan masih ada sedikit sama lo, tapi kebencian gue sama lo lebih banyak."

"Gue cuma mau minta satu permintaan, apa boleh?"

"Apa?"

"Jangan panggil lo-gue lagi. Panggil aku-kamu," pinta Zafran mantap. Zea pun tersenyum kemudian menganggukkan kepala.