Chapter 13 - Brave

James menikmati pesta dan perjamuan yang dibuat oleh Golden Dragon di Hongkong. Disana pula ia berkenalan dengan Anthony Lin yang merupakan Ayah Jayden. Asik mengobrol, James mendapat notifikasi khusus dari rumah lelang Dubrich. Sebuah "barang baru" masuk dan akan dilelang besok malam di Paris. Dubrich memiliki beberapa rumah lelang tersembunyi hampir di seluruh daratan Eropa dan Asia. Para bilyuner dari Syech hingga Perdana Menteri tak jarang menjadi langganan VIP mereka. Dan James Harristian merupakan salah satunya.

James tersenyum tipis membaca notifikasi terenskripsi di ponselnya itu. Jayden yang sempat memperhatikan lalu mendekat dan bertanya.

"Jangan bilang kamu harus pulang sekarang!" tegur Jayden sambil menyerahkan segelas Scotch pada James. James tersenyum dan mengangkat bahunya.

"Ada tawaran yang tak bisa aku lewatkan, Jay. Yang penting kan aku sudah datang ke inagurasimu." Jayden menghela napasnya.

"Aku berencana pindah ke New York. Mau ikut?" tawar Jayden tanpa basa basi.

"Untuk apa?"

"Aku dengar kamu mengejar Gabriel Moretti," jawab Jayden membuat James menghentikan minum. Jayden melirik dengan ujung mata lalu tersenyum.

"Kamu dengar darimana?" tanya James kemudian.

"Oh, James. Aku adalah pemimpin Golden Dragon. Menurutmu siapa yang menguasai New York sebenarnya?" Jayden terdengar sedikit sombong sambil mengangkat alisnya. James hanya menaikkan gelas dan mengangguk saja.

"Jika kamu bisa membunuhnya untukku, kamu akan kuangkat sebagai saudaraku," balas James tak mau kalah.

"Deal!" Jayden ikut mengangkat gelasnya.

"Tapi akan lebih baik jika kamu sendiri yang mengejarnya. Aku hanya penasaran apa masalahmu dengannya," sambung Jayden lagi.

"Dia membunuh Ayahku!"

"Aku pikir kamu berasal dari panti asuhan."

"Memang, Fabrizio Belgenza adalah Ayah angkatku. Gabriel Moretti adalah orang kepercayaannya dulu. Tapi ia membalas dengan meracuni Ayahku dan merebut Il Rosso. Yang tersisa untukku hanyalah beberapa orang yang masih setia dengan keluarga Belgenza," jawab James dengan nada dingin.

"Jadi kamu mau balas dendam?" James mengangguk.

"Keluarga Belgenza sudah merawat dan membesarkanku. Fabrizio bahkan memberikan seluruh warisannya padaku. Aku diambil dari jalanan olehnya jadi sudah seharusnya aku berterima kasih bukan!" Jayden mengangguk mengerti.

"Lalu, mau ikut aku ke New York?" tawar Jayden lagi. James tersenyum dan mengangkat bahunya.

"Entahlah, kita lihat saja nanti. Untuk sekarang, aku ingin ikut pelelangan dulu." Jayden mengernyitkan kening tapi tak bertanya lebih lanjut dan James seperti membaca pikiran Jayden.

"Kamu boleh ikut aku kalau mau. Nama tempatnya Dubrich." Jayden memandang James lalu mengembangkan senyuman.

"Apa barang-barangnya bagus?" James tersenyum dan tak mengiyakan atau menggeleng.

"Hhmm... authentic (asli) dan sangat memuaskan," sahutnya sambil minum dengan senyuman misterius. Tak lama kemudian, Earth datang dan membisikkan sesuatu ke telinga James.

"Nona Starley meminjam uang pada rentenir untuk membayar uangmu Tuan." James mengernyitkan kening dan menoleh pada Earth. Jayden juga sempat melihat tapi kemudian membuang pandangan ke arah lain. Ia tak ingin terlalu ikut campur urusan pribadi James.

"Dia melakukan itu? Dia tidak menyerah ya?" tanya James pada Earth berbisik. Earth mengangguk dan dengan posisi tubuh yang masih dekat dengan James. James tergelak dan menggeleng.

