Chereads / Really I Want / Chapter 26 - Chapter 25

Chapter 26 - Chapter 25

Arini, Andi, dan Dian menatap Zea yang sedang menangis. Mereka bertiga berusaha tetap tegar. Terutama Dian, karena dia adalah teman kecil Zea. Siapa orangnya tidak akan ikut merasakan sedih jika ada teman akrabnya sedang sakit. Melihat teman akrabnya mempunyai teman baru saja bisa cemburu.

"Zea, kamu sudah sadar? Tante seneng banget," ujar Arini memeluk Zea.

"Zea mau pulang. Zea nggak mau di sini. Nanti kalau Zea nggak pulang-pulang, Mama makin benci sama Zea. Pokoknya Zea mau pulang Tante, hiks."

"Tapi kamu masih sakit Zea. Tante sama Om khawatir sama kondisi kamu. Zea tetap di sini saja ya. Ada Dian juga di sini."

"Nggak mau Tante, Zea mau pulang, hiks, Zea mau pulang, hiks. Zea nggak mau Mama makin benci sama Zea, tolongin Zea Tante," ujar Zea lirih sambil terus menangis.

Arini bingung, sebab dia ingin Zea sembuh. Dia menginginkan Zea kecil, Zea yang selalu pasang wajah ceria, walaupun Zea kecil sudah memikul beban tanpa kasih sayang dari seorang ibu. Tapi untuk Zea yang sekarang, dia penuh sandiwara, bebannya semakin banyak. Apalagi dirinya sekarang terkena penyakit kanker darah. Bahkan orang yang diinginkan Zea pun tidak tahu keadaannya.

Mereka bertiga saling menatap. Dengan begitu, Andi menganggukkan kepala sebagai jawaban. Arini pun tersenyum.

"Ya sudah, tapi kamu janji, kamu harus berjuang dan rajin minum obat biar sembuh."

"Iya, Tante."

Andi dan Arini keluar dari ruangan. Mereka akan menemui dokter. Sebenarnya mereka juga yakin, jika Zea tidak diperbolehkan pulang. Apalagi Zea baru beberapa jam saja di rumah sakit. Dalam perjalanan menemui dokter, mereka berdo'a semoga dokter memperbolehkan.

"Permisi Dokter, pasien yang bernama Zea mau minta izin pulang," ujar Arini saat bertemu dengan dokter. Dia ingat betul bahwa dokter tersebut yang tadi menangani Zea.

"Kak Andi? Saya dengar kalau Kak Andi sekarang jadi dokter ya? Hebat banget ya, dari dulu pintar dan sekarang jadi orang yang sukses," ujar Dokter.

"Iya, kok bisa tahu saya?"

"Iya, saya Bima, adik kelas Kak Andi. Oh iya, sebenarnya Zea belum boleh pulang, tapi karena Kak Andi adalah dokter, saya mengizinkan Zea boleh pulang. Tapi, tolong rawat jalan Zea ya, Kak. Sebab kesehatannya menurun."

Sebuah keberuntungan bagi Andi. Dokter yang menangani Zea adalah adik kelasnya di saat dia SMA. Dia adalah salah satu fans Andi. Sebab Andi adalah salah satu siswa pintar di sekolah yang selalu mendapat paralel 1.

"Iya, Bima. Saya baru ingat. Sebelumnya terima kasih. Saya pamit dulu, permisi."

"Iya, sama-sama," jawab Bima tersenyum.

***

"Gue yakin, lo pasti sudah tahu kondisi gue sekarang. Gue harap lo bisa jaga rahasia kenyataan ini," ujar Zea berkaca-kaca menatap langit ruangan.

Dia tidak sanggup menatap Dian. Apalagi Dian yang sedang khawatir dan turut bersedih akan keadaanya sekarang, Zea yakin itu. Semakin banyak orang yang menjaga rahasia, semakin banyak pula peluang terbukanya rahasia. Sebab itu Zea benci dengan kepercayaan orang lain. Pepatah juga sudah mengatakan, seribu kebaikan akan tertutup satu kesalahan.

"Iya, gue memang sudah tahu. Gue hanya bisa berdo'a buat kesembuhan lo dan gue berharap lo akan terus berjuang demi mengusir penyakit lo itu, Ze. Gue yakin, lo pasti bisa. Lo pasti masih ingat saat dulu ada anak yang nakalin gue, lo bisa tinju tiga anak laki-laki itu, padahal lo itu cewe," ujar Dian.

Dian memegang tangan kanan Zea berusaha menguatkan Zea. "Zea, tolong tatap mata gue."

Zea pun mengikuti perintah Dian. Mereka berdua saling menatap. Dari kedua mata mereka terdapat luka yang terpendam karena untuk menutupi kesedihan.

