//Novi//
"Huff.. huff.."
Tubuhku terasa panas, dadaku terasa sesak, dan kepalaku pening. Aku bisa gila kalau begini terus, tanganku gemetar walau aku hanya mengangkatnya. Rasanya aku begitu lemah.
"Huff.. huff.."
Aku tidak bisa melihat dengan jelas. Mataku begitu perih. Hiks.. aku menangis.
"Sayang! Ada aku ok? Kamu butuh apa?!"
Sejak bersamanya, aku selalu tertimpa masalah. Masalah kali ini lebih berat dari yang kukira, menguras pikiranku habis habisan. Harusnua kutolak saja lamarannya itu.
Tapi saat aku melihat sorot matanya. Dia terlihat begitu menyedihkan. Dia meraih tanganku lalu menundukkan kepalanya "Maaf.. aku membuatmu terlibat.."
Biar pun minta maaf, tetap tidak bisa mengubah apa pun image-ku juga sudah hancur. Aku ingin membencinya, tapi saat melihatnya sekali lagi, aku mewurungkannya.
Robert pernah bercerita soal masa lalu suamiku itu, setelah mendengarnya. Aku mau menikahinya. Apa aku terlalu mudah terpengaruh dan mengasihaninya?! Aku menangis tanpa mengatakan apa pun, tubuhku sangat sakit. Ini pertama kalinya batinku tersiksa seperti ini.
Di kampus mereka mengolok olokku sebagai pelakor bahkan mereka sampai demo untuk mengeluarkanku, mengurungku di toilet lalu menyiramku dengan air pel, dan merusak motorku. Belum lagi DM Instagram yang penuh caci maki, dan komentar di setiap foto yang kuposting.
Itu semua karna pria ini! Itu semua karnanya! Aku sangat membencinya!
"Minum obatmu biar kusuapi" dia membantuku minum obat tapi aku menepisnya. Dia terdiam.
"Pergi—huff huff.."
"Tapi kamu—"
"SANA PERGI SIALAN!!! PEMBAWA SIAL!!! KAMU SUDAH MENGHANCURKAN HIDUPKU! APA ITU KURANG HAH?!"
Aku terteriak sekuat tenagaku karna aku terlalu marah. Sudah, aku tidak peduli lagi pada semua yang dikatakan Robert. Orang kaya sepertinya mana tahu rasanya jadi orang miskin?!
Dia menghela napas lalu membersihkan obat yang tadi kubuang "Akan kusuruh Ryan memeriksamu nanti minumlah obatnya dulu"
"Lebih baik mati kan..?!"
"Jangan bicara sembarangan!"
"KUBILANG PERGI!!!"
"..." dia langsung saja pergi dan aku jatuh ke kasurku lagi lalu semua jadi gelap.
Saat aku membuka mataku, aku sudah berada di rumah sakit. Ada Nino yang menjagaku, syukurlah "Nino.."
"Hm? Novi, apa yang terjadi padamu dan Marcel?"
"Aku.. tidak tahu.."
"Marcel terlihat sangat khawatir padamu. Dia tidak mau memakan apa pun dari tadi, katakan padaku. Ada apa?"
"Bantu aku duduk" Nino membantuku duduk dan memberiku gelas berisi air. Setelah meminumnya aku menceritakan semua ke Nino hingga aku menangis. Aku bercerita semua termasuk rasa penyesalanku telah menikah dengan Marcel.
Mendengar itu, Nino juga sedih. Yang hanya dilakukannya hanyalah mengelus rambutku saja "Aku tidak bisa berkata apa apa, aku cuma bisa menasihatimu karna kamu kembaranku"
"Apa? Kamu mau bilang aku nggak boleh bilang seperti itu pada Marcel?! Kalau saja aku nggak mengenalnya, nggak mungkin kan aku sesial ini?!"
"Nggak ada yang namanya sial di dunia ini. Jangan menyumpahi suamimu seperti itu"
"Kamu—"
"Aku nggak membenarkan siapa pun, karna suamimu juga sudah berjuang mati matian menutup semua skandal itu. Berterima kasihlah padanya, dia juga yang kewalahan sendiri saat kamu sakit. Kamu tahu kan perkataanmu padanya kemarin itu sedurhaka apa?"
Aku terdiam sambil meremas gelasku "Dia.. aku nggak pernah sekali pun mau jadi istrinya. Aku cuma kasihan padanya saat itu"
"Novi.."
