Chereads / The Seven Wolves: The Collateral / Chapter 8 - € 100K 

Chapter 8 - € 100K 

Keesokan harinya James menjalani harinya seperti biasa. Sebagai pemilik dari Superhart Tech, sebuah perusahaan penghasil mesin-mesin balap berteknologi canggih, ia harus mengawasi setiap inovasi di dalam pabriknya.

Hari ini ia akan ke Hongkong untuk menemui seorang klien. Salah satu sponsor tim di Formula E mengudangnya untuk bisa datang pada saat pengumuman nama pembalap yang akan berlaga di musim bulan depan. Sekaligus mempublikasikan mesin yang akan digunakan oleh tim tersebut.

Selain membuat mesin untuk mobil-mobil F1, Superhart Tech juga merancang dan memodifikasi mesin untuk beberapa ajang balapan seperti Grand Prix dan Nascar.

"Hubungi Jayden, katakan aku ingin bertemu saat makan malam," ujar James usai sarapan pada Earth yang berdiri di dekatnya.

"Baik Tuan," jawab Earth kemudian mengikuti James keluar dari mansionnya ke mobil mewah Ferrari Roma yang sudah menunggu di depan lobi mansion. Mobil itu akan membawa James ke bandara pribadi miliknya dan ia akan ke Hongkong untuk pertemuan itu.

Dalam perjalanan, James mengerjakan beberapa pekerjaan di dalam pesawatnya. Earth juga sibuk ikut membantu dan berdiskusi beberapa hal dengan bosnya itu.

James Belgenza memakai nama lahirnya James Harristian di jaringan mafia bawah tanah Eropa. Para penjahat dan teroris internasional mengenalnya sebagai pembuat senjata handal. Tak hanya penjahat, para petinggi militer juga mengenalnya sebagai produsen senjata dan sering memesannya untuk latihan perang misalnya.

Kekayaannya melebihi dari yang diwariskan Ayah angkatnya Fabrizio Belgenza. Ia melipat gandakan kekayaan itu dan menjadikan dirinya sebagai orang terkaya nomor tujuh di dunia. Dengan kekayaan sebesar itu, hidupnya begitu misterius. Tak ada yang benar-benar tau seluruh kekayaan James yang sebenarnya.

Maka sangat konyol rasanya jika hanya untuk uang 100 ribu Euro bisa menjadi masalah bagi James. James biasa menghabiskan 100 ribu Euro untuk sekali makan siang di sebuah restoran chef paling terkenal di dunia. Namun ia membuat hidup seseorang berada di ujung tanduk untuk uang yang tak seberapa itu.

Usai ditinggal Ayahnya, Delilah jadi tak bisa beristirahat. Ia hanya punya dua hari untuk bisa melunasi uang 100 ribu Euro tersebut.

"Apa yang harus aku lakukan?" ujar Delilah pada dirinya. Ia sedang menjaga toko bunga nya dan duduk sendirian sambil berpikir. Semuanya buntu, tak ada yang bisa ia pikirkan untuk bisa menghasilkan 100 ribu dalam dua hari.

Delilah terus meneteskan airmata. Tapi ia tau hal itu tak membantunya sama sekali. Menangis takkan menyelesaikan masalah.

"Aku harus tenang, aku tidak boleh menyerah!" isak Delilah mencoba menenangkan dirinya. Ia melihat lagi jam di atas meja konternya dan semakin lama detik jam saja jadi menakutkan.

"Tinggal 40 jam lagi, aku harus bagaimana?" gumam Delilah menungkupkan kedua tangan di depan bibirnya. Ia mulai gemetaran dan ketakutan.

Delilah teringat pada kata-kata Oliver Kakaknya agar menjual toko bunga tersebut. Masalahnya toko itu bukan miliknya dan menjualnya takkan menghasilkan 100ribu Euro dalam sehari. Toko itu terlalu kecil untuk dihargai 100 ribu Euro. Mungkin paling mahal seorang pembeli hanya mau menghabiskan 50ribu saja untuk toko kecil itu.

"Tuhan tolong aku! Apa yang harus aku lakukan?" Delilah menutup wajahnya dan menangis.

"Kenapa kamu menangis?" tanya Stevano tiba-tiba. Delilah spontan mengangkat wajahnya dan melihat kekasihnya datang. ia langsung keluar dari konter dan memeluk Stevano.

"Eh, ada apa denganmu? Kamu baik-baik saja?" tanya Stevano kebingungan. Delilah tak melepaskan Stevano sama sekali. Ia terus menangis karena tak tau harus mengadu pada siapa.

"Tolong aku, Stevano!" ujar Delilah begitu Stevano membawanya duduk di salah satu bangku setelah tenang.

"Apa yang terjadi?" Delilah masih sesegukan menghapus airmata dengan punggung tangannya.

"Semalam anggota mafia datang ke rumahku. Katanya Ayahku mencuri dari kasino mereka dan mereka meminta uangnya kembali," ujar Delilah bercerita tentang kronologis cerita. Stevano mengernyitkan kening dan masih mendengarkan.

"Ayahku tak bisa mengembalikan. Sekarang dia pergi dan Kakakku juga kabur. Aku tidak tau harus bagaimana. Mereka akan kembali dua hari lagi untuk mengambil uangnya." Delilah kembali terisak dan kelihatan ketakutan. Stevano yang semula memegang pundak Delilah lalu melepaskan pegangannya dan meluruskan tubuhnya.

