"Terimakasih, Dian."
"Iya, Ze. Jangan lupa minum obat dan istirahat yang cukup."
"Iya, Dian. Cerewet banget udah kayak emak-emak."
"Hehehe. Gue pulang dulu, sudah hampir maghrib."
Zea mengangguk dan tersenyum. "Iya, hati-hati di jalan. Jangan ngebut-ngebut!"
"Siap. Gue balik dulu!" teriak Dian meninggalkan rumah Zea.
Rasa sedihnya sedikit berkurang ketika bertemu dengan keluarga Andi, salah satunya adalah Dian. Walaupun memiliki sifat pendiam, dia itu romantis. Banyak cewe yang naksir Dian, tetapi dia selalu menjauh karena malu.
Dian hanya takut jika nantinya akan merasakan sakit. Memang ending cinta pasti sakit. Jika saja siap mencintai seseorang, maka harus siap mengikhlaskan.
Zea membuka pintu rumah. Betapa terkejutnya saat melihat Diana sudah di depan mata. Dia terlihat sangat mengerikan. Bahkan Zea sendiri bingung, jadwal kepulangan Bundanya sering berganti-ganti dan jarang bisa dipastikan.
"Dari mana saja kamu? Saya paling jijik punya anak seperti kamu!" Bentak Diana.
Zea hanya menundukkan kepala. Dia sudah kebal dengan perkataan anak tidak tahu diri, anak nakal, anak pembawa sial, bahkan dibilang anak haram pun rasanya sudah biasa. Sehingga dia menganggap cemooh Diana hanyalah lelucon semata. Kapan lagi akan bisa bercanda dengan Diana, sebab itu Zea tidak pernah memasukan kata-kata Diana ke dalam hati. Biar pun itu sangat menyakitkan.
"Jika saja kamu tidak terlahir dari kandungan saya, saya nggak sudi punya anak seperti kamu!"
Plak!
"Anak nggak tahu diri!"
Plak!
"Gara-gara kamu karir saya hancur! saya miskin!"
Zea hanya diam sambil menangis. Bahkan dia tidak menghindar dari tamparan Diana. Walaupun itu terasa nyeri di pipi. Tanpa adanya tamparan, Zea tidak akan disentuh oleh Diana. Oleh karena itu, Zea ikhlas jika dengan tamparan itu benar-benar membuahkan kepuasan pada diri Diana.
"Masih untung kamu saya sekolahkan! Bukannya belajar malah asik pacaran! Dia siapa lagi hah?!"
"Tiap yang ngantar pulang sekolah pasti ganti-ganti. Apa mau jadi pelacur sekalian biar bisa dapat uang?!"
Deg!
Kata-kata itu benar menusuk hati. Zea menatap wajah Diana sangat kecewa. Hal yang tak pernah terlintas dipikirannya. Dia rela dimaki apapun, namun tidak untuk pelacur. Baginya, pelacur adalah suatu hal yang sangat hina dan menjijikan.
"Bun, aku lahir karena takdir. Bahkan aku tidak menyangka jika aku akan lahir dari rahim Bunda."
"Aku bersyukur punya orang tua seperti Bunda. Terimakasih sudah membesarkan aku dari kecil hingga aku tumbuh jadi gadis remaja, hiks."
Diana terdiam, napasnya masih naik turun dengan cepat. Dia tidak sudi menatap Zea.
"Aku yakin sebenarnya Bunda sayang sama aku, buktinya Bunda mau merawat aku sampai aku remaja, hiks."
"Maaf, Bun. Aku bukan pelacur. Aku hanya butuh teman yang bisa ngertiin aku!" gumam Zea tiba-tiba membuat Diana menatap Zea tak suka.
"Jika bunuh diri tidak menyalahi takdir, maka aku akan memilih mati sekarang, Bun," ujar Zea lirih kemudian meninggalkan Diana yang masih mematung. Diana mengacak rambutnya frustasi dan tanpa dia sadari ternyata air matanya sudah menetes membasahi kedua pipi.
Zea menggebrakkan pintu kamar. Dia membuang tasnya ke sembarangan tempat. Seakan harapannya sudah pupus. Entah mengapa sekarang dia ingin mati, mati, dan mati.
"Lo nggak boleh nangis, Ze. Nanti mata lo bengkak lagi," Batin Zea menyemangati dirinya sendiri.
Kemudian dia mengambil ponselnya. Ada beberapa notif dari Zafran, group kelas, Dian, dan Arini. Menurutnya itu tidak menarik.
Sebuah ide terlintas di otaknya. Mungkin asisten google bisa menghilangkan rasa stres, sakit, galau, dan gabut. Dia membuka asisten google dan mulai mengetik sesuai dengan unek-uneknya.
Zea berdecak. Menurutnya asisten google sangat menyebalkan. Dia juga bingung, sebenarnya asisten google itu laki-laki atau perempuan atau bahkan banci? Jika dari suara memang perempuan. Tapi, entahlah Zea tidak tahu pasti.
Dia berpikir sejenak untuk mencari hal yang ingin dia curhat kan kepada asisten google. Setelah menemukan kata-kata yang mewakili perasaannya, dia mulai mengetik lagi.
"Eh buset. Peak banget nih google. Otaknya encer banget. Ah gue pingin jadi google biar dapat juara kelas terus."
"Gue juga nggak nyangka kalau google bisa bucin."
Dia asik bermain asisten google sampai lupa dirinya belum mandi dan belum sholat maghrib. Untuk mandi? Zea tidak akan melakukan itu. Sebab dirinya tidak tahan dengan air malam. Saat wudhu saja rasanya ngilu apalagi mandi.