Nino menggenggam tanganku erat lalu memelukku "Maaf, kalau saja aku ikut denganmu ke pernikahan Zico, kamu pasti nggak akan semenderita ini. Maafkan aku"
Kata Nino aku tertidur seharian lamanya dan selama itu juga Marcel berjuang sendiri menutup skandal. Mulai dari meretas internet, mengadakan klarifikasi, hingga mengajukan tuntutan pidana pada siapa saja yang terlibat dengan bukti yang kuat.
Nino juga menyebutkan siapa saja yang terlibat, di antara lain ada Nana. Aku awalnya marah tapi Nino menjelaskan seluruh buktinya. Nana mengkhianatiku.
Setelah Nino pulang, Marcel datang dengan mata sayu seperti tidak istirahat cukup, bibirnya juga mengering apa mungkin dia dehidrasi? Tapi raut wajahnya masih tetap hangat padaku. Dia juga membawakanku makan malam, walau jelas kutolak mentah mentah.
"Aku sudah menutup skandalnya dan akan mempublikasikan pernikahan kita. Ah maaf tidak mendiskusikannya padamu, acara resepsinya akan dilakukan bulan ini. Tepatnya tanggal 21 Februari"
Aku menatapnya dengan dingin lalu menjawabnya "Aku mau pisah"
Bruk
Dia menjatuhkan makanan yang dibawanya itu. Tatapannya kosong dan sangat terkejut pastinya. Aku turun dari kasurku sambil memakai jaket lalu pergi ke balkon.
"Kita akhiri saja semuanya, aku mau hidupku tenang seperti dulu. Maaf"
"Sa..."
"Jangan memanggilku itu lagi, mulai sekarang—aku bukan istrimu. Kamu bisa menceraikanku sekarang"
"MANA MUNGKIN?! AKU TIDAK BISA MELAKUKANNYA!!! TARIK UCAPANMU! AKU MOHON—"
"Apa? Ucapan apa yang harus kutarik. Sejak denganmu, hidupku jadi kacau. Aku terkena skandal senasional, semua orang mengataiku pelakor. Itu semua karna siapa?! KARNAMU KAN?!"
Dia hanya diam begitu pun aku di balkon. Aku melirik ke arah lantai bawah, kamarku ada di lantai empat. Apa aku harus menggunakan cara bodoh untuk bebas darinya?
"Jangan berpikir kalau kamu loncat. Akan kulakukan sesuai permintaanmu. Apa pun itu—" dia pergi begitu saja. Tapi kenapa dadaku terasa sakit melihatnya?
Keesokan paginya, Nino membangunkanku dengan sangat panik "Ada apa?!"
"Marcel—dia kecelakaan!"
Aku duduk lalu menarik kerah baju Nino "Katakan lagi!"
"DASAR BODOH! DIA SEKARAT!!!"
"Se-sekarat..?"
Nino melepaskan tanganku lalu menggenggamnya "Dengar, apa yang terjadi saat aku pulang?! Kalian bertengkar hebat huh?!"
"Aku.."
"Novi, sekarang kamu tahu dampak dari keegoisanmu? Nenek sering marah padamu karna ini, dan Marcel adalah korban darinya. Aku sudah bilang kan untuk jaga mulutmu!"
Tubuhku bergetar, semalam dia hanya mengatakan agar aku tidak berpikiran untuk bunuh diri dan dia akan menuruti semua perkataanku. Tapi kenapa ini rasanya tidak adil?!
Aku masih ingat wajahnya saat datang semalam dan saat dia pergi. Tapi bukan berarti itu saat terakhirku melihatnya kan?!
"A-apa yang kulakukan..?"
"Sudah sadar apa yang kamu lakukan dengan egoismu?!"
"Nino.. aku.."
"Dasar bodoh! Makanya kalau ngomong dipikir dulu dong!!!" Nino memelukku yang saat itu menangis keras.
Dia tidak boleh mati seperti ini, aku belum mengucapkan selamat tinggal dengan benar. Aku belum jadi istri yang baik untuknya. Kutarik semua kata kataku! Aku mau dia kembali di sisiku! Aku mohon..
***
//Marcel//
"Apa? Ucapan apa yang harus kutarik. Sejak denganmu, hidupku jadi kacau. Aku terkena skandal senasional, semua orang mengataiku pelakor. Itu semua karna siapa?! KARNAMU KAN?!"
Apa aku memang bawa sial sejak lahir? Ibu meninggalkanku juga saat aku lahir di dunia dan memberikanku ke seorang wanita jahat yang menyiksaku. Dad juga, setelah membawaku ke rumahnya perusahaan jadi mulai bangkrut. Mom kehilangan Kak Mike dan juga Dad yang jadi tukang selingkuh.
