"Asal lo tahu. Ayah tuh sebenarnya sudah meninggal!" Kata Zea sambil menangis.
Ini adalah berita yang membuat Ana tak bisa berkutik. Dia terdiam mencerna setiap kata Zea. Selama ini Diana selalu mengatakan jika Ayahnya sedang bekerja di luar negeri. Harapan menanti Ayahnya pupus. Ana sangat kecewa atas ucapan dan penantiannya selama ini. Tubuh Ana sangat lemas dan dia menundukkan lesu.
"Apa aku masih mimpi, Kak? Aku pasti mimpi. Ayah itu lagi kerja di luar negeri," ujar Ana dengan tatapan kosong.
"Nggak, Ana! Ini nyata, Ayah sudah meninggal!"
"Nggak mungkin kalau Ayah sudah meninggal. Nggak mungkin, Kak. Nggak mungkin!"
"Ayah meninggal karena nolongin pada saat gue diculik. Perut Ayah ditusuk sama penculik itu sampai dia akhirnya meninggal. Sebab itu Bunda selalu nyebut gue sebagai anak nggak guna dan anak pembawa sial. Semenjak kejadian itu ekonomi keluarga kita menurun. Bunda berjuang keras demi keluarga sampai sekarang."
Zea menatap langit - langit kamar. Rindu yang tak tersampaikan. Hanya kenangan yang terlintas dipikiran. Semua itu kenangan pahit. Jika dibandingkan dengan kenangan kebahagiaan, kenangan pahit yang lebih dominan.
"Kenapa Bunda nggak pernah cerita soal ini?"
"Bunda nggak ingin lo terpukul. Karena saat lo masih kecil, lo selalu nanya keberadaan Ayah. Saat Lo tanya seperti itu, Bunda selalu nangis dibelakang kita."
"Sejak kejadian itu, gue berusaha mengikuti bela diri agar bisa menjaga diri gue sendiri. Gue nggak ingin ada orang terlibat dalam masalah gue, apalagi sampai pengorbanan nyawa. Waktu itu, gue cukup trauma melihat kondisi Ayah berlumur darah."
"Lalu kenapa Bunda menyebut Kakak anak haram? Apa kita itu bukan saudara sekandung?" tanya Ana.
"Kita saudara, Na. Ayah dan Bunda kita itu sama."
Ana menatap Zea yang masih saja pandangannya kosong. "Lalu kenapa Bunda bilang anak haram, Kak?"
"Nanti ada saatnya lo tahu. Seperti yang gue bilang tadi. Gue berharap semoga lo menerima kenyataan ini dan nggak bakal jijik sama gue."
Ana menghela napas. walaupun sedang dalam suasana sedih, Zea selalu saja keras kepala. Dia menganggap bahwa dirinya selalu benar. Seakan dirinya benar-benar bisa menyelesaikan semua masalahnya sendiri.
"Terkadang gue juga merasa ingin putus asa. Pada saat gue masih sedih yang ada di pikiran gue cuma mati, mati, dan mati."
"Jangan gitu, Kak. Hidup itu berputar, kadang kaya kadang miskin. Bumi juga berputar, kadang siang kadang malam. Begitu juga takdir, kadang sedih kadang bahagia. Ana yakin cobaan ini akan berlalu."
Zea tersenyum. "Makasih ya, Na."
"Kalau boleh tahu, gimana cara Kakak berobat? Apa uangnya cukup? Tabungan Ana boleh dipakai Kakak kok. Asal Kakak bisa sembuh."
"Tenang saja. Gue masih punya tabungan. Gue terjun di dunia online shop," ujar Zea. Padahal tidak hanya dari hasil tabungan dan online shop saja, melainkan dibantu keluarga Andi.
Namun sangat tidak mungkin jika Ana tahu semua tentang rahasia Zea. Lagian menyembunyikan rahasia itu tidak masalah. Selagi rahasia tidak memiliki unsur negatif yang bisa membahayakan orang lain.
