Chereads / Really I Want / Chapter 32 - Chapter 31

Chapter 32 - Chapter 31

"Pengumuman, bagi anak IPA kelas XI diharap untuk segera berkumpul di kantin!" Teriak Zea di sela-sela larinya.

Di belakang dia ada Zafran yang sedang mengejarnya. Kali ini Zafran tak sanggup memenuhi permintaan Zea. Ya kali tidak bawa dompet di suruh traktir semua anak XI IPA, mau bayar pakai apa? bisa hancur reputasi Zafran sebagai anak horang kaya.

Apalagi mengingat gombalan manisnya kepada cewe-cewe cantik dan mereka semua akan tahu jika Zafran akan mentraktir tapi tidak bawa uang, benar-benar hancur. Bisa dibilang dia takut diejek miskin. Ya kali orang biasa tebar pesona dan jual obral rayuan maut dibilang miskin, gengsi tingkat langit pasti lah.

Ah, benar-benar hari sial. Zafran mengacak rambutnya frustasi. Jalan keluar kali ini memang dengan cara hutang di kantin. Tidak mungkin kalau harus meminjam temannya. Apa kata mereka nanti?

Akhirnya Zafran memutuskan untuk tidak mengejar Zea lagi. Dia segera menuju kantin dan membisiki masing-masing penjual kantin.

"Mbk, sini aku bisikin. Penting banget nih, hosh... hosh... hosh."

Penjual kantin pun mengikuti perintah Zafran. "Mbk, setelah ini bakal ada makan gratis. Saya hutang dulu ya, besok janji bakal saya lunasi dan ada tambahan dua ratus ribu. Gimana?"

"Tapi nanti balik modalnya gimana?"

"Ah, gampang. Besok kan libur, kita ngumpul di sini jam sembilan pagi, gimana?"

"Siap," kata penjual kantin.

Begitupun dengan penjual kantin lainnya. Semuanya berjumlah 7 penjual kantin. Benar-benar orang kaya banget.

Untung saja Zafran bisa bertindak cepat. Jika tidak, mau ditaruh mana mukanya. Anak IPA benar-benar kompak datang ke kantin. Begitupun Zea, di belakangnya berjalan dia membawa pasukan. Mereka segera berebut di tempat duduk kantin. Bahkan ada beberapa anak yang tidak kebagian tempat duduk.

"Buat kalian yang sudah kumpul di sini, makanlah sepuas kalian. Semuanya gratis!" Teriak Zea.

Tentu saja hal tersebut membuat para pedagang kantin tersenyum. Selain akan diberi tambahan uang dari Zafran, sudah dipastikan dagangan mereka akan terjual banyak. Para penjual kantin juga tidak akan kebingungan untuk masalah modal. Zafran akan membayarnya besok pagi.

"Serius ini, Ze?" tanya Rendi, salah satu anak IPA.

"Iya, gue serius. Makan saja sepuas kalian. Semakin banyak kalian makan, semakin banyak pula rezeki Mbak-Mbak dan Ibu-Ibu kantin. Ya nggak, Mbak?! Bu?!" Tanya Zea kemudian menatapi masing-masing penjual kantin.

"Iya, dong," jawab salah satu penjual kantin.

Diantara penjual kantin ada yang membalas perkataan Zea dengan acungan jempol dan ada juga yang tersenyum. Hati Zea sangat berbunga-bunga. Dia mendekati Zafran yang sedang agak syok.

"Gimana? Gue baik hati banget kan? Gue traktir seluruh anak sebelas IPA. Lo mau minta traktir juga?" tanya Zea, kedua tangannya bersedekap di depan dada.

"Gue yang traktir peak!" Sewot Zafran menyentil kepala Zea.

"Sakit tahu! Sudah ah, gue mau bilang sama penjual kantinnya kalau lo yang akan bayar semua ini," ujar Zea meninggalkan Zafran.

"Sdah ah, gue mau bilang sama penjual kantinnya kalau lo yang akan bayar semua Ini," ujar Zafran menirukan kalimat Zea dengan bibirnya yang dibuat-buat.

