Chereads / Really I Want / Chapter 28 - Chapter 27

Chapter 28 - Chapter 27

"Abang, Zimmi kangen Kak Zea. Zimmi pingin main sama Kak Zea."

"Gini nih kalau nggak ada akhlak nggak ada otak. Masa iya jam segini mau main ke rumah orang," batin Zafran di sela-sela tidurnya.

Dia tidak tahu betul dengan jalan pikiran Zimmi. Terkadang benar-benar tanpa dugaan, sikapnya itu aneh dan tidak masuk akal. Mungkin juga karena faktor bermain dengan Zea. Sebab Zea sendiri terkadang bersikap aneh.

Zafran pura-pura tidur agar Zimmi mau keluar dari kamarnya. Sesekali Zimmi menjewer telinga Zafran agar mau bangun. Saat itu juga Zafran malah menutup kepalanya menggunakan bantal.

Zimmi tidak putus asa. Dia menarik selimut dan bantal Zafran sampai Zafran ikut terjatuh di lantai. Dia juga terus merengek meminta bermain dengan Zea padahal jam menunjukan pukul 22.30 yang artinya waktunya untuk tidur. Ini semua karena Zafran lupa mengunci kamarnya sehingga Zimmi bisa masuk ke dalam kamar. Padahal Zafran sudah tidur sejak pukul 21.00 karena lelah menunggu kabar dari Zea.

Seratus panggilan tadi menurutnya sudah banyak. Dia memutuskan untuk tidak menelephone Zea lagi. Namun Zimmi malah mengusik tidurnya demi menghubungi Zea.

Zafran naik ke kasur lagi dan menarik Zimmi yang masih merengek untuk dijadikan bantal guling. Dengan begitu, Zimmi terus meronta agar Zafran melepaskannya.

"Aw! Sakit bego!" teriak Zafran saat merasakan tangannya digigit Zimmi. Seketika itu Zafran langsung bangun dan melotot ke arah Zimmi. Gigitan Zimmi membekas gerigi kecil melingkar di tangan Zafran.

"Makanya aku disekolahin biar nggak bego!" teriak Zimmi tak mau kalah. 

"Gini nih kalau otaknya nggak diedit. Lagian ini sudah malem Zimmi. Zea pasti udah tidur. Di sekolahin tapi nggak ada pintar-pintarnya. Waktu istirahat saja nggak tahu!" sewot Zafran kemudian mengambil ponselnya.

"Pokoknya aku mau sama Kak Zea!"

"Sabar, Bocil!" Ujar Zafran memanggil Ana dengan panggilan bocil, yaitu bocah cilik.

Zafran mengetik pesan untuk Zea menggunakan aplikasi WhatsApp  sedangkan Zimmi, dia mengintip Zafran yang sedang mengetik pesan. Dia mengeja setiap apa yang Zafran ketik.

Zimmi kangen sama lo, Ze. Tolong telephone gue ya kalau lo sudah online. Katanya pingin main bareng.

Setelah selesai, dia segera mengirim pesan itu. Di ponselnya menunjukkan centang 2 abu-abu yang artinya Ponsel Zea sedang aktif. Zafran sendiri berharap Zea membalasnya. Syukur-syukur dia mau menelephone.

Dia meletakkan ponselnya kemudian menatap Zimmi yang sedang cengengesan. Ingin rasanya Zafran menimpuk adiknya menggunakan bantal. Mengingat adiknya itu bermulut ember, dia tidak mau melakukan itu. Takut uang jajannya akan menjadi korban.

"Kak Zea sudah bales belum, Bang?"

"Sabar, anak kecil tapi ngeyel banget kalau dibilangin anak gede. Jadi pingin ngedit otaknya."

"Serius? Abang mau ngedit otak Zimmi? Kalau jadiin Superman bisa nggak, Bang? Biar kuat kayak Kak Zea. Nggak seperti Abang, benyek! Hahahah!"

"Untung Zimmi tuh anak horang kaya ya. Coba saja kalau bukan anak horang kaya, pasti sudah dibully karena begonya sangat natural. Nanti gue beliin efek biar otak Zimmi jadi estetik ya," sindir Zafran.

"Bego, Abang lah. Orang baik seperti Kak Zea malah disia-siain," sindir balik dari Zimmi untuk Zafran. Kata-kata Zimmi benar-benar menohok membuatnya menelan ludah kasar. Dia diam terpaku mencerna ucapan Zimmi.

***

Zea merasakan sakit yang luar biasa. Dari terasa mual, sakit kepala, dan mimisan. Akhir-akhir ini kesehatannya semakin menurun. Bahkan rasanya sudah tidak ada tenaga untuk berdiri. Kakinya sangat terasa lemas.

"Zea, lo harus kuat. Lo nggak boleh lemah," ujarnya menyemangati diri sendiri.

Dia menghapus darah sial itu, karena darah itu hidupnya ketergantungan obat. Di dunia yang paling mahal adalah kesehatan. Orang kaya bisa saja jatuh miskin karena kehabisan uang untuk berobat.

