//Novi//
Setiba di Jakarta beberapa hari yang lalu, Sasha tiba tiba mengajakku ke mall berdua saja. Awalnya Marcel tidak mengizinkan kami, tapi aku membujuknya hingga dia percaya dan mengizinkanku pergi.
Di mall, kami memakan sushi di sebuah restoran Jepang sambil mengobrol serius tentang Marcel. Aku tahu, ini dia sebab mengapa tidak bisa mengajak Marcel.
"Alasan kenapa kita pergi berdua adalah, aku mau menanyakan soal kakakku dulu. Iya, apa dia baik baik saja? Kudengar dia sempat melakukan uji coba bunuh diri"
"Itu maafkan aku. Kamu pasti dengar kan soal cyberbully dan bullying yang kualami di kampus—"
"Itu tidak ada kaitannya dengan kakakku. Ok. Kakakku tidak pernah mencoba hal bodoh seperti itu. Tapi aneh saja, karna ulahmu dia mau melakukannya"
"Maaf"
"Jangan minta maaf padaku. Tapi pada kakakku, kadang aku juga heran bagaimana bisa sih dia mencintai wanita sepertimu"
Aku menggigit bibirku. Jujur saja sampai detik ini, aku belum bisa mencintai Marcel. Saat aku berbohong padanya dengan mengatakan bahwa aku menyukainya itu saja sudah membuatnya begitu bahagia. Tapi kenapa hatiku rasanya sakit saat merasakan apa yang dirasakan Marcel saat tahu nanti kalau aku berbohong.
"Kalian sudah menikah 7 bulan tapi kenapa kamu belum menyadari hal itu? Aku diam saja selama ini karna aku tahu dia akan marah saat aku menasihatimu begini. Tapi sebagaimana pun, usiamu lebih muda dariku walau kamu adalah istri kakakku"
Sekali lagi aku hanya bisa diam. Rasanya sudah tidak nafsu makan lagi, aku menundukkan kepalaku dalam "Kak—tidak Novi, aku kesal padamu yang seolah mempermainkan kakak yang sangat kucintai itu. Sekali lagi kudengar berita buruk soal kakakku, aku tidak segan untuk datang ke rumahmu dan menampar mukamu itu lalu memaksamu untuk cerai dengan kakakku"
"Mengerti tidak?"
"Aku mengerti"
"Sekarang, akan kujelaskan apa yang akan jadi topik pembicaraan besok di acara syukuran itu. Yang pasti firasatku memburuk terlebih soal kakakku"
"Memangnya apa yang akan mereka bahas? Bukannya kamu juga diundang?"
Sasha menatapku lalu senyum seperti tahu sesuatu "Bodoh. Mana sudi aku datang? Tapi karnamu, kakakku akan datang. Walau dia tahu dialah yang akan menjadi bahan pembicaraan"
"K-karna aku..?!"
Tak
"Benar sekali. Kakakku sekarang selalu bertindak tanpa berpikir panjang. Cuma karna wanita bodoh sepertimu, dia menuruti apa katamu. Padahal kamu tidak pernah memberinya apa pun"
"Sudahlah. Ada yang lebih penting dari pada perasaan konyolmu itu. Firasatku memburuk soal acara besok"
"Apa kubatalkan saja?"
"Coba saja. Hanya kamu yang bisa membujuk pria gila itu. Karna tidak mungkin kan, aku dan kakakku yang sedari dulu diabaikan oleh keluarga tiba tiba diundang ke acara keluarga"
Sasha benar. Pasti ada sesuatu, kalau begitu mungkin yang dikatakan Sasha benar. Apa yang musti kulakukan? Akan kukatakan pada Marcel nanti malam.
Kami pulang dari mall setelah jam menunjukkan pukul 7 malam. Setibanya di rumah, Sasha langsung ke kamar dan menyuruhku menunggu Marcel pulang dari urusannya di kantor bersama dengan Robert.
Sambil menunggu, aku ke dapur dan membuat makan malam. Tapi seorang pembantu tiba tiba menghampiriku dan membantuku memasak.
"Anda tidak seharusnya ada di dapur, Nyonya"
"Tidak apa. Di Surabaya, kami juga tidak memiliki pembantu dan menyelesaikan pekerjaan rumah sendiri"
"Tapi kalau begini terus. Tangan Anda dan Tuan—"
Aku hanya senyum yang membuatnya terdiam dan lanjut memasak. Saat Marcel pulang, dia memberiku kue lemon. Dia bilang kue itu berasal dari cabang pusat cafe Veronica miliknya. Wah rasanya sangat enak.
