Mereka berdua terlihat bahagia. Terutama Ana, dia menjerit-jerit memberi semangat Zea mengayuh sepeda. Sesekali dia juga memeluk Zea dari belakang. Ana tahu betul, momen seperti adalah momen yang langka. Momen yang hanya bisa dilakukan di luar rumah. Padahal rumah adalah tempat untuk mencari kenyamanan. Namun, saat mereka berdua di rumah, mereka sering merasakan canggung karena kehadiran Diana.
"Kak, aku seneng banget hari ini!" teriak Ana merentangkan kedua tangan.
"Ana! Gue mau ngebut, pegangan ya!" suruh Zea berteriak.
"Siap, Kak."
Ana melingkarkan kedua tangannya di pinggang Zea. Dia kembali tertawa menikmati indahnya kebersamaan. Begitu juga dengan Zea, dia bersorak ria. Setidaknya bebannya sudah sedikit berkurang.
Naik Sepeda jauh lebih menyenangkan daripada naik motor. Selain hemat sumber daya alam, sepeda juga dapat mengurangi polusi udara. Jaman sekarang dengan jaman dalu berbeda. Jaman dulu motor hanya digunakan oleh kalangan atas. Sedangkan jaman sekarang baik kalangan atas maupun kalangan bawah, rata-rata memiliki motor. Jangankan orang tua, anak kecil di bawah umur saja sudah banyak yang memakai motor.
Padahal pengendara motor memiliki peraturan, salah satunya memiliki SIM. Banyak anak-anak dibawah umur terkena tilang karena tidak memiliki SIM. Bahkan ada juga yang bisa membahayakan dirinya, salah satunya ugal-ugalan dan tidak memakai helm. Di sini manfaat dari memaki helm adalah melindungi kepala dari benturan saat terjadi kecelakaan.
Gerakan kaki itu terlihat sangat cepat saat mengayuh sepeda. Ban sepeda pun memutar dan melaju sangat cepat. Hingga tanpa terasa mereka berdua telah sampai di depan sekolah Ana. Zea turun dari sepeda begitupun dengan Ana. Mereka berdua masih mengambil napas dalam-dalam untuk mengurangi rasa capek.
Ana mengambil botol minum dari dalam tas. "Ini, Kak, buat Kakak. Diminum ya."
Zea menerima pemberian Ana kemudian meminumnya. Ana tersenyum melihat Zea yang mau menerima pemberiannya hari ini. Biasanya dia sering menolak pemberian Ana dengan alasan tidak mau merepotkan dan itu juga bukan haknya.
"Kak, sepeda Ana dipakai Kakak saja ya. Ntar Kakak telat."
"Nggak usah, Na. Ntar gue paling nebeng teman. Lagian kalau dipakai gue nanti Lo pulangnya gimana? Nanti kalau Bunda tanya mau jawab apa?"
"Emm, iya juga sih. Takutnya nanti Bunda malah marahin Kakak lagi. Ya sudah, Kakak hati-hati di jalan ya."
"Gue berangkat dulu ya."
Ana menganggukkan kepala. Baru juga senang, tapi langsung sedih. Padahal Ana sudah berharap kalau Zea mau memakai sepedanya ke Sekolah.
"Ya sudah deh, setidaknya Kakak udah mau menerima air putih sama uang saku," Batin Ana.
***
Zafran dan Adit sedang duduk di depan kelas. Menurut mereka berdua, duduk di depan kelas di waktu pagi bisa digunakan untuk cuci mata. Selain itu, mereka juga memanfaatkan waktu tersebut untuk tebar pesona. Mereka berdua tak segan-segan genit untuk membuat para siswi baper. Terlebih pada diri Adit, dia lebih senang menggoda kakak kelas. Menurutnya, kakak kelas lebih mantap-mantap.
Sedangkan Zafran lebih suka menggoda adik kelas. Alasannya karena adik kelas masih baru menduduki bangku SMA sehingga mudah baper. Jangankan kata-kata, tatapan saja bisa membuat mereka terpesona.
Umumnya, adik kelas akan merasa bangga saat memiliki pasangan dengan kakak kelas. Mungkin mereka pikir dengan menyandang status pacar kakak kelas bisa membuatnya terkenal. Apalagi Kakak kelas tersebut terkenal di kalangan sekolah. Cewe mana yang tidak mau.
