//Novi//
Akhir akhir ini Marcel lebih tenang, tidak banyak bicara, dan sering membelikanku kue lemon. Aku suka kue lemon, tapi aku tidak nyaman dengan perubahannya yang drastis. Setiap kali, aku pulang kuliah dan ke kantornya, dia selalu menyuruhku belajar dan belajar padahal aku sudah selesai ujian.
Selain itu, Marcel juga jadi sedikit murung. Apa dia masih memikirkan soal cincin pertunanganku dan Zico itu? Pastinya sih. Tapi kenapa Zico mencariku?! Apa dia mau membunuhku—tidak juga.
Saat itu wajahnya seperti terkejut melihatku, matanya terlihat berkaca kaca seolah dia memang merindukanku. Aku menghela napas lalu memakan kue lemonku sambil terus berpikir. Bagaimana bisa ada masalah seperti ini padahal masalah soal Adelia baru selesai bulan kemarin.
Hm.. Mei memanglah bulan yang penuh cobaan ya. Aku melihat buku bukuku lalu memakan kue lemonku lagi. Aku kangen Marcel yang hangat. Aku menaruh sepotong kue lemon di meja kerjanya lalu menunggunya kembali dari rapat. Karna Ian juga ikut rapat, aku sendirian deh. Menyebalkan.
Ceklek
"Huh.. sudahlah, katakan saja pada perusahaan itu kalau aku menolak!"
"T-tuan.."
"Kamu mau membantahku?!"
"Tidak. Saya permisi dulu"
Marcel masuk dan menghempaskan dirinya ke sofa, tepatnya dia duduk di sampingku. Menurutku dia jadi sedikit paranoid. Aku menepuk bahunya pelan lalu menanyakan apa yang terjadi. Dia hanya diam.
"Marcel, kamu mendiamkanku beberapa hari. Kamu nggak apa? Kenapa kamu mendiamkanku?"
"Nggak apa"
"Bukan itu jawaban—"
"Aku bilang aku nggak apa! Kalau nggak percaya tanya saja Ian. Keluarlah, aku mau sendiri" aku berdiri lalu keluar ruang kerjanya itu sambil menghela napas.
"Ian, tuanmu kenapa?"
"Dia sedikit gila karna takut kalau kamu belum bisa move on dari Kak Zico. Dia memikirkan itu sepanjang hari. Padahal aku sudah bilang kalau kalian tidak ada hubungan lagi"
"Eung.."
"Kalau dia profesional dan nggak bawa bawa ke pekerjaan nggak masalah. Tapi dia terus mengomel selama kamu kuliah, dia juga membuat keputusan tergesa gesa tanpa berpikir apa dampaknya. Duh, kamu harus turun tangan"
"Ian.. apa tujuan Kak Zico datang? Marcel pasti sudah menyuruhmu cari tahu"
"Tujuannya hanya liburan!"
"Liburan toh.."
Aku masuk ke dalam ruang kerja Marcel dan menamukannya terlihat menyedihkan itu. Aku terdiam lalu mendekatinya tapi dia mengusirku. Tentu saja aku tidak mau pergi. Aku tidak bisa melihatnya seperti ini terus, karna keegoisanku kemarin. Aku tidak mau membuka semuanya pada Marcel. Sekarang, aku harus mau memberitahunya.
"Kita ke taman yuk, aku ingin menceritakan sesuatu"
Kami pergi ke taman berdua, dia memang jadi lebih dingin tapi bukan berarti dia tidak peduli padaku. Dia membelikanku es krim dan mengosongkan waktunya untukku.
"Biar kamu sedang marah padaku, tapi kamu tetap peduli padaku. Aku senang sekali"
"Sudah kewajibanku peduli padamu"
Aku menyodorkan es krimku padanya "Cobalah, ini enak kok"
"E-enggak—"
"Sudahlah—"
"Sayang, iya iya tapi jangan mendorongku"
"Eh?!"
Aku baru sadar kalau aku mendorongnya ke belakang dan dia hampir hilang keseimbangan. Dengan cepat aku menghentikan aksiku itu dan menyuruhnya mencoba es krimku. Dia mencobanya sedikit lalu mengatakan es krimnya enak.