Zea mulai menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia mengambil ponsel yang ada di sampingnya duduk. Di sana terdapat notif nari Zafran dan Dian.

Niatnya tidak akan membalas notif dari Zafran dia urungkan saat melihat pesan bertuliskan nama Zimmi. Sesuai dengan perintah pesan itu dia menelephone nomor Zafran. Mungkin dengan adanya Zimmi, dirinya agak terhibur dan rasa sakitnya menjadi agak berkurang.

Tanpa lama menunggu, panggilannya sudah dijawab. Di sebrang sana terdengar suara kebahagiaan, Zea yakin itu. Suara itu membuatnya lega karena ternyata Zimmi betul-betul kangen kepadanya. Bukan akal-akalan dari Zafran.

"Zimmi, Kangen banget nih. Kak Zea, kapan ke sini lagi?" tanya Zimmi di sebrang sana.

Zea pun terkekeh sendiri. Sebegitu antusiasnya seorang Zimmi. "Salam dulu, Zimmi."

"Eh iya ya, Kak. Zimmi lupa, soalnya terlalu senang. Assalamualaikum Kak Zea, waalaikumsalam Zimmi. Sudah, Kak."

Lagi-lagi Zea terkekeh sendiri. Rasa sakitnya benar-benar terhibur, sehingga bebannya pun sedikit berkurang. Walaupun Zea sudah tahu jika itu sejenak. Zimmi memang sering berpikiran konyol sehingga membuat orang lain terhibur. Zimmi juga terkadang meniru bagaimana Zea berbicara ataupun Zea berpenampilan. Menurut Zimmi, Zea adalah inspirasinya.

"Gini nih kalau nggak ada akhlak, bego juga," ujar Zafran di sebrang sana terdengar dari telephone.

"Makanya Zimmi di sekolahin biar pintar. Iya kan Kak Zea?"

"Iya, dong!"

"Kak Zea kapan main bareng lagi? Zimmi kangen Kak Zea."

"Nanti kalau Kakak ada waktu luang bakal ngabarin Zimmi. Sekarang Zimmi tidur ya. Besok kan Zimmi sekolah."

"Iya, Kak. Jangan lupa ngabarin Zimmi ya. Zimmi sayang Kak Zea. Good night, Kakak."

"Good night, Zimmi."

"Jangan dimatiin dulu, Ze. Gue mau ngomong setelah ngantar Zimmi ke kamarnya. Tunggu ya."

Zea mengikuti Perintah Zafran. Dia sendiri bingung, padahal Zea sudah merasa kantuk, lelah, dan letih. Namun kepala yang terus berdenyut membuatnya sulit untuk memejamkan mata.

"Hallo!" Suara Zafran dari sebrang sana.

"Iya? Ada apa, Zaf?"

"Dari tadi lo kemana? Tumben nggak ada kabar?"

"Cie nyariin. Kangen ya? Hahaha."

"Iya gue nyariin lo. Kalau saja sudah ada dua puluh empat jam, lo bakal gue laporin ke polisi biar masuk ke daftar orang hilang."

"Kenapa harus langsung lapor sih?"

"Karena gue takut kalau lo bakal ngilang selamanya di kehidupan gue. Lo kan jodoh gue."

Ucapan Zafran begitu menohok hatinya. Padahal Zea tahu kalau Zafran biasa bercanda. Namun ucapannya kali ini seperti mewakili penyakitnya. Seperti yang dia sering amati di sekitar orang-orang yang terkena kanker. Kebanyakan dari mereka berakhir menghembuskan napas terakhir. Akhirnya Zea membuang pikiran kotor itu. Takdir hidup dan mati ada di tangan Tuhan, Zea yakin itu.

"Apaan sih?! Malem-malem gaje banget!" sewotnya untuk mengalihkan pembicaraan.

"Lo tahu kenapa gue telphone lo sebanyak seratus kali?" tanya Zafran di sebrang sana.

"Nggak, emang kenapa?"

"Itu adalah bukti seratus persen sayang gue sama lo!"

"Ah kata-kata lo kayak rumus IPA dan matematika, sulit dimengerti," ujar Zea pura-pura tidak paham.

"Lo tenang saja, Ze. Gue itu anak IPS, sejarah saja betul-betul di ingat terus, apalagi lo. Pasti nggak bakal terabaikan."

"Termasuk sejarah mantan kan?"

"Iya lah. Lo kan mantan gue."

Zea diam kemudian mendengus sebal. Ini sebabnya terkadang dia males untuk berkomunikasi dengan Zafran. Pasti ada saja perkataan Zafran yang lama-kelamaan membuatnya sebal. Jika saja ini bukan di telephone, mungkin Zea sudah akan menjambak rambut Zafran.

"Lagian nih, anak IPS tuh rasa sosialnya tinggi. Dari keadaan masyarakat sekitar saja diperhatikan. Apalagi lo yang satu-satunya jodoh gue. Pasti gue perhatikan terus deh," ujar Zafran lagi.

"Buah tomat, buah cabai. Bodoamat, bye!" Zea mematikan telephonnya.