"Ana mau bantu Kakak, bolehkan, Kak?"
"Boleh kok." Ana pun memeluk tubuh Zea. "Boleh bantu do'a saja maksudnya, hehehe."
"Nyebelin!" sewot Ana.
***
Zimmi sedang bermain boneka barbie. Seperti biasa, dia akan memperagakan boneka barbie layaknya Superman. Padahal sudah jelas-jelas sangat beda jauh.
"Wiw. Barbie Superman terbang."
Kedua mata Zafran melotot. "Zimmi, nggak boleh gitu. Itu kan boneka barbie, masa gayanya kayak Superman?"
"Ini tuh artinya boneka barbie Zimmi kuat. Kayak Kak Zea, Zimmi kan suka banget sama Kak Zea."
"Eh bocil nggak ada otak. Suka kok sama perempuan. Dasar lesbi."
Kedua tangan Zimmi memeluk boneka barbie. Dia menatap Zafran. Mulutnya juga terbuka. Jika dilihat -lihat, Zimmi seperti orang idiot. Zafran pun juga bergidik ngeri. Dia sering ngebayangin kalau Zimmi bukan anak orang kaya. Pasti sering dibully teman-temannya.
Orang kaya mah selalu dihormati. Apa-apa serba uang. Salah dikit saja uang keluar, eh langsung beres deh tuh masalah. Mantap betul.
"Lesbi itu apa, Bang?"
"Lesbi itu orang yang suka permen."
"Oh itu. Berarti Zimmi suka lesbian dong. Nih gigi Zimmi sampai ompong," ujar Zimmi membuat Zafran bergidik ngeri.
Bisa-bisanya Zafran punya adik model Zimmi. Dia bingung waktu dikandungan, sebenarnya mamanya itu ngidam apa? Mudah dibodohi dan gampang dibegoin. Sekolah juga sudah di tempat yang favorit, tapi tetap saja begonya malah menjadi-jadi.
Dia menyentil kepala Zimmi. "Dasar peak!"
"Aw! Sakit, Bang. Untung otak Zimmi di sini. Coba aja kalau di kepala? Zimmi pasti jadi bego. Soalnya kata Bu Guru otak itu nggak boleh dikasih kekerasan. Ntar bisa jadi bego," ujar Zimmi menunjuk lututnya. Dia benar-benar percaya sama Zafran kalau letak otaknya di lutut.
"Hehehe iya ya. Kamu itu emang adik Abang yang paling kentir. Jadi makin sayang." Kentir itu kalau dalam bahasa jawa artinya gila.
"Kentir itu apa, Bang?"
"Kentir itu pintar."
"Iya dong. Zimmi kan emang Kentir," ujarnya memasang wajah songong. Kedua tangannya bersedekap di depan dada dengan tangan kanan yang masih setia memegang boneka barbie.
Mata Zafran melotot. Tapi dia segera menormalkan ekspresinya. Kalau ngomong sama Zimmi lama-kelamaan bawaannya bikin emosi.
Mending kalau cuma emosi. Terkadang bikin tangan sama kaki gatal ingin menimpuk dan mensleding Zimmi agar otaknya menjadi normal. Bahkan terkadang Zafran menginginkan Zimmi untuk ikut tes IQ biar tahu seberapa banyak akalnya itu. Tapi sayangnya Zimmi takut tes IQ.
"Iya Abang tahu kamu itu terlahir memang diberi kelebihan dalam kekentiran. Abang saja sampai kalah."
"Zimmi jadi bersyukur banget jadi anak kentir, sedangkan Abang nggak kentir."
"Iya nggak apa-apa kalau Abang nggak kentirl dan yang penting harus bisa bersyukur."
"Nah gitu dong, Bang. Zimmi do'ain semoga Abang cepat kentir kayak Zimmi gini."