"Marcel, kita duduk situ ya" aku menarik tangannya dan kami dudul berdua di bangku taman itu. Saat aku sibuk menikmati es krimku, aku melirik ke arahnya yang seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Marcel..? Ada yang mengganjal di pikiranmu? Katakanlah"
"Enggak. Cuma ada beberapa hal yang masih membuatku ragu"
Benar kata Ian, dia sedang memikirkan soal hubunganku dan Zico dulu. Pasti sulit baginya karna sebagaimana pun, Zico adalah musuhnya dan aku adalah mantannya. Mungkin dia berpikir kalau menikah denganku sudah jelas nama baiknya terancam, karna dianggap memungut apa yang sudah dibuang musuhnya.
"Ragu soal apa? Aku?"
Dia melirik ke arahku lalu menghela napas "Bagaimana nilai ujianmu?"
"Lumayan. Marcel, jawab pertanyaanku sekali saja. Apa kamu ragu padaku?"
"Iya"
"Kupikir juga begitu, apa kamu sekarang juga berpikir dengan menikahiku kamu sama saja memungut apa yang dibuang oleh Kak Zico? Dan karna itu harga dirimu jatuh"
"Kenapa kamu berpikir begitu? Aku nggak berpikir seperti itu"
"Lalu apa?"
Dia terdiam. Aku menelan ludahku, sial aku nggak boleh lari lagi. Kalau aku pergi, aku nggak bisa mempertahankan hubunganku dengannya. Aku nggak mau kehilangannya.
"Jangan menangis" dia mengusap pipiku yang basah air mata lalu mengusap rambutku.
"Akan kujawab. Kadang aku berpikir begitu, tapi setelah kupikir ulang, kamu adalah batu permata. Tidak, kamu adalah harta paling berharga yang dibuang Zico seenaknya. Tapi percayalah, tidak pernah sekali pun terbesit di pikiranku kalau kamu membuat harga diriku jatuh"
"Lalu ragu karna apa..?"
Dia menatap mataku dan aku menatapnya. Mata abu abunya terlihat begitu terang di bawah sinar matahari. Perlahan dia mengatakan hal yang membuatku ragu juga "Apa aku punya tempat di hatimu?"
Tempat?
Selama ini dia tidak pernah kuanggap suami sesungguhnya. Bagiku dia hanyalah sahabatku yang menemaniku saat sedih dan senang. Atau bahkan hanyalah orang yang melindungiku dengan sebuah armor. Tapi sekarang, dia menanyakan soal isi hatiku.
Percaya atau tidak, aku sudah membekukan hatiku dan menutupnya untuk siapa pun itu. Dan tiba tiba dia datang dan mengetuknya atau dia berusaha mencairkannya lagi. Tapi entahlah, aku tidak yakin apa aku bisa memberinya 'tempat' di dalam hatiku.
Suasana jadi hening begitu saja. Hembusan angin sisa hujan juga berhembus begitu saja. Aneh tahun ini hujan terasa sangat panjang tapi ini pertama kalinya, aku merasa bingung pada diriku sendiri.
"Begitu ya.."
"..."
Marcel berdiri lalu berjalan duluan meninggalkanku "Cepat masuk ke kantor, sepertinya akan turun hujan lagi"
Apa yang harus kukatakan? Aku membuang es krimku lalu berlari ke arahnya dan memeluknya dari belakang. Ayo Novi katakan—katakan apa yang harus kamu katakan.
"Ada apa? Aku kadang bertanya tanya, apa yang membuatmu mencintai pria seperti Zico? Kamu tahu kalau dia selingkuh, kamu juga tahu kalau dia kasar dan memanfaatkanmu saja. Lalu kenapa kamu masih bertahan selama itu?!"
"Lalu.. apa kamu tidak pernah melihatku sedikit pun? Aku tepat di depanmu, tapi kamu seperti tidak pernah melihatku. Dan kamu bahkan membekukan hatimu sendiri?! Kenapa? Apa aku melakukan kesalahan? Jika iya, apa aku tidak bisa diberi kesempatan sekali lagi?!"
Dia menggenggam tanganku yang memeluknya lalu memintaku melepaskannya "Aku jatuh cinta padamu sejak hari itu. Tulus dari dalam hatiku tapi—"
"Marcel.. sekarang giliranku ok?"
Aku menatapnya lalu mengusap pipinya. Matanya memerah saat menatapku lalu dia senyum "Ok"
"Aku menyukaimu"
***
//Marcel//
"Aku menyukaimu, Marcel"
Dia berkata seperti itu dengan senyuman yang begitu manis. Rambut pendek sebahunya serta pita yang dipakainya terlihat indah karna terkena angin. Dia begitu sempurna. Mata cokelatnya terlihat terang walau ia habis menangis, pipi yang memerah dan bibir merah muda natural. Aku senyum lalu mengulurkan tanganku padanya.