"Jika aku tidak bisa mengembalikannya, mereka akan membunuh Ayahku," sambung Delilah lagi masih curhat. Stevano cuma diam sambil menggaruk bagian belakang kepalanya.

"Aku harus bagaimana? Dimana aku bisa mendapatkan uang 100 ribu Euro?" tanya Delilah berharap mendapatkan solusi dari Stevano.

"Aku tidak tau. Aku saja belum pernah melihat uang sebanyak itu," jawab Stevano malah makin membuat Delilah jadi sedih. Ia tak tau harus berbuat apa lagi sekarang.

"Kalau toko ini dijual, kira-kira bisa laku berapa?" tanya Stevano sambil melihat-lihat toko kecil itu. Delilah terdiam dan menoleh pada Stevano yang sedang mengedarkan pandangannya. Ia kemudian menunduk dan tak bicara apapun.

"Ah, aku rasa orang pasti akan menawar hanya sampai 30 ribu tidak lebih dari 35 ribu. Toko ini kecil dan tak banyak pelanggan, akan sulit dijual bukan?" ujar Stevano lagi.

"Aku tidak mungkin menjualnya, toko ini bukan milikku," ujar Delilah. Stevano kemudian menoleh pada Delilah.

"Aku tau itu, tapi kan kamu bisa meminjamnya. Nanti jika kamu punya uang kamu bisa menebusnya kembali. Atau jadikan saja sebagai jaminan pinjaman pada rentenir, nanti kamu lunasi lagi." Stevano memberi usulan.

Delilah nampak berpikir dengan usulan itu. Ia tak terpikir untuk menjadikannya toko itu sebagai jaminan utang.

"Tapi jika dijadikan jaminan, aku rasa mereka tetap tak mau memberikan 100 ribu Euro, bukan?"

"Memang tidak, tapi setidaknya kamu bisa minta waktu pada mafia itu untuk melunasinya. Tapi kamu sudah melunasi setidaknya sepertiganya, iya kan?" jawab Stevano membuat Delilah berpikir lagi. ia masih ragu jika cara Stevano bisa menjadi solusi.

"Itu artinyaku akan punya dua utang yang harus aku lunasi."

"Tapi kamu memiliki lebih banyak waktu untuk melunasinya. Tapi kalau kamu melunasinya dengan cara menjual toko ini, kemana lagi kamu akan mencari uang?" Delilah lalu berbalik pada Stevano dan menggenggam tangannya.

"Tak bisakah aku meminjam uang darimu atau orang tuamu saja, Stevano? Aku pasti akan mengembalikannya," ujar Delilah mengharapkan bantuan Stevano. Stevano berdecak dan menggelengkan kepala.

"Aku tidak punya uang sebanyak itu. lagipula mana mau Ayahku meminjamkan uang padamu sebanyak itu? Tokonya sedang merugi, aku yakin dia tak punya uang sebanyak itu!" Stevano langsung menolak Delilah. Delilah jadi makin kecewa, Stevano bahkan tak mau membantunya di saat ia tengah kesulitan.

"Akan aku pikirkan usulanmu," ujar Delilah dengan nada lemah setelah diam beberapa saat sebelumnya.

"Sebaiknya kamu memang memikirkan lebih cepat. Sekarang saja sudah siang dan besok adalah hari terakhir kan!" balas Stevano malah membuat Delilah makin kecut dan ketakutan.

"Aku bisa mengantarkanmu ke Tuan Felipe jika kamu mau. Aku yakin dia mau meminjamkan kamu uang." Delilah mengangguk saja dan tak menjawab.

"Kalau begitu aku pergi dulu. Aku ada janji!" ujar Stevano berdiri dan meninggalkan Delilah begitu saja.

Ketika keluar Stevano berjalan lalu berhenti sejenak dan menoleh ke belakang sambil mendumel dengan wajah kesal.

"Dasar perempuan miskin. Aku pikir aku bisa dapat uang hari ini, ternyata dia malah membuat utang dengan mafia, ahhh... sial!" umpat Stevano lalu pergi meninggalkan toko bunga Delilah.

Delilah tidak mau membuang waktu. Ia harus berusaha agar bisa mendapatkan uang tersebut.

"Aku yakin Oliver yang membawa lari uang itu. Aku harus mencarinya!" gumam Delilah lalu membereskan barang-barangnya dan mengambil tas. Ia menutup toko sebelum makan siang dan pergi mencari sang Kakak.

Delilah mencari ke semua tempat yang pernah dikunjungi Oliver. Ia bahkan berani masuk ke bar-bar dan pub untuk bertanya mencari Oliver dan Ayahnya. Delilah tak perduli pada pandangan aneh orang-orang di dalam klub yang melihatnya masuk dengan pakaian sederhana dan kacamata besar.

Tapi tak ada satupun yang melihat Oliver ataupun Ayahnya. Hanya gelengan kepala dan tanda penolakan keras yang ia dapatkan dari pemilik bar ataupun bartender yang bertugas. Tapi Delilah tak mendapatkan apapun kecuali pulang dengan tangan hampa.