"Zea, lo harus kuat. Gue akan selalu ada buat lo. Bagi gue, lo itu segalanya. Berkat lo, gue jadi cowo yang kuat," ujar Dian kemudian memeluk Zea. Begitupun Zea, dia juga membalas pelukan Dian.

Mereka berdua saling melepaskan pelukan. Kemudian Zea tertawa membuat Dian bingung. "Lo yakin kalau lo sekarang jadi cowo yang kuat?"

"Iya," jawan Dian tanpa ada rasa ragu.

"Bukannya masih saja jadi pemalu? hahaha."

Dian hanya tersenyum canggung sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia sendiri jadi sadar bahwa dirinya masih saja pemalu banget. Memang sejak dulu omongan Zea selalu asal ceplos jika bersama teman dekatnya.

Pintu ruang terbuka. Di sana terdapat Andi dan Arini yang sedang tersenyum dan terlihat bahagia. Bahkan rasa sedih dan khawatir Arini terlihat sudah hilang. Mereka berdua berjalan mendekati Zea dan Dian. Arini langsung memeluk Zea.

"Zea, kamu boleh pulang. Tapi kamu harus janji sama tante. Kamu harus benar-benar mau berobat dan rutin minum obat. Tante sama Om yang akan menanggung biaya berobat kamu. Tapi Zea juga harus janji akan berjuang melawan penyakitnya Zea itu."

Zea tersenyum dan kembali meneteskan air mata. Sungguh ini adalah sebuah kebahagiaan yang sejak dulu dia impikan. Namun bukan dengan orang yang dia inginkan.

"Makasih, Om, Tante, Dian. Zea sayang kalian."

Mereka bertiga berpelukan untuk sama-sama saling menguatkan. Sungguh Zea menangis terharu. Setelah itu mereka melepaskan pelukannya. "Gue baru sadar, ternyata masih ada orang yang peduli sama diri gue," batin Zea.

Mereka berempat memutuskan untuk pulang setelah infus Zea dilepas oleh dokter Bima. Proses pulangnya pun tidak lama, sebab mereka belum bawa barang-barang yang seharusnya Zea akan diopname. Mereka hanya membawa obat Zea.

Untuk kali ini Arini yang duduk di samping Andi mengendarai mobil. Sedangakan Dian dan Zea duduk di belakang. Dalam perjalanan, Zea terus menjahili Dian, dari mencubit sampai menjambaknya. Namun Dian tidak mempermasalahkan itu, dia hanya berpura-pura ngambek.

"Dasar ngambekan. Pantesan wajahnya tua, hahaha," ejek Zea.

"Apaan sih?!  Jadi orang nyebelin banget!"

"Om, kita ke rumah Om dulu ya. Mau ambil tasnya Zea."

"Nggak besok saja, Ze?  Biar diantar Dian pas mau berangkat sekolah sekalian ngantar kamu sekolah."

"Nggak usah, Om. Tas Zea cuma satu, nanti malah ribet."

"Oh ya sudah."

Mereka sudah sampai di rumah Andi. mereka pun segera turun dan Zea mengambil tasnya. setelah itu Zea memasukan obatnya yang tadi diberi Andi.

"Dian, antar gue pulang sekarang ya. biar nggak kemalaman, ini sudah jam delapan malem," ujar Zea menarik tangan Dian.

"Pakai mobil saja, Dian. Kasihan Zea masih sakit biar nggak kena banyak angin," suruh Andi.

"Iya, Pa." Dian meninggalkan Zea yang sedang akan berpamitan dengan kedua orang tuanya.

"Om, Tante, Zea pamit dulu ya. Makasih ya Om, Tante sudah mau bantu Zea. Zea sayang kalian," ujar Zea lagi memeluk Arini. Sedangkan Andi mengelus rambut Zea berulang-ulang.

"Iya, sama-sama. Hati-hati di jalan ya."

Zea mengangguk, kemudian menuju ke Dian yang sudah menyalakan mobilnya. Mereka berdua meninggalkan halaman rumah. Zea membuka ponselnya yang dari pulang sekolah dia taruh di dalam tas. Dia terbelalak kaget saat melihat notifikasi di ponselnya.

"Seratus panggilan tak terjawab? Dari mantan? Ada apa ya? Balas nanti saja pas sudah di rumah saja deh," batin Zea.

"Kenapa, Ze?" tanya Dian.

"Nggak apa-apa kok. Nanti ke rumah teman gue dulu ya, Dina. Gue mau ambil barang."

"Barang?"

"Iya, semenjak gue sakit, gue butuh biaya banyak. Gue selalu minum obat dari dokter kalau benar-benar ngerasain sakit banget. Karena gue tahu, obat buat kanker itu mahal. Sebab itu gue selalu menghemat obat yang diberikan dokter."