"Aku menyukaimu!"
Dia memelukku erat sekali lagi. Aku tidak habis pikir apa yang dikatakannya tadi. Tapi apa sekarang aku sudah mencairkan es di hatinya itu?
Kami pergi ke kantor dan aku kembali bekerja sedangkan dia tidur karna habis menangis. Biar cengeng aku tetap mencintanya. Dia terbangun saat aku membangunkannya.
"Ayo pulang"
Sesampai di rumah, dia menyiapkan makan malam selagi menungguku mandi. Kami makan bersama seperti biasanya, aku sangat senang setelah tahu dia menyukaiku. Hanya menyukaiku, tapi tidak menutup kemungkinan kalau dia bakal mencintaiku kan?
Apa mungkin dengan sedikit menggodanya dia jadi semakin luluh? Hm, itu ide bagus. Saat dia sedang mencuci piring karna jadwalnya, aku melihat buah strawberi ada di dalam kulkas. Buah itu masih segar, pasti kalau aku mengambilnya pemilik buah ini akan marah. Jadi kuambil saja.
"Buahnya segar juga—"
"Itu punyaku! Kembalikan! Kamu tidak boleh memakannya!"
"Oh iya..?"
Aku memakan buah itu yang membuatnya kesal. Tapi muka kesalnya itu sangat lucu. Aku berharap dia menggodaku kembali, seperti memakan buah strawberi itu yang kumakan ini. Dia kan gila makanan.
"Ugh.. hiks.. hiks.. stawberi.. hiks.. hiks.."
"K-kenapa nangis?"
"Hiks.. hiks.."
Gagal. Dia malah menangis yang membuatku mengembalikan sekotak strawberi itu ke dalam kulkas. Apa sih yang kubayangkan?!
Malamnya aku bekerja lagi dan dia menemanik dengan membaca buku. Suasana terlau hening, jadi kumulai percakapannya "Hei, yang kamu katakan tadi siang itu.."
"Eung..? Iya, itu—intinya jangan berpikiran aneh aneh. Kita sudah terikat kan satu sama lain, jadi berhenti memikirkan soal masa lalu. Entah bersama dengan siapa kita dulu, tapi itu bukanlah hal yang musti dibahas. Toh sekarang kita bersama. Jadi, jangan seperti itu lagi"
Aku senyum melihat pipinya memerah sambil berkata seperti itu. Mungkin dia hanya menghiburku tadi, tapi bukankah perkataannya itu ada benarnya? Mau bersana siapa pun di masa lalu, mulai sekarang dan selamanya hanya ada kami.
"Kamu tahu dengan sifat bodohmu itu, membuat Ian kewalahan. Minta maaflah besok, lalu saranku saja sih. Kalau kamu marah atau ragu pada sesuatu, mending tanyakan saja langsung. Jangan sok menyendiri deh"
"Iya iya maafkan aku. Apa kamu juga—"
"Tentu saja! Tingkahmu yang seperti itu, membuatku sama sekali nggak nyaman! Sudah jangan membantah, akan kubuatkan bekal besok untukmu dan Ian. Katakan padanya itu adalah bentuk permintaan maafmu"
Aku mengangguk lalu dia menyuruhku tidur. Padahal masih juga baru jam 9 malam. Tapi aku mengantuk juga sih. Pagi harinya, dia memberiku 2 kotak bekal. Seperti perkataannya semalam, bekal itu untuk Ian juga.
Di kantor kuberikan saja bekal itu lalu meminta maaf padanya "Tumben minta maaf kalau habis uring uringan, biasanya cuma membelikan makanan"
"Berisik. Mau terima nggak?!"
"Iya Tuan, saya juga minta maaf atas perlakuan—" aku masuk ke ruanganku tanpa basa basi lagi. Yang penting tugasku sudah selesai.
Semuanya berjalan seperti biasanya, tidak ada masalah dan terasa begitu tenang. Ina dan Joko tidak bisa bekerja lagi karna harus pulang ke desa mereka, padahal kami sudah sangat terbantu karna mereka.
Dan sejak saat itu, kami mulai kebiasan lama kami. Membersihkan rumah seminggu sekali, mencuci baju dan menjemurnya saat sore hari, lalu memasak untuk makan malam. Benar, kami bukanlah pasangan melainkan sahabat. Novi selaku berpikir seperti itu. Tapi dimana ada saat lawan jenis bersahabat tanpa ada yang memiliki rasa?