Sekolah adalah tempat menuntut ilmu. Jaman sekarang, banyak anak yang hanya pamer kepemilikan daripada berlomba-lomba untuk meraih prestasi. Mereka sibuk mengikuti dunia luar dan diperbudak handphone. Itulah mengapa sebabnya banyak siswa berlomba-lomba untuk menjadi terkenal.
Di sisi lain ada hal yang janggal. Mengapa mereka ingin terkenal karena apa yang mereka miliki? Mengapa tidak pamer prestasi? Ada yang lebih parah, ingin sekolah hanya berniat mencari pacar.
"Dit, yang benar dikit deh. Nggak usah senggol-senggol banget gini. Sesak bego!" Protes Zafran saat Adit memepet posisi Zafran.
"Ya, maaf. Gue lagi mau caper."
"Diam deh! Berisik amat!"
Mata Zafran mengikuti seorang gadis yang berjalan sambil menundukan kepala. Dia penasaran dengan siswi itu. Bahkan dia juga tidak pernah melihatnya sama sekali. Sebab dia hafal betul setiap siswi disekolahnya dengan ciri khas masing-masing.
"Bro! Lo lihat cewe itu," ujar Zafran.
"Yang mana?" tanya Adit melihat setiap siswi lewat.
"Itu yang kelihatan cupu yang lagi jalan di depan toilet. Kalau dilihat-lihat sih cantik juga walaupun cupu. Kayaknya dia murid baru di sini."
"Iya juga ya. Eits, bentar! Gue kayak kenal dia. Oh dia i--"
"Pokoknya itu target gue. Semangat, gue duluan ya. Mau nyamperin dia," ujarnya saat akan meninggalkan Adit.
Zafran berlari untuk mengejar siswi itu. Dengan rasa percaya dirinya dia memanggil siswi itu dengan panggilan cantik. Bahkan dia juga membenarkan gaya rambutnya. Sok ganteng banget dia. Tak lupa senyumnya itu sebagai andalan.
"Cantik, kenalin gue Zafran," ujarnya mengulurkan tangan kanan.
Siswi itu menatap tangan Zafran. Dia mendongakkan kepala menatap Zafran dengan wajah songong. "Baru nyadar kalau gue cantik? Gini nih kalau mata keranjang. Gue colok mata lo biar tahu rasa."
"Allah hu akbar mantan?! Lagian lo kenapa pakai ginian? Kaos kaki tumben panjang, rambut dikucir kuda, pakai poni juga. Sumpah lo culun banget jelek juga!"
"Biarpun gue jelek, lo masih mau sama gue, buktinya lo tadi ngejar orang jelek."
"Anjay!"
"Kenapa? Lo sangat terharu sama kecantikan gue kan? Gue tahu nggak bakal ada cewe yang mau sama Lo. Makanya Lo jomblo terus. Nah sekarang, Lo ngejar-ngejar gue terus. Mau min--"
"Berisik lo. Mending temenin gue sarapan mumpung belum bel masuk, gue yang traktir," ujar Zafran tanpa aba-aba menarik tangan Zea menuju ke arah kantin.
"Jangan ditarik-tarik!"
"Kalau nggak ditarik Lo nggak bakal mau!"
"Lepas nggak?!" Bentak Zea berusaha melepaskan genggaman Zafran.
"Nggak!"
Zea terus meronta meminta Zafran untuk melepaskan genganggaman tangannya. Bagaimana Zea tidak sebal jika belum menaruh tasnya namun sudah diajak ke kantin. Hari ini Dia tidak mau berurusan masalah dengan guru. Sebab dia yakin, jika membuat masalah, dirinya pasti akan di hukum lagi. Untuk hari ini, Zea takut itu.
Mereka berdua telah sampai di kantin. Zafran menyuruh Zea untuk duduk. Sebenarnya perutnya juga merasakan lapar. Mungkin karena tenaganya sudah habis untuk mengayuh sepeda tadi pagi.
"Lo mau makan apa?" Tanya Zafran.
"Terserah."
"Mbak, nasi goreng dua. Teh hangat dua."
"Siap," jawab penjual kantin.
Pandangan Zea masih kosong. Dia tak sudi menatap Zafran. Setiap waktu, menit, bahkan detik, dia selalu mengganggu dirinya jika bertemu. Persis seperti tom and jerry. Walaupun bisa akur, hanya beberapa menit saja. Tetap saja sikap jahil Zafran yang lebih dominan dan rasa sebal Zea juga yang dominan.