Dian terus diam untuk mendengarkan Zea bercerita. Zea pun menghela napas, kemudian menatap ke arah depan. "Gue nggak pernah minta uang Bunda buat beli obat untuk kanker. Karena Bunda nggak pernah peduli sama gue. Dia bilang, gue itu sakit biasa. Dia hanya selalu kasih gue uang lima ribu buat beli obat di warung saat gue sakit."

"Dan sudah satu bulan yang lalu, gue berusaha cari kerjaan untuk bisa buat biaya berobat, karena tabungan gue sudah menipis. Tapi gue berpikir lagi, gue nggak mungkin lakuin itu. Karena saat gue capek banget, gue takut kalau gue bakal kambuh. Akhirnya gue berusaha buat online shop dan alhamdulillah itu berhasil. Gue ikut jadi reseller temen gue, Dina. Dan gue sudah berjalan selama satu bulan."

"Sebenarnya gue bersyukur banget. Walaupun Bunda benci gue, dia masih mau ngasih makan dan uang jajan gue, walaupun itu pas-pasan."

Ada sedikit rasa nyeri di hati Dian. Dia sangat kagum dengan usaha Zea. Ternyata sejak dulu Zea berjuang sendiri tanpa ada penyemangat. Dian bersyukur karena Zea bertemu dengan orang tuanya.

"Gue salut sama usaha lo, Ze. Gue akan selalu berdo'a agar lo cepat sembuh. Kalau lo sudah sembuh, kita bisa main kayak dulu lagi. Gue harap lo nggak ngilang seperti selama ini. Kalau lo butuh tinggal hubungin gue saja."

"Serius lo mau bantu?"

"Iya, Zea."

"Gimana kalau lo yang ambilin barangnya terus lo yang cod sama pelanggan gue, ntar WA gue yang buat jualan dipindah ke HP lo. Soalnya ini sudah malam, gue takut dimarahin sama Bunda. Gue nggak mau Bunda makin benci sama gue."

Dian terkejut bukan main. Bisa-bisanya Zea menyuruh dirinya untuk cod, berkomunikasi dengan orang lain saja rasanya mau berak. Dian sebal dengan cara berpikir Zea.

"Oke deh," jawab Dian bersemangat. Padahal dalam hatinya merasakan sedikit sebal.

"Makasih, Dian. Kamu baik banget deh."

Tangan kanan Zea mencubit pipi kiri Dian. Lagi-lagi Dian pun semakin sebal. Pulang dari rumah sakit sampai sekarang dirinya dicubit terus.

Tanpa terasa mereka berdua telah sampai di depan rumah Zea. Dian meminggirkan mobilnya. Zea tersenyum kepada Dian saat akan keluar dari mobil.

"Makasih, Dian. Gue masuk dulu ya."

"Tunggu, Ze."

"Ada apa?"

"Ntar langsung WA gue ya, biar nggak kelamaan.  Nomor pelanggan sama temen lo Dina, terus kode WA nya langsung kirim."

"Oke siap. Lo hati-hati ya. Gue masuk dulu, nggak kuat, capek."

"Iya, cepat sembuh ya."

Zea menganggukkan kepala sebagai jawaban. Dia tersenyum tulus kepada Dian, begitupun dengan Dian.  Setelah itu Zea meninggalkan Dian untuk masuk ke rumah.

Dia membuka pintu dengan penuh hati-hati agar Dina tidak mengetahui bahwa dirinya baru saja pulang. Dengan segera dia menuju kamarnya. Namun dia memutuskan untuk mengambil minum dulu karena tenggorokannya terasa kering. Minuman di kamarnya masih sedikit.

Zea terkejut saat melewati ruang makan. Di sana ada Dina dan Ana yang akan makan malam. Dia menundukkan kepala karena merasa takut.

"Zea? Sudah pulang? Ayo sini makan," ajak Diana.

Sungguh Zea merasa senang, perkataan Diana membuatnya begitu lega. Dia juga heran sendiri kenapa Diana tidak marah. Namun Zea berpikir positif saja. "Terima kasih ya Allah, engkau telah mengabulkan do'a ku selama ini," batin Zea bahagia.

Ana segera menarik tangan kanan Zea. "Sini, Kak. Duduk!"

Zea pun duduk di samping kanan Ana. Mereka bertiga mulai melahap makanan. Suasana sepi menghinggapi mereka bertiga.

"Zea, ingat ya. Saya melakukan ini karena Ana. Jika bukan karena Ana, saya tidak sudi melakukan seperti ini, apalagi harus nunggu kamu pulang," ujar Diana menohok hati Zea.

Seketika nafsu makan Zea hilang. Dia meninggalkan Ana dan Diana. Sungguh hatinya terasa ngilu.

Prang!

Ana memecahkan piring kemudian berteriak dan menangis. "Bunda jahat! Bunda egois!"