***

Karena peringatan anniversary sekolah, semua siswa pulang awal. Mereka berhamburan pulang untuk mencari kesibukannya sendiri. Diantara mereka juga ada yang tongkrongan dulu, entah itu di parkiran, depan kelas, maupun di warung depan sekolah.

Berbeda dengan Zea, saat waktu luang seperti ini, dia gunakan untuk mengurus online shop. Saat yang lain meminta uang kepada orang tua untuk hura-hura, Zea mengais rezeki untuk bertahan hidup. Uangnya sudah habis untuk membeli obat.

"Din!" Panggil Zea saat melihat Dina akan melewati gerbang sekolah. Dina pun berhenti dan dia mendekati Dina.

"Ada apa, Ze?"

"Din, gue mau ambil barang, tapi gue ke rumah lo nya nebeng ya. Gue nggak bawa motor," pinta Zea.

Dina pun tersenyum dan menganggukkan kepala. "iya."

Zea segera membonceng motor beat milik Dina. Mereka berdua meninggalkan sekolah. Dalam perjalanan tidak ada perbincangan sedikit pun. Biasanya Zea akan memancing pembicaraan. Namun, semakin siang kepalanya semakin terasa sakit.

Dia hanya memejamkan mata saat tiba-tiba merasakan kepalanya berdenyut. Tidak mungkin jika dia memijit pelipis maupun pangkal hidung, bisa-bisa Dina akan curiga. Apalagi merintih, urusannya akan lebih ribet.

Hingga mereka berdua telah sampai di halaman rumah Dina. Zea pun turun dan membuntuti Dina sampai di dalam rumah. Sesampainya di dalam rumah Dina, dia duduk di sofa ruang tamu sambil menunggu Dina mengambil barang-barangnya.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Di sana terdapat panggilan dari Dian. Sejenak dia tersenyum kemudian menjawab panggilan itu.

"Hallo, Ze."

"Hallo."

"Ze, sorry ya. Gue lupa belum ngasihin uang jualannya. Gue lupa sumpah. Selama tiga hari ini lo pasti nggak bisa dagang lagi gara-gara gue. Gue minta maaf banget."

"Santai saja kali. Gue jual online shop itu pake PO. Jadi barangnya bisa ready selama tiga hari setelah pemesanan, empat hari bisa, bahkan satu minggu juga bisa. Kadang malah bisa sekalian ready. Jadi, semuanya itu tergantung barang adanya kapan gitu."

"Tapi kan lo pasti butuh uangnya buat modal balik atau buat kepentingan lain."

Zea terkekeh sendiri mendengar suara Dian. Dia seperti orang yang benar-benar merasa bersalah. Kemudian Zea mengambil bantal sofa untuk dipeluk.

"Gue tuh justru berterima kasih sama lo. Berkat lo, gue jadi bisa istirahat dan membaik. Lagian Dina itu orangnya baik kok. Dia nggak mempermasalahkan bayarnya kapan dan yang penting nggak lewat satu minggu."

"Oh gitu ya. Btw nanti pulang sekolah gue jemput ya. Sekalian mau ngasih uang lo."

"Gue sudah pulang. Ini masih di rumah Dina. Bentar lagi mau cod."

"Cod bareng gue saja, Ze. Pas banget hari ini gue pulang awal. Ini gue lagi siap-siap pulang."

"Oke siap. Ntar hati-hati di jalan ya."

"Iya."

Zea mematikan panggilan Dian. Tak lama kemudian Dina datang membawa barang-barang pesanan Zea. Ada 15 kaos, 1 sneakers, 2 sabuk, dan 3 baggy pants. Zea sangat bersyukur karena orderannya selalu banyak.

"Baru telfonan ya, Ze?" Tanya Dina.

"Iya."

"Dari siapa?"

"Dian."

Dina berpikir sejenak. Kemudian dia heboh sendiri. "Oh yang malam-malam ambil barang itu? Ya ampun ganteng banget lo. Cowo lo kok ganteng-ganteng semua ya."