"Nyonya sangat menyukai kue lemon ya, lucunya melihat Nyonya makan—" Robert tertawa melihatku memakan kue lemon. Tapi tiba tiba Marcel mengusap usap bibirku dengan kasar menggunakan tissue.
"Enyahlah. Istriku nggak butuh komentarmu"
Robert pergi ke kamarnya meninggalkan kami berdua di ruang tamu. Aku meraih tissue itu lalu membersihkan bibirku sendiri.
"Apa apaan sih kamu marahi Robert seperti itu—"
"Aku nggak suka istriku digoda pria lain"
"Dia kan adik iparmu, suaminya Sasha. Kenapa ngegas terus sih?! Nggak sama Ian atau Robert, kamu selalu cemburu nggak guna"
"Lalu siapa yang cemburu waktu ada wanita pakaian mini dan terlihat menarik itu hah?!"
"Ya kan auratnya kelihatan gitu, aku risih tahu! Lalu kamu mau matamu dicolok di neraka? Aku itu melindungimu—"
"Melindungi tapi cemburu berhari hari, apaan itu? Kamu cem-bu-ru!"
"M-marcel.."
"Apa?! Sini, sudah aku capek"
"Cepat makan lalu tidur"
Setelah makan malam, kami ke kamar dan bersiap tidur. Sebelum tidur, aku menceritakan semua yang dikatakan Sasha tadi. Menurutnya itu ada benarnya, tapi sekarang apa yang akan terjadi besok kami juga tidak tahu.
"Bagaimana kalau kita nggak datang saja?"
"Hng? Nggak datang?"
"Iya begitu lah.."
Dia senyum lalu mengelus punggungku sambil menjelaskan, ia dan Sasha adalah keluarga Chandra yang tersisa. Dia benar, makanya Robert diminta untuk menjadi keluarga Chandra juga. Aku memainkan jariku, sungguh apa aku harus mengatakannya?
"Marcel.. sebenarnya.. firasatku tidak enak soal acara besok itu. Bukan soal yang kupikirkan dengan Sasha tadi siang. Tapi tentangmu"
"Tentangku? Hm.. itu hanya firasat, aku ada di sebelahmu, Sayang. Jangan takut begitu"
"Aku nggak takut—"
"Nggak apa, apa pun yang terjadi besok kan kita hadapi berdua. Ok?"
"Sok romantis. Ini serius, pokoknya habis kasih kado dan selamat, kita pulang!"
"Iya terserahmu deh, sekarang ayo tidur—atau buat anak saja—"
Bug
Aku memukul mukanya dengan bantal dan segera tidur "Dasar nggak sopan!"
Pagi harinya, kami berdua memakai pakaian batik keluarga. Karna ini hanyalah syukuran sebulan setelah kelahiran bayi, jadi kami memakai pakaian batik keluarga saja. Beres.
Setiba di lokasi, kami langsung memberikan kadonya pada Kak Zico dan Bianca. Ya walau Bianca terlihat baik tapi tetap dia menunjukkan padaku kalau dia yang lebih baik dariku. Itu benar kok, jadi aku tidak perlu membalasnya.
"Novi, um.. terima kasih sudah hadir"
"Iya. Aku juga sekaligus menemani suamiku kok" setelah berkata seperti itu, aku dan Marcel pergi. Niatnya ingin langsung pulang tapi terlihat sangat tidak sopan, jadi kami duduk di bangku yang disiapkan lengkap dengan meja untuk makan.
Saat sibuk cepat cepat menyelesaikan makan, ada orang yang duduk di kursi depan kami. Sontak kami menatap mereka, seorang wanita cantik dan wanita paruh baya. Siapa mereka?
Marcel berdehem lalu menaruh garpu dan pisau makannya "Masih tetap benci sendok ya? Marcel..?"
"Itu bukan urusan Mom"
MOM?!
Dengan gugup aku menoleh ke arah mereka dan wanita cantik itu tertawa pelan "Hahah, ini ya wanita yang kamu nikahi? Kenalkan, aku Ayana. Aku tunangan Marcel—"
"Omong kosong! Kapan aku bertunangan denganmu?!"
"Kamu lupa denganku..?"