Sekarang istriku jadi kena skandal karnaku dan juga terkena bully dari orang senega. Aku memukul setir mobilku berulang kali. Kenapa aku lahir dengan membawa sejuta kesialan bagi orang di sekitarku?!
Melihat Novi yang sudah putus asa seperti itu, apa lebih baik aku yang mengakhiri hidupku? Itu benar, mungkin lebih baik aku yang mengakhiri hidupku. Untuk apa aku hidup kalau orang terdekatku kena sial. Mungkin dengan kematianku, mereka bisa selamat dari kesialan.
Aku menginjak gas mobilku dan menabrakannya ke kereta yang melaju. Itu rencanaku, semoga ini bisa mengakhiri semuanya.
"Aku mencintaimu, istriku—"
BRAAAAKK
pip.. pip.. pip..
Setelah sekian lama hening, aku bisa mendengar suara juga. Suara yang seperti alat rumah sakit. Aku juga bisa merasakan napasku. Apa aku masih diberi kehidupan? Tapi kenapa?
Pip.. pip.. pip..
Aku tidak ingin hidup dan membuat orang lain sial. Suara itu semakin terasa keras bersamaan dengan suara orang orang yang terasa panik. Ugh, kesadaranku mulai kembali rupanya. Padahal kecelakaan seperti itu, harusnya aku sudah meregang nyawa di tempat.
"Hiks.. hiks.. maafkan aku.. maaf.."
Suara itu, suara yang sangat familier. Suara wanita yang kutolong saat di pesta pernikahan Zico. Wanita yang jadi istriku. Apa dia yang meminta kehidupan untukku? Kalau iya, kenapa? Apa dia bisa mendengarku?
Samar samar aku bisa melihat terang lampu di sebuah ruangan. Tidak itu seperti di atasku. Ada sepasang tangan lembut dan hangat yang menyelimuti tanganku.
"Ugh.."
"MARCEL—"
Aku melirik ke arah suara itu. Apa benar itu wanita yang sangat kucintai? Sial, baru sebulan kenal dia bisa membuatku mabuk cinta padanya. Dia mengecup pipiku lalu mengelus rambutku.
"Maafkan aku, aku tarik semua perkataanku. Maafkan aku..."
Aku senyum di tengah tubuhku yang mulai terasa sangat sakit. Aku ingat saat itu mobilku terdorong oleh lokomotif kereta hingga mobilku menabrak dinding pos dan menghancurkan bagian depannya. Tapi aneh, secara tiba tiba aku melompat keluar sebelum mobilku hancur. Aku terjatuh dengan luka serius di kaki dan kepalaku karna aku terlempar dari mobil.
Ah jadi aku belum sepenuhnya mau mati.
"Aku.. belum mati.."
"Apa yang kamu katakan? Kamu bilang padaku buat nggak coba bunuh diri, tapi kamu malah mau bunuh diri. Marcel, tolong jangan lakukan itu lagi"
Aku menggenggam tangannya lalu senyum "Iya.."
Setelah seminggu dirawat, keadaanku berangsur membaik walau kakiku mengalami patah tulang dan agak pincang kurang lebih 3 bulan. Tapi tidak apa, toh aku tetap bisa kok mengadakan acara resepsiku.
"Marcel, aku meminta pihak wedding organizer untuk menunda resepsi pernikahan kita jadi di bulan Maret. Jangan khawatir soal aku lagi, aku sudah memutuskan untuk keluar—"
"Tidak. Kamu harus tetap menempuh pendidikan itu, itu kan apa yang diusahakan Nenek dulu"
"Tapi.."
"Nggak apa, aku akan mengaturnya. Percayakan padaku?"
Dia senyum lalu mengangguk "Iya aku percaya. Tapi cepatlah pulih. Aku nggak tega melihatmu seperti ini"
"Nggak tega atau malah senang? Bukannya kalau aku sakit begini kamu bebas melakukan apa saja?"
"Siapa bilang? Nih minum obatmu" dia memberiku segelas air hangat dan obat obatan yang harus kukonsumsi.
"Sebenarnya tanpa obat aku bisa sembuh"
"Jangan menggombal lagi, gombalanmu itu nggak romantis"
Setelah minum obat, dia menyuruhku tidur seperti biasa dan dia akan membaca buku sambil menungguku bangun nanti. Hari demi hari aku kembali dirawat, kali ini aku belajar berjalan lagi. Mana mungkin aku terus terusan menggunakan kursi roda.
