Chereads / Really I Want / Chapter 27 - Chapter 26

Chapter 27 - Chapter 26

"Ini demi kebaikan kamu, Ana!" bentak Diana.

"Kebaikan?! Bunda bilang demi kebaikan?! Kebaikan apanya, Bun?! Ini semua nggak adil! Asal Bunda tahu, perbuatan Bunda itu keterlaluan! Bunda nggak pernah mikir bagaimana perasaan Kak Zea! Bunda nggak adil, Bun!" bentak Ana kemudian meninggalkan Diana.

Dia tidak menyangka jika Diana akan jujur di depan Zea. Padahal Ana hanya ingin kalau Zea mendapatkan kasih sayang yang tulus. Kata-kata Diana benar-benar menohok. Ana yakin itu. Jika dirinya berada di posisi Zea, Ana pasti tidak sanggup.

Sudah beberapa kali dia mengetuk pintu kamar Zea, namun tidak ada jawaban. Ana memutuskan untuk memasuki kamar tanpa izin dari Zea. Hatinya ikut merasakan ngilu saat melihat Zea sedang menangis.

Andai Ana berada di posisi Zea, dia tidak akan sanggup. Jangankan luka besar, luka kecil saja Ana sering mengeluh dan menangis. Bagaimana bisa Ana menyembunyikan luka fisik dan batin seperti Zea. Ini cukup sulit untuk Ana.

"Kak!" panggil Ana lirih. Dia langsung berhambur memeluk Zea.

Ana sangat nyaman berada di pelukan itu. Sejak dulu Zea akan memeluknya jika Ana sedang menangis. Sedangkan sekarang, mereka berdua sama-sama berhambur ke dalam pelukan kesedihan.

Ini kali pertama Ana menyaksikan Zea menangis sesenggukan. Air mata Zea terus mengalir di pipi. Hati Ana ikut hancur.

"Apa aku harus nakal biar Bunda benci sama aku, Kak?" tanya Ana di sela-sela tangisnya. Zea melepaskan pelukan Ana.

Dia menghapus jejak air mata Ana. Dia sangat bersyukur memiliki adik seperti Ana. Selalu mengerti perasaan orang lain. Karena pada umumnya seorang adik kakak pasti sering bertengkar. Apalagi sesama jenis kelamin.

Zea sedikit merasa bersalah. Akhir-akhir ini dia selalu menghindari Ana padahal Ana sangat memperhatikannya. Terkadang Zea malah mengusir Ana secara halus. Entah mengapa akhir-akhir ini Zea lebih suka menyendiri dibandingkan bertemu dengan keluarganya.

"Lo nggak boleh lakuin itu, Ana. Lo masih kecil, lo masih butuh kasih sayang. Jangan pernah buat Bunda kecewa. Gue tahu kalau Bunda sayang banget sama Lo. Biarkan gue yang seperti."

"Kenapa Bunda nggak pernah perhatian sama Kak Zea? Kenapa Kak? Aku hanya ingin Bunda bersikap adil sama kita."

Sebenarnya Zea sangat tertohok dengan pertanyaan Ana. Jika saja Ana tahu keadaan yang sebenarnya, dia mungkin akan merasa jijik. Zea takut jika itu benar-benar terjadi.

Zea menggelengkan kepala pelan. Dia tersenyum tulus kepada Ana. Namun lain dengan lubuk hatinya, dia sangat merasakan sakit seperti sayatan yang bertubi-tubi.

"Bunda nggak pernah perhatian sama gue karena gue itu sudah besar, Ana. Bunda sudah percaya kepada gue bahwa gue itu bisa jaga diri. Buktinya gue selalu ngehajar laki-laki yang nakalin lo."

"Terus apa bedanya saat kita masih kecil, Kak? Waktu Kak Zea masih SD, Bunda juga kayak udah benci sama Kakak."

"Bukan benci Ana. Dia hanya ingin gue belajar mandiri dan itu juga karena gue itu Kakak lo. Jadi, wajar dong kalau Kakak mengalah demi adik?" tanya Zea menatap ke arah depan dengan pandangan kosong.

"Iya sih."

Walaupun Ana mengiyakan perkataan Zea, dia tidak puas dengan jawaban Zea. Ada sedikit yang mengganjal di hatinya. Namun Ana tidak tahu pasti apa penyebab keganjalan di hatinya itu.