Wanita itu menunjukkan cincin cantik di jari manisnya lalu melirik ke arahku "Apa karna dia..?"
"Sayang, ayo pergi. Urusan kita sudah selesai" Marcel menuntunku berdiri dan beranjak pergi dari meja itu.
"Marcel, Mom belum selesai bicara padamu!"
Marcel menoleh ke arahnya lalu berteriak dan menyuruhku untuk tetap di belakangnya "Aku nggak akan mau dengar apa pun darimu! Kamu bukan ibuku!"
Tangannya menggenggam erat tanganku. Tapi tangannya begitu dingin seolah dia ketakutan bukan tapi seperti trauma yang mendalam. Dan yang bereaksi adalah tubuhnya. Begitu melihat wanita itu, tubuhnya menegang.
"Apa katamu?!" wanita itu mendekat ke arah kami dan hendak menampar muka Marcel. Tapi tiba tiba tangannya ditahan seseorang. Jelas itu bukan Marcel karna dia sedari tadi sudah memejamkan matanya dan tentu bukan aku yang sedang dilindunginya.
"Bibi Sarah, aku tidak pernah mengizinkan acara syukuran putraku anda hancurkan. Silakan pergi dari rumahku, Novi dan Marcel adalah tamu yang kuundang. Tolong jangan buat mereka tidak nyaman"
KAK ZICO?!
***
//Marcel//
Zico?! Serius dia menolongku?!
Mom menurunkan tangannya dan menatapku dengan tatapan menjijikan. Tatapan yang selalu diperlihatkan padaku dan Sasha "Cih, kenapa bisa kamu dan adikmu itu terlahir dari pria itu?! Menjijikan"
Ayana mendekatiku dan senyum "Ah, Mom sepertinya terlalu emosi. Marcel, mari makan lagi bersamaku—"
"Tolong pergi. Aku tidak ingat pernah mengundangmu" lagi lagi Zico menolong kami. Ayana terlihat kesal lalu pergi setelah menatap istriku tajam.
Setelah Mom pergi, Zico meminta kami untuk kembali duduk dan menikmati makan siang kami. Dia juga meminta maaf karna tidak mengetahui soal adanya itu. Ya bukan salahnya juga, tapi kenapa dia menolongku?
"Zic, bagaimana bisa kamu mau menolongku?" pertanyaan yang kulontarkan padanya saat dia mengantar kami kembali ke meja kami.
"Jangan salah paham. Aku tidak menolongmu, tapi aku mau melindungi wanita kecil di belakangmu itu" dia menatap ke istriku lalu mengusap rambutnya, dengan cepat kutepis tangannya itu sambil menatapnya.
Aku menatapnya cukup tajam sambil bertanya, apa apaan maksudnya itu?!
"Terima kasih sudah menjaganya dengan baik dan mencukupi kebutuhannya, Marcel. Aku merasa sedih pada diriku sendiri, aku tidak bisa menjaganya selagi dia menjadi milikku"
Novi menggenggam erat tanganku yang membuatku melirik ke arahnya "Kamu memang bodoh, baru menyesal sekarang huh?"
"Ya. Hanya sedikit yang bisa kulakukan untuknya sekarang, sisanya kuserahkan padamu. Jaga dia baik baik. Aku memang musuhmu, tapi wanita itu bukan. Dia tidak terlibat dalam urusan kita"
"Aku tahu. Maaf, tapi kami sepertinya harus pulang sekarang. Bukan karna masalah tadi, tapi ada yang harus kubereskan"
"Baik. Pulanglah hati hati, jangan terlalu memikirkan soal perkataan Bibi Sarah tadi. Dia hanya sedikit gila setelah Paman Harvey meninggal"
"Ya. Kami pamit pulang"
Novi dengan gugup menatap Zico dan senyum "Sekali lagi, selamat ya Kak. Semoga kita bisa bertemu lagi. Dan terima kasih"
"Iya, sama sama. Jaga dirimu"
Kami pulang dari acara itu dan pergi ke villa karna jaraknya memang dekat. Di villa, aku menghempaskan tubuhku ke kasur dan meminta untuk sendiri. Rasanya sangat kacau.
"Fiuh.."
Tok tok tok
"Ah maaf, aku tahu kamu mau sendiri tapi—kubawakan teh bunga Telang favoritku. Minumlah" dia menaruh secangkir teh biru favoritnya. Teh bunga telang yang selalu berubah jadi warna biru atau keunguan saat ditambah perasan lemon.
