"Zaf, lo bisa jauh-jauh dari Zea nggak? dan lo, Ze, lo itu bisa jauh dari Zafran nggak?" Tanya Dirga yang tiba-tiba datang.
"Nggak!" Jawab Zafran dan Zea secara bersamaan.
Tentu saja itu membuat Dirga tertawa. Ternyata asik juga punya teman yang begonya di atas rata-rata. Mungkin saja orang Seperti Zafran dan Zea bisa buat bahan bullyan teman-temannya. Kadang juga bisa dibego-begokan. Memang yang namanya cinta itu bikin orang bego. Tidak tahu pasti, memang begonya di sengaja atau sudah dari hukum cinta.
Terkadang cinta juga bisa membuat orang mati. Demi cinta rela bunuh diri. Jika dipikir, mungkin bunuh diri adalah salah satu bentuk dari rela berkorban? Entahlah, masih kecil saja pintar bunuh diri, tidak tahu nanti gedenya mau jadi apa. Heran sama anak jaman sekarang.
"Serius? Kalian berdua saling mencintai?" tanya Dirga lagi.
"Dulu sih pernah, sekarang enggak," jawab Zea sambil memutar bola matanya malas.
"Dulu sih iya, sekarang banget," jawab Zafran tak kalah dari Zea.
Tentu hal itu membuat mata Zea melotot. Sedangkan Dirga, dia terkikik geli. Jika saja tidak ada tugas sebagai panitia, Dirga ingin memancing emosi Zafran yang akan berakhir perkelahian karena dia yakin, Zafran tidak akan menang. Sebenarnya bukan perkelahian yang serius, Dirga hanya ingin menyadarkan mereka berdua.
Melihat tingkah mereka berdua, mungkin lama-lama akan membuat perut muak. Keduanya memiliki ego yang tinggi. Selain ego, salah satu dari mereka ada yang takut jatuh lagi, yaitu Zea.
"Lo lagi sadar atau nggak, Zaf? Lama-lama gue heran sama kelakuan lo. Dipuji-puji gue sudah baper, habis itu langsung dijatuhin. Gue tahu lo pintar, lo ganteng, lo jago ngegombal, banyak cewe yang naksir sama lo. Gue ngalah, gue mundur. Lo kira nggak malu apa? Gue malu, gue sakit. Lo boleh gitu terus, tapi nggak buat hati gue. Ada saatnya sakit itu akan hilang dan semua itu butuh proses. Tolong hargai proses gue buat ngelupain lo," ujar Zea berkaca-kaca. Kemudian meninggalkan Zafran dan Dirga yang masih saja mematung. Bahkan beberapa penonton pun ada yang melihat mereka heran. Sebab baru kali ini sebagian dari mereka melihat Zea berkaca-kaca.
Zafran tidak menyangka hal ini akan terjadi. Biasanya Zea akan diam dan menghembuskan napas kasar. Dirga pun demikian, dia tidak tahu lagi apa yang harus dirinya lakukan agar Zea tidak marah lagi.
"Tolong gantiin posisi gue sebentar ya. Gue harus ngomong sama Zea. Gue percaya sama kerja lo," ujar Zafran yang dibalas dengan anggukan Dirga.
Zea bingung mencari tempat untuk menghilangkan sedikit masalah. Dia berjalan sendirian sambil merenungkan nasibnya, sedangkan Zafran, dia sengaja mengikuti kemana Zea akan pergi. Zafran yakin, jika dirinya memanggil Zea, maka Zea akan semakin menjauh.
"Pohon? Mungkin bisa buat menghilangkan stress kali ya. Oh iya, kebun sekolah," ujar Zea lirih sambil memandang pohon mangga di sekolahnya.
Dia menambah kecepatan langkahnya agar cepat sampai di kebun sekolah. Rasa letih dan pusing semakin bertambah-tambah. Pada saat sekarang yang Zea butuhkan adalah ketenangan dan udara segar.
Sekolahnya memang memiliki kebun yang cukup luas. Di tengah-tengah kebun terdapat tempat duduk yang terbuat dari kayu panjang saling berhadapan dengan meja di tengah-tengah. Kebun itu sengaja dibuat untuk melatih siswa mencintai alam dan bercocok tanam. Siapa saja boleh merawat kebun itu. Di sana ditanami berbagai macam tanaman. Seperti buah melon, semangka, jeruk, jambu, dan lain-lain.
Akhirnya Zea sudah sampai di kebun sekolah. Dia duduk di kursi kayu panjang yang di belakangnya terdapat pohon jambu lumayan besar. Sehingga pohon itu bisa dijadikan senderan.
"Kepala gue kenapa pusing banget ya," gumam Zea. Dia memijat keningnya sendiri.
Kemudian Zea mengambil ponselnya. Dia lupa membalas chat dari Dian. Sebab bermain ponsel di rumah sangat membosankan. Suara Diana lah yang selalu membuatnya muak dan ingin menangis.
Dian
Ze, barang - barang lo sudah gue ambil dan sudah gue kirim ke pembeli lo.
Iya, makasih ya. Lo memang yang terbaik. Sorry gue baru bales
Setelah mengirimkan pesan itu, muncul centang satu yang artinya Dian sedang tidak aktif. Padahal Zea berharap jika Dian akan menemaninya saat dirinya sedang kacau seperti ini. Dia memasukkan ponselnya lagi.
Kedua matanya tak sengaja melihat rumah burung yang ada di ranting pohon depan Zea duduk. Di sana terlihat 3 burung bahagia. Melihat burung itu membuat hatinya sedikit terasa nyeri saat mengingat hubungannya dengan Diana. Sungguh Zea ingin berkomunikasi baik-baik dengan Diana. Jangankan berkomunikasi, Diana menatap wajahnya saja tak sudi.