Daripada tangan dan kakinya benar-benar mensleding Zimmi, Zafran memilih menghela napas untuk menghilangkan rasa kesal. Apalagi melihat wajah Zimmi yang benar-benar polos itu. Makin bertambah-tambah rasa kesalnya. Udah lesbi, peak, bodoh, bego, kentir pula. Benar-benar si Zimmi minta pake paket komplit tinggal dieksekusi.
Zimmi kembali bermain boneka barbie. Lagi-lagi dia memperagakan boneka barbie layaknya Superman. Salah satu tangan boneka barbie diubah ke atas.
"Barbie Superman terbang. Wusss."
Kedua mata Zafran kembali melotot. "Zimmi inikan barbienya pakai gaun. Ntar kalau celana dalamnya kelihatan gimana? Ntar kalau ada laki-laki yang lihat bisa bahaya."
Seketika itu Zimmi memberhentikan permainannya. Dia langsung menjadikan boneka itu berdiri. Setelah itu dia membenarkan tangan boneka barbie itu.
"Serius, Bang? Ya ampun maafin Zimmi ya, Kak Zea. Zimmi nggak tahu. Zimmi nggak ingin kalau celana dalam Kakak dilihat laki-laki. Soalnya di sini ada Bang Zafran. Dia kan laki-laki. Takutnya nanti Kakak dalam bahaya," ujar Zimmi memasang wajah sedih sambil mengelus rambut boneka barbie.
"Enak saja. Abang anak baik-baik tahu. Ini tuh boneka barbie, kenapa malah nyambungnya ke Zea?"
"Karena Kak Zea itu cantik kayak barbie. Terus Kak Zea juga kuat kayak Superman."
"Benar-benar nih bocil minta di smackdown biar giginya tambang ompong."
Seketika itu Zimmi langsung berteriak sambil menutup kedua mata. "Mama! Abang mau smackdown Zimmi!"
"Zafran! Nggak usah jahil sama adik mu!" teriak Mamanya tak kalah keras.
"Dasar bocil kentir suka ngadu!"
"Biarin wlek!"
Kedua mata Zafran mendelik. Dia sangat gemas kepada Zimmi. Rasa ingin membuang Zimmi ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) benar-benar sudah menggebu-gebu.
Tapi niat itu dia urungkan saat melihat wajah Zimmi terlihat lesu. Zimmi terus menundukkan kepala sambil mengelus-elus rambut boneka. Bibirnya dimonyongkan yang benar-benar menunjukkan bahwa dirinya sedang sedih.
"Zimmi, kenapa? Kok wajahnya ditekuk gitu. Kan jeleknya makin kelihatan."
"Zimmi kangen Kak Zea. Kapan Kak Zea akan ke sini lagi. Kenapa sih Abang itu nyia-nyiain Kak Zea. Padahal dia itu baik banget."
Zafran tetap diam mendengarkan curhatan Zimmi. Dia juga tidak tega melihat wajah Zimmi yang seperti itu. Dia juga takut kalau Zimmi sampai nangis. Bisa-bisa dia dimarahin Mamanya.
"Dia itu baik, Bang. Dia selalu ngajarin Zimmi untuk selalu kuat. Walaupun Zimmi sedang sedih."
"Kak Zea itu sayang banget sama Zimmi. Makanya Zimmi tuh juga sayang banget sama Kak Zea. Kalau saja rumah dia deket sama kita, Zimmi pasti akan ke sana terus."
Kemudian Zimmi menatap Zafran dengan memasang wajah memelas. "Abang kapan bawa Kak Zea ke sini lagi? Zimmi kangen."
"Secepatnya. Sudahah dong jangan sedih gitu. Kalau sedih kamu makin jelek tahu!" ejek Zafran memeluk Zimmi.
"Abang nyebelin!" Sewot Zimmi kemudian menggigit lengan kanan Zafran.
"Aw! Sakit peak!"