"Em.. aku akan di luar, kalau ada apa apa—KYAAA!!!"
Aku memeluknya yang membuatnya berteriak terkejut "M-mar—"
"Dengar. Biar Zico jadi romantis atau dia berubah jadi lebih baik, jangan kembali padanya! Ok?! Kamu itu istriku, aku mohon—"
"Kamu ngomong apa sih?!" dia menepuk pipiku lalu senyum.
"Biar sebaik apa pun dia, aku akan tetap bersamamu. Memangnya dia bisa membelikanku kue lemon?!"
"Ah baiklah, akan kubelikan kue lemon setiap hari dan sebanyak apa pun itu" aku mengecup tengkuknya itu sambil melingkarkan tanganku di perut ratanya. Tangannya juga menggenggam tanganku lalu tiba tiba di berbalik ke arahku yang membuatku terkejut.
"Eh?!"
"Marcel, kudengar ada bolu enak di Bandung. Beli yuk!"
Dia berbalik hanya karna bolu?! Tidak berminat menggodaku ya?! Agak kecewa mendengarnya, tapi bagaimana kalau begini.
"Berapa banyak?"
"Em.. yang banyak pokoknya!"
"Hahaha, iya akan kubelikan yang banyak asalkan.. nanti malam—main yuk"
Plak
"Aku beli sendiri saja deh"
Sial.
Malam harinya kami kembali ke rumah Sasha lagi. Setelah puas memakan bolu, kami di kasur dan berbincang soal masalah tadi. Dia menanyakan padaku soal Ayana. Aku senyum dan mengatakan kalau Ayana adalah wanita yang direncanakan akan ditunangkan denganku. Tapi gagal karna aku sudah melunasi hutang keluargaku pada keluarga Ayana. Jadi aku memutuskan pertunangan itu.
"Tapi apa kamu sungguhan bertunangan dengannya?"
"Saat itu usiaku 25 tahun. Dan mungkin bagi mereka sudah seharusnya pria usia segitu menikah. Tapi aku malah menolaknya karna studi S2-ku"
"Studi S2 atau kamu tidak suka? Ya wanita itu sepertinya bukan wanita baik baik" dia meraih selimut lalu berbaring di kasur.
Aku naik ke atas tubuhnya dan menahan tangannya itu "Karna aku menunggumu, bagaimana?"
"Haha, sangat lucu. Memangnya apa yang kumiliki selain bakat jadi koki di toko roti?"
"Bakat mencuri hatiku, sudah dong main mainnya. Aku mau main—"
"Tidak. Silakan turun dari atasku. Tanganku sakit"
Aku turun dan berbaring di sampingnya "Seks saja tidak pernah, huh.."
"Kamu mau?"
"Menurutmu?"
"Aku yang nggak mau. Sabar ya, nanti kalau sudah waktu—" aku memeluknya erat dan mengecup lehernya lagi.
"Ya sudah, lain kali akan kukasih tahu kalau aku sudah siap"
"Itu harus. Aku mau sedikit bermain boleh?"
"Sedikit?"
"Seperti biasanya"
Singkat cerita semalam kami "sedikit bermain" seperti biasa. Ya, kami menyebutnya seperti itu. Ciuman yang liar dan sentuhan yang panas. Setidaknya itu cukup menghibur. Walau lebih enaknya melakukan "itu". Tapi dia menolaknya dan dia beralasan takut. Biar begitu suatu saat pasti dia mengerti.
Aku mencium bibirnya itu dengan rakus, satu tanganku menahan tubuhnya agar tidak menjauhiku dan tanganku satu lagi kugunakan untuk bermain dengan payudaranya. Dia duduk di atas pangkuanku dengan kedua tangannya meremas rambutku sesekali sambil menahan desahannya.
Terkadang, dia akan memainkan milikku kalau dia mau. Tapi mungkin tidak untuk sekarang. Ciumanku turun ke lehernya dan membuat beberapa tanda kepemilikanku di sana. Mengingat tadi siang ada pria lain yang menggoda istriku. Sekalian saja kubuatkan tanda kalau dia adalah milikku.
"Sakit—"
Aku memelankan gigitanku tapi tetap membuat kulit lehernya memerah. Dia milikku. Dan hanya milikku. Sebaliknya, aku miliknya dan akan tetap jadi miliknya.
To be continue.