Chereads / Really I Want / Chapter 23 - Chapter 22

Chapter 23 - Chapter 22

"Dian, kamu mau kemana? Kok makannya kelihatan buru-buru banget? Lagian kenapa nggak ganti baju dulu sih?" tanya Arini, ibu Dian.

"Dian lupa, Ma. Dian sudah ada janji sama Zea."

Hampir satu jam, Dian lupa dengan janjinya. Seharusnya setelah pulang sekolah, dia menjemput Zea dulu, bukan malah pulang ke rumah. Mau bagaimanapun Dia yakin pasti Zea sudah lama menunggu.

"Memangnya mau kemana sama Zea?"

"Nggak tahu. Tadi dia bilang di telephone mau minta jemput pulang sekolah."

"Oh, gitu."

Setelah selesai makan, Dian segera mengambil jaketnya dan kemudian berlari untuk mengambil Kunci motor. Dia tidak ingin Zea semakin menunggu lama. Dia tahu pasti bahwa Zea itu tipe orang yang tidak suka menunggu terlalu lama.

"Aku berangkat dulu, Ma!"

"Nggak ganti baju dulu, Dian?!"

"Nggak, Ma. Sudah telat!" jawabnya berteriak saat membuka pintu rumah.

***

Suasana lingkungan sekolah sudah terlihat sepi. Zea bolak balik seperti setrika dan sesekali dia mengecek ponselnya. Dia sudah capek menunggu tanpa kabar. Sebab Dian sulit untuk dihubungi. Dia menghela napas kasar. Dia melihat jam di ponselnya sudah menunjukan pukul 17.00. Akhirnya dia memutuskan untuk pulang dengan jalan kaki. 

Baru saja 11 langkah dia berjalan, ada suara yang memanggil dirinya. Dia membalikan badan. Rasa kesalnya seketika hilang. Zea menghampiri pria itu.

"Lama banget sih?" tanyanya sambil tersenyum.

"Maaf banget, Ze, tadi gue lupa," jawab Dian memasang wajah memelas agar tidak kena semprot Zea.

"Santai saja kali."

Dian menjadi bengong dan curiga dengan Zea. Padahal dia tahu bahwa Zea tidak segan-segan memarahi orang yang suka telat jika ada janji dengannya. Justru hari ini dia terlihat biasa saja tanpa ada marah-marah sedikit pun.

Dengan begitu, Dian semakin curiga melihat wajah Zea. Dia terus memperhatikan Zea yang masih memandangnya. Sampai akhirnya dia tahu kondisi Zea.

"Ze, kok lo kayak kelihatan pucet gitu?" tanya Dian menangkup kedua pipi Zea sambil membolak baliknya ke kanan dan ke kiri.

Zea segera menghempaskan kedua tangan Dian. Dia paling tidak suka jika dirinya ada yang curiga. "Gue nggak apa-apa. Anterin gue ke rumah lo. Gue ada perlu sama orang tua lo."

"Emang ada apa?"

"Nggak usah banyak bacot deh," jawabnya langsung naik ke motor vario techno milik Dian.

Jika Zea sudah mulai judes, Dian lebih memilih untuk diam dan mengalah. Sejak kecil mereka berdua memang sudah akrab. Sehingga keduanya sudah saling memahami. Namun jika Dian yang sedang ngambek, Zea pasti akan mengejeknya terus menerus sambil menghibur Dian dengan tingkah konyolnya.

Mereka berdua sama-sama diam saat di perjalanan. Hanya suara anginlah yang mereka dengar. Hingga tanpa terasa mereka berdua sudah sampai di depan rumah Dian.

Saat akan memasuki halaman rumah, Zea segera turun dari motor itu. Dia meninggalkan Dian yang masih memarkirkan motor di garasi rumah. Dengan rasa percaya diri, dia memasuki rumah Dian tanpa dipersilahkan.

"Assalamualaikum, Tante! Zea main ke rumah!" teriaknya saat melihat Arini sedang menonton televisi.

"Waalaikumsalam, Zea. Kamu ini bikin kaget saja," jawab Arini.

"Hehehe." Lalu dia mencium tangan Arini sambil terkekeh.

"Om Andi kemana, Tan?"

"Belum pulang, paling bentar lagi pulang."

Zea hanya menganggukan kepala. Dia menatap di sekeliling rumah itu. Tatanannya masih tetap seperti dulu, terutama ciri khas temboknya selalu berwarna putih. Mereka bilang warna putih itu melambangkan kesucian. Karena itu mereka berharap keluarganya akan selalu nyaman dan harmonis tanpa ada masalah seperti cat warna putih itu.

"Aw!" teriak Zea saat merasakan kepalanya dijitak.

"Dasar nggak punya malu. Gue tuan rumahnya, lo itu tamu, jadi gue dulu yang masuk, bukan lo dulu," cerocos Dian yang tiba-tiba datang.

"Yaudah sih biarin. Emang dari dulu gue gini, lo saja yang ribet! Lagian Tante Arini juga nggak apa-apa."