"Apaan sih, lebay! Kalau dia ganteng nggak bakal jomblo, Din. Dia jomblo karat.

"Kalau ada lowongan sih gue mau daftar jadi pacarnya."

"Ya kali disamakan pekerjaan!"

"Hahaha. Ini barang-barang lo. Lengkap semua ya."

"Beres," jawab Zea sambil mengacungkan jempol kanan. "Nonton film horor kuy! pakai HP lo," ajak Zea.

"Siap. Mau film apa?"

"Terserah."

Dina mulai mengetik film horor. Dia memilih asal film dari beberapa pilihan. Mereka berdua fokus menonton film horor. Namun, tak lama kemudian bel pintu berbunyi.

Ting... tong...

"Masuk!" teriak Dina.

Pintu pun terbuka. Dina dan Zea beralih pandangan menatap tamu itu.  Bahkan Dina pun sampai terpana.

"Zea!" panggil Dian.

Zea hanya tersenyum, sedangkan Dina malu-malu kucing. Dia salah tingkah sendiri. Padahal Dian tidak menatapnya, dia hanya menatap Zea. Dian tersenyum bukan untuk Dina, tapi untuk Zea. Namun, justru Zea yang malah biasa saja.

"Loh kok sudah sampai? kok cepat banget? Ngebut ya?" tanya Zea menunjuk Dian menggunakan jari telunjuk tangan kanan dan dia menyipitkan mata.

"Nggak lah. Sekolah gue kan deket sama rumah temen lo ini."

"Oh iya ya."

Dina semakin malu saat Dian menyebut teman Zea. Dia senyum-senyum sendiri. Sesekali menggigiti kuku dan menatap Dian.

"Kenapa, Din? Mau boker?" tanya Zea.

"Ganteng," jawab Dina singkat membuat Zea tertawa. Sedangkan Dian hanya terkekeh malu. Sebab Dian sendiri adalah seseorang yang pemalu.

"Jujur banget jadi orang."

Dian menggelengkan kepala heran. Dia tidak suka dalam situasi seperti ini. "Mau cod sekarang, Ze?"

"Ya sudah ayo. Gue pulang dulu ya, Din," pamit Zea. Dia mendekati Dina kemudian membisikan sesuatu. "Tenang saja, kalau jodoh nggak bakal kemana-mana."

"Siap. Hati-hati ya."

Zea pun menganggukkan kepala. Dia memasukan barang-barangnya ke dalam kantong plastik hitam besar. Sesekali dia melirik Dina yang masih saja salah tingkah.

"Dian, bayarin ke Dina tiga ratus lima puluh. Gue tunggu di depan."

Dian pun mengambil uang di dompet yang dia taruh di dalam tas. Setelah itu diberikan kepada Dina. Jantungnya rasanya ingin lepas. Sebab detaknya itu berdetak lebih cepat. Apalagi melihat tangan Dina yang gemetar saat menerima uang.

"Makasih," ujar Dina.

"Sama-sama. Gue pamit dulu."

Dian segera keluar dari rumah Dina. Saat keluar dia dikagetkan oleh Zea yang sudah duduk di motornya. Apalagi ekspresinya itu sok polos. Bikin ingin menyentil kepalanya.

"PD banget lo, Ze."

"Ya sudah si, Yan. Lagian sama lo kok."

Dian hanya menghembuskan napas kasar. "Serius lo masih mau pakai seragam basket ini? Ini tuh terlalu terbuka Zea."

"Gue nggak bawa baju ganti, Yan."

"Ya sudah nih pakai jaket gue saja," pinta Dian sambil melepas jaketnya. Kemudian disampirkan di bahu Zea.

"Yan, kepala gue kok sakit banget ya."

Lagi-lagi dia merasakan kepalanya pusing. Kali ini obat yang diberikan dokter Bima rasanya tidak ada efek sama sekali, rasanya seperti tanpa minum obat. Dia sendiri bingung, memang obatnya yang tidak ngefek atau penyakitnya yang semakin parah.

"Zea!" Pekik Dian dan Dina bersamaan.