"Gue capek, gue pusing, gue nggak kuat. Sakit banget," ujar Zea lirih sambil menundukkan kepala dan menjambak rambutnya sendiri.
Zafran yang melihat tingkah laku Zea semakin heran. Dia tidak bisa mendengar apa yang Zea katakan, hanya gerak geriknya saja yang bisa dia amati. Terutama saat Zea menjambak rambut membuat Zafran semakin penasaran. Akhirnya dia memutuskan untuk mendekati Zea.
"Kenapa terasa nggak adil ya. Hati gue kan sakit," batin Zea bertanya-tanya.
"Zea!" Panggil Zafran ketika sudah berada di depan Zea.
Zea pun mendongakkan kepala. Dia segera memalingkan muka. "Mau apa ke sini?"
"Gue mau minta maaf."
"Gue sudah maafin lo kok. Lo tahu sendiri kan, gue nggak suka permusuhan dan gue nggak suka dendam. Ya walaupun gue tersakiti terus," jawab Zea begitu menohok hati Zafran.
Zafran menghela napas. Mereka berdua dalam kediaman. Sama-sama menatap hal-hal yang ada di depannya tanpa ada suara. Namun, Zafran tidak bisa terus-terusan dalam kondisi seperti. Dia memutuskan untuk mengalah.
"Lo boleh pukul gue, lo boleh aniaya gue, lo boleh lakuin apa pun agar lo bisa bahagia. Tapi tolong jangan diemin gue. Gue nggak bisa kalau lo jauh dari kehidupan gue. Gue butuh lo," ujar Zafran memecah keheningan.
Lagi-lagi perkataan orang di sekitarnya membuat hatinya terasa nyeri. Penyakit kanker darah itu yang membuatnya sensitif. Penyakit sialan itu yang selalu membuat Zea sedih. Ditambah hubungannya dengan Diana semakin memburuk. Setiap hari sering terjadi pertengkaran. Zea benci itu.
"Santai saja kali. Gue orangnya nggak suka ribet." Zea berusaha tersenyum agar Zafran tidak curiga.
"Ze, gue boleh tanya nggak?"
"Selagi gue bisa jawab ya gue jawab. Kalau enggak ya maaf. Hehehe."
"Lo kan anak IPA. Proses terjadinya hujan itu gimana ya?"
"Panas matahari membuat air laut atau air danau menguap. Uap air terkumpul di udara dalam bentuk awan. Awan terbentuk semakin besar, lalu butir-butiran air akan jatuh. Maka jadilah hujan. Kemudian air hujan tersebut akan meresap ke tanah yang di sebut air resapan. Gitu terus."
Sejenak Zafran tersenyum. "Jadi kayak hubungan kita ya. Kenalan, pdkt, pacaran, putus, balikan, pdkt, pacaran, langgeng. Jadi, bisa dong kalau kita balikan. Hujan saja prosesnya gitu terus, apalagi cinta."
Kedua mata Zea melotot. Mana mungkin proses cinta disamakan dengan proses hujan. Jika seperti itu, mungkin akan putus nyambung terus.
"Zaf, lo tahu keadaan kalau gelas dibanting? Bentuknya gimana?"
"Tahu. Hancur dan banyak serpihannya."
"Terus kalau mau ditempelkan lagi bisa nggak?"
"Ya nggak lah. Mana bisa, bahaya kalau kena serpihannya itu. Ntar bisa bikin luka dan keluar darah."
"Iya ya kok kayak hubungan kita. Hati gue dihancurin lo. Kalau gelas hancur dan bisa ngeluarin darah, hati gue hancur terus ngeluarin air mata karena rasa sakit itu. Seperti kepercayaan, jika dirusak nggak bakal sempurna lagi," sindir Zea tersenyum kecut. Kemudian dia meninggalkan Zafran yang sedang diam.
Memang sih lagi-lagi kata-katanya itu cukup menohok Zafran. Tapi Zafran tidak akan tinggal diam. Dia segera bangkit dan mengejar Zea.
"Tunggu, Ze!" pinta Zafran menahan tangan kanan Zea.
"Gue memang salah. Gue cowo yang suka bikin hati lo sakit. Barang bekas bisa didaur ulang lagi dan hasilnya pun bisa jadi barang lain yang lebih berguna. Gue bisa buktikan itu. Tolong kasih gue kesempatan buat memperbaiki semua ini."
"Gue akan lakuin apa saja buat lo."
"Gue nyesel, Ze."
Tatapan mata Zafran benar-benar penuh dengan rasa penyesalan. Zea yakin itu. Sebab dia tidak menemukan tanda-tanda kebohongan di sana.
"Serius?" tanya Zea.
"Iya, gue serius," jawab Zafran mantap dan penuh harapan.
"Gue mau ngomong serius sama lo."
"Apa, Ze?"
"Gue menang pertandingan dan lo bilang akan lakuin apa saja buat gue. Pasti Lo juga tahu bahwa hari ini adalah hari kemenangan gue, nanti siang akan ada acara makan-makan di kantin bareng anak XI IPA. Nanti lo ikut ya."
"Serius lo ngajak gue buat rayain kemenangan lo?"
Zea tersenyum tulus membuat Zafran semakin senang. "Iya gue serius. Jangan lupa lo yang bayar sesuai dengan tantangan kita berdua," ujar Zea menepuk bahu kanan Zafran kemudian dia meninggalkan Zafran yang sedang mematung.
"Kampret!" Maki Zafran setelah kepergian Zea.