"Gue kasih tahu lo biar tahu sopan santun. Dasar bego!"

"Makanya gue disekolahin biar nggak bego dan lo nggak perlu nyolot terus, gue minta maaf."

"Nah, gitu dong," ujar Dian menangkup kedua pipi Zea sampai bibirnya mengerucut.

Setelah itu Dian langsung berlari menuju kamarnya. Sebab dia yakin, Zea pasti akan marah-marah. Dia memutuskan untuk mandi terlebih dahulu. Sedangkan Arini yang melihat tingkah mereka hanya menggelengkan kepala. Mereka berdua sering ribut, padahal endingnya pasti bakal tertawa. Menyia-nyiakan waktu saja.

"Dian! Sakit tahu! Dasar cowo nyebelin!" teriak Zea membuat Dian terkekeh sendiri.

"Sudah-sudah nggak usah ribut. Gimana kesehatan kamu? Sudah membaik?" tanya Arini membuat Zea menjadi sedih.

Zea hanya menundukkan kepala. Dia merenungi nasibnya. Sejak kecil, dia sudah rapuh, hidupnya hancur, kebahagiaannya hancur. Hanya Arini dan Andi yang mengetahui semua hidupnya. Zea sudah yakin dan menaruh kepercayaan kepada Arini dan Andi. Karena itu Zea menganggap mereka seperti orang tuanya sendiri.

Sudah 4 tahun lamanya, Zea berusaha untuk hidup mandiri dengan sisa-sisa uang di tabungannya. Sebab uang jajan yang diberikan Diana dua puluh ribu rupiah per hari. Padahal Arini dan Andi meminta agar Zea mau menerima uang pemberiannya. Namun tetap saja, Zea adalah seseorang yang keras kepala. Dia hanya tidak ingin terlalu banyak merepotkan orang lain.

Mau bagaimana pun intinya tetap sama. Suatu saat nanti semua orang pasti akan mengalami kehidupan yang sesungguhnya. Kehidupan yang pahit dan kejam. Masalah yang terus berantai-rantai. Mungkin saat kecil kita sudah pernah mempunyai masalah, tapi kita hanya merasa biasa saja. Namun tidak saat sudah menginjak dewasa, semua itu akan terasa sakit.

Tanpa sadar Zea sudah menitikkan mata. Sungguh dirinya sudah tak sanggup. Andai saja waktu bisa berhenti sejenak, Zea akan memprogram waktu yang akan datang agar dirinya tidak menghadapi kepahitan dunia lagi.

"Zea, kenapa kamu nangis?"

"Zea bingung, Tante. Zea nggak kuat. Zea selalu sendiri, nggak ada yang bisa ngertiin perasaan Zea. Apa salah jika Zea hanya meminta kasih sayang sama Bunda? Zea capek, Zea selalu nggak dianggap. Kenapa sih Bunda selalu benci Zea?  Bunda selalu nyebut Zea sebagai anak haram dan anak pembawa sial. Zea, Zea--"

"Sst, udah jangan nangis lagi. Kamu bisa ceritain keluh kesah kamu sama Tante atau Om. Tante sayang sama kamu. Jangan pernah kamu merasa sendiri. Masih ada Tante, Om, dan Dian."

"Tapi aku bingung, Tan. Tabunganku masih sedikit. Sudah nggak bisa buat bayar biaya pengobatan, cuma bisa buat beli obat satu kali saja mungkin. Aku sudah nggak sanggup menanggung biaya berobatku sendiri, aku nggak tahu harus gimana lagi. Aku hanya selalu berdo'a dan pasrah kepada Allah. Kalaupun nyawaku mau diambil, aku sudah ikhlas. Aku--"

Arini ikut menitikkan air mata. Dia tidak tega melihat kondisi Zea. Jika Zea mau, dirinya akan mengangkat Zea sebagai anak berhubung anaknya hanya satu, Dian. Namun Zea selalu menolaknya. Katanya dia ingin membahagiakan orang tuanya walaupun dirinya selalu diabaikan. Karena membahagiakan orang tua adalah balas budinya sebagai anak.

Arini menangkup kedua pipi Zea dengan kedua tangannya. Dia menatap Zea yang terus menunduk dan menangis. "Zea, tatap mata Tante." Zea menuruti permintaan Arini. "Zea jangan ngomong gitu lagi. Zea harus kuat, dimana Zea yang benci air mata? Dimana Zea yang suka mengejek Dian kalau Dian lagi nangis? Kamu harus kuat, kamu nggak boleh lemah."

Arini tersenyum tulus, begitu juga dengan Zea. "Kamu jangan nangis lagi. Kamu harus tetap jadi Zea yang dulu. Kamu nggak usah mikirin biaya pengobatan kamu. Biar Tante sama Om yang ngurus itu semua. Kamu itu sudah tante Anggap seperti anak tante sendiri. Tante saya sama Zea."

"Makasih, Tante," ujar Zea, kemudian langsung berhambur ke pelukan Arini.