Aku tahu pasti sulit baginya untuk menerimaku yang bisa dibilang baru hadir dalam hidupnya. Tapi sulit bukan berarti tidak bisa kan?
Dua bulan kemudian, tepatnya pada bulan Juli. Kami mendapat undangan dari Keluarga Rusdy untuk menghadiri acara sebulan setelah lahirnya cucu pertama mereka, Vino Vindër Rusdy. Lalu kami juga diminta Sasha datang di acara 7 bulanan dari kehamilannya itu.
"Apa kamu mau datang di acaranya Zico dan Bianca?"
"Eung.. bagaimana ya, tapi sebagaimana pun kita kan masih bisa dibilang saudara dengan mereka"
"Zico adalah saudara sepupuku ya otomatis kamu juga. Kalau undangannya Sasha, kita memang harus datang kan"
"Iya, ya sudah sekalian ke Jakarta toh. Kita sudah lama nggak ke Jakarta. Kamu pasti kangen dengan kota kelahiranmu itu"
"Iya, kamu benar. Beberapa bulan ini kita terlalu sibuk sampai nggak bisa ke sana"
"Jadi, mengapa tidak?! Ayo ke Jakarta!"
Dia benar, karna terlalu sibuk, aku lupa janjiku pada Sasha untuk pulang ke Jakarta setiap bulannya. Akan kubawakan hadiah yang cocok untuknya nanti. Lalu soal undangan dari Zico dan Bianca, istriku tegar sekali melihat mantannya itu menikah dan memiliki anak. Padahal dulu dia begitu mencintainya dulu.
"Nah, ayo persiapkan kado untuk mereka"
"Hm"
Kami pergi berbelanja perlengkapan bayi. Apa hal aneh ya bagi pasangan seperti kami membeli perlengkapan bayi? Saat aku memisahkan diri dari istriku, aku melihat sebuah baju baju bayi yang lucu. Ah apa aku besok juga bakal memiliki bayi dengannya? Seperti apa ya? Laki laki atau perempuan?
"Marcel, kamu mau cari baju bayi?"
"Uh um.. iya tapi aku bingung"
"Hehehehe, aku sudah memilihnya. Katanya calon anaknya Sasha perempuan, jadi kupilihkan baju warna pink begitu pun untuk anaknya Kak Zico dan Bianca. Aku memilihkan warna biru"
"Baiklah, mau beli apa lagi?"
"Sudah. Ayo, aku sudah beli perlengkapan mandi dan makan mereka. Semoga mereka menyukainya"
"Yah, kalau Sasha sih jelas suka toh itu darimu"
"Kok aku? Ini kan dari kakak yang teramat dicintainya itu. Hehehe"
Sedikit aku terkejut tapi aku senyum. Dia benar, aku merindukan adik perempuanku itu. Aku jadi kepikiran seperti apa dia ya? Akan kutanyakan Robert deh nanti.
"Tapi.. apa Kak Zico dan Bianca mau menerimanya?"
"Jangan dipikirkan berlebih, yang penting kamu sudah memberi mereka sesuatu. Entah dibutuhkan atau tidak"
"Benar. Setidaknya aku sudah mencobanya, kan?"
Aku mengangguk. Firasatku memburuk soal acara itu, padahal aku dulu selalu diabaikan oleh keluarga itu. Tapi sekarang mereka mengundangku bahkan istriku juga, bukankah itu hal yang patut dicurigai?
Malam harinya, aku menelepon Robert untuk mencari informasi lebih lanjut soal undangan itu. Tapi setelah kami disukusikan, undangan juga diberikan pada Sasha dan Robert. Tentu saja, Sasha menolak untuk hadir. Pertama karna dia sudah hamil besar dan yang kedua dia tidak mau bertemu ibunya. Terakhir, dia tidak mau Robert jadi bahan tertawaan karna dia berasal dari orang biasa, sama seperti Novi.
"Baiklah, sebagai perwakilan keluarga Chandra aku akan datang. Toh Bibi Clara memiliki marga Chandra juga"
"Saya minta maaf Tuan tidak bisa menerima tuhas itu"
"Tidak apa. Sasha ada benarnya, kamu orang baru di Keluarga Chandra sama seperti Novi. Ikuti saja perkataan istrimu itu"
"Tapi apa Nyonya—"
"Aku bisa mengatur istriku sendiri"
Pip.
To be continue.