Zea keluar dari kamar untuk mengambil air wudhu. Tidak sengaja dia berpapasan dengan Ana yang baru saja pulang dari kerja kelompok. Zea hanya memberikan senyuman untuk Ana.
Untung saja Zea tidak berpapasan dengan Dina. Jika itu benar-benar terjadi, maka luka batinnya akan bertambah. Dia segera menuju kamar sebelum Diana benar-benar melihatnya.
Zea menunaikan sholat maghrib. Setelah salam dia selalu berdo'a untuk kedua orang tua. Kebencian Diana tidak menjadi penghalang untuk segala hal. Justru dijadikan sebagai motivasi hidup karena setiap kejadian pasti ada hikmahnya.
Setelah selesai sholat, dia memberesi mukenanya dan kemudian mengambil beberapa obat. Untung saja masih ada sisa aqua botol saat makan di warung mie ayam tadi. Tidak mungkin jika dia harus mengambil minum di dapur. Dia sedang tidak ingin bertemu Diana.
"Kak Zea!" pekik Ana lirih.
Ana menutup mulutnya menggunakan kedua telapak tangan. Sungguh baginya ini adalah suatu keadaan di luar dugaan. Dia tidak menyangka jika Zea akan meminum obat sebanyak itu. Ana yakin itu walaupun dirinya hanya bisa melihat di sela-sela pintu.
Dia menggelengkan kepala pelan. Apalagi mengingat wajah Zea yang terkadang pucat. Ana semakin merasa sedih saat mengingat rambut rontok milik Zea pada waktu itu. Rontokan rambut itu memang tidak wajar.
Dia langsung masuk ke kamar Zea. "Kak Zea!"
Zea pun terkejut. Dia segera menyembunyikan obat-obatnya di balik bantal. Dia berusaha tersenyum di depan Ana.
"Ada apa, Na?"
"Aku pingin tidur sama Kakak," alasan Ana untuk menyelidiki Zea.
"Nanti kalau Bunda tahu gimana?"
"Tenang saja, Kak. Kamar ku sudah aku kunci kok. Nanti kamar Kak Zea dikunci juga biar Bunda nggak curiga."
Memang kebetulan Ana mengunci kamarnya. Melihat Zea minum obat pun tidak disengaja. Kali ini dia harus bisa menggali informasi tentang Zea.
"Oke deh. Bentar gue mau charger HP dulu."
Ana menganggukkan kepala. Dia pura-pura mengambil bantal yang tadi dijadikan Zea untuk menutup obat. Dia pun berpura-pura terkejut.
"Kakak lagi sakit ya? Ini obatnya kok banyak banget."
Deg!
Tubuh Zea seperti tersengat listrik. Dia terdiam menatap obat itu. Semuanya terasa hambar. Karena dia paham daya pikir Ana berada di atasnya. Ana tidak bisa dibego-begoin jika sudah ada bukti. Apalagi dia juga memiliki daya ingat yang kuat.
"Kenapa diam, Kak? Kakak lagi sakit? Kakak tadi juga nangis kan?"
"Jadi? Yang berhubungan dengan rambut itu sebenarnya--"
"Iya memang betul gue udah sakit sejak dulu," jawab Zea memotong ucapan Ana. Kemudian dia duduk di samping Ana.
Ana langsung berhambur ke pelukan Zea. Dia menangis histeris. Untung saja kamar Zea kedap suara. "Kenapa Kakak nggak pernah cerita? kenapa Kakak nggak pernah minta uang untuk berobat? kenapa, Kak?"
Zea melepaskan pelukan Ana. "Dengerin gue baik-baik. Gue nggak apa-apa, yang sakit kan gue, kenapa lo yang nangis?"
"Jadi orang itu jangan lemah, Ana. Semakin lo lemah, semakin banyak orang yang menyakiti lo. Semakin lo lemah semakin banyak pula orang yang perhatian sama lo. Ya mending jika mereka benar-benar tulus perhatian, nah kalau mereka hanya pura-pura saja?"
Ini adalah salah satu hal yang terkadang tidak Ana suka. Di saat waktu serius seperti ini, Zea selalu membuat suasana seakan-akan baik-baik saja. Padahal dibalik semua ini banyak luka yang terpendam.
"Tapi kan ini parah, Kak. Apa benar kalau Kakak itu sakit kanker?"
Zea menganggukkan kepala. Tentu saja itu semakin membuat Ana terpukul. Orang yang dia cintai selama ini ternyata menderita sendirian. Sebenarnya Ana juga sedikit kesal dengan Zea. Seakan-akan dirinya tidak diperlukan. Padahal Ana adalah adiknya.
"Kakak kenapa bohongin aku selama ini? Hiks."
"Ana, sekarang gue mau ngomong serius. Tapi tolong udah dong jangan nangis mulu."
Ana pun berhenti menangis. Dia menatap kedua mata Zea. Namun tetap saja isakkan tangis belum hilang.
"Gue berharap suatu saat nanti lo bisa menerima kenyataan yang menjijikan. Termasuk lo nggak bakal jijik sama gue," ujar Zea sambil menghapus air mata Ana.
"Gue juga berharap kalau lo harus bisa jaga diri lo sendiri. Sayangi diri lo sendiri karena nggak selamanya gue bakal melindungi lo terus. Ingat, Ana, ada hidup dan mati."
Ana menggeleng cepat. "Kakak ngomong apa sih? Aku akan selalu menerima Kakak dalam keadaan apapun. Aku nggak akan jijik. Aku akan tetap se--"
"Gue anak haram! Gue anak yang tidak dinantikan kelahirannya! Gue anak yang bikin karir Bunda hancur!" Tukas Zea.