"Aku mau tongkat!"
"Iya..?"
"Pokoknya aku mau pakai tongkat saja, aku nggak mau pakai kursi roda"
"Aku akan menyuruh Ian membelinya nanti, bosnya kena penyakit manula. Tulang keropos—"
"Jangan membuat lelucon parah"
Dia hanya tertawa lalu memelukku "AAAAKKHHH!!! DADAKU SAKIT!!!!"
Aku yang berteriak tadi. Kata dokter ada tulang rusukku yang patah karna kecelakaan itu, dan istriku dengan polosnya memelukku erat. Tepat di luka itu. Dia mengusap pipiku dan meminta maaf.
Aku kembali bekerja setelah sebulan dari hari dimana aku kecelakaan, kakiku juga sudah bisa berjalan agak normal. Walau rasanya sangat nyeri. Hari pertamaku bekerja, para pegawaiku memberiki buah buahan, bucket bunga, hingga hadiah. Novi dan Nana memutus hubungan persahabatan dan aku menculiknya sambil terus memaksa siapa pelakunya.
Sebelum sempat mengucapkan siapa pelakunya, Nana dibunuh dengan sadis. Aku tidak mengerti apa maksud teror itu. Tapi untuk saat ini, semua masalah mulai mereda. Skandal itu lama lama menghilang dan diganti dengan gossip yang baru dari artis lainnya.
"Nah, aku membuat lava cake oreo"
"Hng? Lava cake?"
"Iya. Kan aku dulu bekerja di toko kue"
Aku tertawa saat melihat tingkah lucunya di rumah kami ini. Dia sudah sepenuhnya menarik kata katanya dan melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Saat dia menyatakan perasaan bahagianya karna memilikiku, aku merasa tersentuh.
Dulu Sasha sempat menyatakan hal yang sama, karna saat itu memang kami saling membutuhkan satu sama lain. Saat Sasha harus mengenyam pendidikan di Irlandia sejak kelas 1 SMP, aku sangat sedih. Itu kali pertamaku dan Sasha dipisahkan. Bagiku dia adalah keluargaku satu satunya yang kumiliki.
Sasha pergi saat aku menginjak kelas 2 SMA dan selama setahun, Mom menyiksaku habis habisan. Dad yang tidak peduli sama sekali dan selalu membawa wanita pulang setiap malamnya. Bukan hanya saat itu, tapi sejak kematian Kak Mike.
Mom yang setres selalu melampiaskannya padaku dengan berbagai macam siksaan. Aku membuka bajuku di kamarku dan melihat tubuhku. Ada banyak luka dari masa kecilku yang belum pulih. Lalu luka baru karna kecelakaan kemarin. Aku menghela napas lalu memakai lagi bajuku saat istriku datang.
"Dih buka buka baju, sok ide banget. Perut one pack seperti itu nggak usah dipamerin dong".
"One pack katamu?"
"Iya. Tuh nggak ada roti sobeknya. Nggak asyik—"
Aku membuka bajuku lagi dan membuangnya sembarangan "Aku yakin di perutku ada roti sobek yang kamu mau"
"Heeehhh... K-kenapa jadi begini..??"
"Kenapa..? Tanya pada dirimu Sayang" aku mencium bibirnya sambil menindihnya di bawahku. Sejak kejadian itu, kami mulai menjadi pasangan vulgar. Walau sudah jelas kami tidak menginginkan anak terlebih dahulu.
Dia juga tidak mengizinkanku menyentuh organ terintimnya, walau sebenarnya itu memanglah hakku. Tapi dia berjanji akan memberikannya saat dia sudah siap nanti. 24 tahun mungkin terlalu muda untuknya memiliki anak. Tapi bukan berarti dia menolak juga untuk memilikinya.
Tangannya meraba luka di dadaku lalu menatapku "Marcel.. maafkan aku.."
Aku hanya senyum. Luka itu bukan sepenuhnya salahnya. Malah itu adalah salahku. Tapi untuk malam ini, aku tidak yakin ingin berdebat dengannya jadi abaikan saja. Aku meraih tangannya lalu senyum.
"Lupakan itu"
"Baik. Bagaima kalau aku memberimu hadiah..?"
"Hadiah?"
Dia mengangguk lalu menyuruhku menunggunya. Aku hanya tertawa dan mengiyakannya lalu dia pergi mengambil hadiahnya. Aku penasaran apa yang akan diberikannya padaku.
To be Continue.