Sudah beberapa kali Zea membohongi Ana. Menurutnya berbohong demi kebaikan tidak apa-apa daripada berbohong untuk keburukan. Padahal setiap kebohongan itu akan berakhir menyakitkan, baik itu diri sendiri ataupun orang lain.

"Kak!" panggil Ana. Zea pun menatap wajah Ana. "Ana itu benar harus jadi pembangkang Bunda. Biar Bunda benci sama aku. Terus Bunda jadi perhatian sama Kakak. Ana rela kalau dibenci Bunda. Jadi, kita imbang."

Zea pun menggelengkan kepala cepat. Dia tidak ingin orang lain berada di posisinya. Cukup dirinya saja yang merasakan. Sebab hidupnya memang seperti sinetron yang kebanyakan sandiwara.

Dia juga bingung terhadap jalan pikiran Ana. Bisa-bisanya Ana ingin berbuat konyol seperti itu. Pikiran Ana terlalu buntu untuk mengambil keputusan atau bahkan Ana tidak memikirkan bagaimana akibat dari perbuatannya. Bisa-bisa Zea dianggap sebagai pengaruh buruk oleh Diana.

"Enggak Ana! Lo mau masuk neraka?! Jadi pembangkang orang tua itu dosa, kamu mau jadi anak durhaka?"

"Terus aku harus ngapain biar Bunda nggak pilih kasih?"

"Cukup bantu do'a saja. Sekarang lo tidur, gue juga mau tidur. Gue sudah capek pingin istirahat."

Ana menggukkan kepala kemudian tersenyum. "Iya, Kak. Selamat tidur ya. Jaga kesehatan Kakak."

Ana meninggalkan Zea di kamar. Setelah Ana keluar, Zea segera menutup dan mengunci pintu kamarnya. Dia duduk di kursi belajar.

Air matanya terus menetes. Dari dulu hingga sekarang, hanya buku diary dan kaca yang tahu segala permasalahannya. Walaupun buku tak bisa berbicara, setidaknya tidak ada orang yang tahu kecuali tuhan.

Dia mulai menuliskan curahan hatinya di sana. Setiap kata yang dia tulis mampu membuatnya kembali meneteskan air mata. Tangannya sedikit bergetar saat menggoreskan tinta ke buku.

Dari aku untuk Sang Pencipta

Hari ini, hari yang begitu hancur. Hatiku terus terasa nyeri. Aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Semua terlihat begitu banyak sandiwara.

Tuhan, aku capek, aku lelah, aku letih. Aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya disayang orang tua. Apakah aku salah? Apakah permintaanku terlalu berlebihan.

Penyakitku semakin parah. Apakah aku masih memiliki kesempatan untuk berbakti dan membanggakan orang tua ku?

Aku ingin memperbaiki hubungan keluarga. Aku ingin hidup dalam keharmonisan keluarga tanpa ada kata benci.

Tuhan, Jika hidup itu pilihan, apakah aku boleh memilih untuk mati? Aku sudah tidak kuat dengan sandiwara ini.

Jika mati belum ditakdirkan untukku, berikan aku kesempatan untuk bisa memeluk dan dipeluk Bundaku.

Tertanda

Zea

Aku sayang Bunda

I Love You Bunda

Setelah selesai menulis isi hatinya, Zea menutup buku itu dan kembali menyimpannya. Dia selalu menuliskan (I Love You Bunda) di akhir tulisannya. Karena dia selalu berharap jika rasa sayangnya itu akan mendapat balasan dari Diana.

Zea yakin bahwa keajaiban pasti akan datang dan entah kapan itu waktunya. Terkadang sabar untuk menunggu keajaiban juga membuatnya cukup merasa capek dan putus asa. Pada saat itulah Zea ingin mati saja daripada hidup menyiksa.

Dia kembali ke kasur dan mengambil ponselnya. Rencananya untuk membalas telephone dari Zafran dia batalkan. Kepalanya sudah terasa nyeri. Dia mengirimkan nomor WhatsApp pembeli, share lokasi rumah Dina, dan kode WhatsApp ke nomor WhatsApp Dian.

Setelah sudah, dia mengambil obat untuk diminum. Untung saja masih ada sisa sedikit air putih yang tadi diberikan Dian saat di mobil. Air putih itu hanya cukup untuk meminum obat.

"Zea, lo harus kuat. Ingat, lo ada tantangan dengan Zafran. Lo harus menang biar tidak ditertawakan Zafran!" batin Zea menyemangati diri sendiri setelah selesai minum obat.

"Huek!"

"Sstt! Sakit!" rintih Zea.