"Dua hari lagi anniversary sekolah. Ntar ada lomba basket khusus yang putri antar jurusan. Gue yakin jurusan IPS yang bakal menang. Karena jurusan IPS itu terkenal non-akademiknya," ujar Zafran membanggakan jurusannya.
Seketika itu mata Zea membulat sempurna menandakan tak terima. Secara tidak langsung, Zafran sudah menghina jurusannya. Dia terus menatap Zafran tak suka.
"Jangan songong dulu lo! Kalau jurusan lo menang, gue bakal nurutin apa saja permintaan lo selama satu bulan dan kalau jurusan gue yang menang, lo juga harus nurutin apa saja permintaan gue selama satu bulan," ujar Zea menantang Zafran.
"Permisi, ini nasi gorengnya dan ini teh hangatnya," ujar penjual kantin.
"Iya, makasih, Mbak," jawab Zea tersenyum.
Zea memberikan nasi goreng dan teh hangat itu kepada Zafran. Tanpa dia sadari, Zafran memandangnya sambil terkekeh. "Lo kalau gitu sudah pantas jadi istri gue, hahaha."
"Makan tuh istri," jawab Zea menyumpal mulut Zafran yang sedang tertawa menggunakan nasi goreng.
"Bilang saja lo mau suap-suapan kayak di sinetron sama dinovel-novel gitu kan?"
"Apaan?! Sok banget jadi orang. Gimana tantangannya?" tanyanya lagi agar Zafran tidak terus menyebalkan.
"Gue sih oke aja."
"Oke, kalau gitu. Gue nggak takut!"
"Gini ya, Ze. Bukannya sombong, gue tetap yakin kalau kelas gue yang bakal menang."
"Gini ya, Zaf. Bukannya gue mau sombong juga. Kalau pingin menang? Ikut main pertandingan dong. Ya kali berharap menang tapi nggak ikut."
"Sekali lagi gue mau ngingetin Lo. Gue ini ketua OSIS, wajar dong kalau gue nggak ikut pertandingan. Gue panitianya."
"Beli tomat beli pepaya, bodoamat emang gue nanya?!"
"Iya, ayo makan. Gue tahu Lo sudah lapar," jawab Zafran tidak nyambung.
Mereka berdua mulai memakan nasi goreng. Termasuk Zafran, dia sibuk dengan nasi goreng yang ada di depannya. Namun lain dengan Zea, saat dia baru memakan satu suapan, dia merasakan ada sesuatu yang aneh.
Kepalanya terasa berdenyut. Perutnya juga sedikit mual. Selera makannya langsung hilang. Tiba-tiba juga dia merasakan ada sesuatu yang keluar dari hidung. Tangan kirinya mengusap bagian di bawah hidung.
"Darah?" Bantinnya. Kemudian menatap Zafran yang masih sibuk memakan nasi goreng.
Sesegera mungkin dia menutup hidungnya agar Zafran tidak mengetahui itu. Sedikit demi sedikit Zea berusaha mengambil tasnya dan mengambil posisi keluar dari kantin dengan mudah. Setelah dirasa sudah berhasil, dia berlari meninggalkan Zafran untuk menuju kamar mandi.
"Zea, lo mau kemana?!" teriaknya kemudian melanjutkan makan. "Bodoamat lah dia mau kemana. Daripada maknannya mubazir."
Dalam batin Zea terus menyemangati dirinya sendiri agar tidak pingsan lagi. Dia tidak mau membuat seseorang disekitarnya curiga. Karena yang dia inginkan adalah ketenangan.
"Sakit banget," rintih Zea lirih saat sudah berhasil masuk ke dalam kamar mandi.
Dia segera mencari obatnya di dalam tas. Sebenarnya obat yang di belikan Ana tidak dia minum. Dia hanya menggunakan cara itu agar Ana tidak banyak tanya dan cerewet.
Setelah menemukan obat itu, dia segera meminumnya. Untung saja masih ada sisa air putih yang diberikan Ana tadi pagi.
"Obatnya sudah mau habis, gue harus menghubungi Dian."
Dia segera mengambil ponselnya untuk menghubungi Dian. "Hallo Dian, jemput gue pulang sekolah ya," ujarnya lewat telephone.
"Oke. Nanti kabarin gue kalau Lo sudah pulang."
Zea mematikan handphone nya setelah mendapat jawaban dari Dian. "Gue harus kuat nggak boleh lemah, gue harus tetap berjuang," batinnya.