"Dia punya nyali... Apa dia pikir dia bisa membayar huh. Hhmm!" James menarik napas dan tersenyum jahat.

VIMERO, NAPOLI

Delilah benar-benar tak bisa menunggu lagi. Dia sudah meminjam uang 30 ribu Euro dengan bunga 30 persen dan jaminan toko bunga yang bukan miliknya. Dia mengambil resiko yang sangat besar untuk melunasi utang Ayah dan Kakaknya. Ia bahkan diancam oleh penguasa Napoli jika tak mengembalikan maka akan dibunuh.

Tapi kini begitu dia memiliki uang dan hendak bernegosiasi, pria itu malah tak datang. Delilah merasa dipermainkan. Ia bahkan menunggu semalaman sampai tertidur di depan televisi tanpa hasil dan masih memiliki utang.

'Apa aku dikerjai?' pikir Delilah.

"Ah, tidak mungkin. Pria itu orang jahat tidak mungkin dia main-main denganku. Apa untungnya?" gumam Delilah bertanya pada dirinya sendiri. Ia masih terus mondar-mandir di tengah-tengah apartemennya sambil melihat ke arah pintu.

Delilah makin kecewa, ia mulai yakin jika pria jahat yang tampan itu hanya mengerjainya. Dengan kekesalan, Delilah lalu masuk ke kamarnya. Ia mengganti baju dan menyisir rambut lalu mengepangnya menjadi dua bagian. Setelah mengikat yang sebelah, Delilah lalu mengepang yang sebelah lagi dan merongoh laci di meja rias kecilnya. Tangannya terus merogoh dan tak menemukan pasangan karet ikat rambut warna hitam berornamen bunga.

Sambil memegang sebelah rambutnya Delilah mencari ke seluruh kamar. Matanya menyisiri semua sudut namun tak menemukannya sama sekali.

"Kemana ikat rambutku?" gumam Delilah bertanya pada dirinya. Ia menggaruk kepala dan mencari lagi namun tak menemukan. Delilah orang yang rapi, ia tidak pernah mencecerkan seuatu benda sekecil apapun. Dia yakin sudah meletakkan diatas meja rias atau dalam laci. Delilah kecewa tak menemukan yang ia cari. Akhirnya karena buru-buru, ia terpaksa memakai karet ikat rambut yang berbeda warna. Padahal ikat rambut berornamen bunga itu adalah milik Delilah yang paling ia sukai.

Begitu Delilah keluar kamar, ia tertegun berhenti di depan pintu kamar. Oliver tiba-tiba masuk rumah dan menutup pintu. Di belakangnya ada Ayah mereka yang juga mengendap-endap masuk.

"Ayah... Oliver?" panggil Delilah. Mark langsung berjalan cepat ke arah Delilah lalu mengambil pergelangan tangannya. Ia menarik Delilah masuk ke kamar dan Oliver mengikuti.

"Kamu mau kemana?" tanya Mark tanpa basa basi. Delilah yang polos lalu mengaku saja.

"Aku mau mengembalikan uang Tuan J." Oliver dengan mata melotot mendekati Delilah tak percaya.

"Apa... kamu sudah mendapatkan uangnya?" Delilah mengangguk lalu menggeleng. Oliver jadi bingung dan mengernyitkan kening.

"Aku baru mendapatkan sepertiga, jadi aku berencana bicara dengan Tuan J, jadi dia bisa memberi tenggat waktu yang lebih panjang agar aku bisa melunasi sisanya," jawab Delilah dengan polosnya. Mark tertawa dan mendorong kepala Delilah dengan ujung jarinya.

"Dasar anak bodoh. Apa kamu pikir dia anak sekolah? Dia mafia kelas atas, Daga Nero. Bagaimana bisa dia bernegosiasi denganmu untuk memberikan tenggat waktu yang lebih panjang. Sebelum kamu bicara dia mungkin sudah menembakmu!" ejek Mark dengan wajah sinis. Delilah hanya diam membiarkan Ayahnya memperlakukannya seperti itu.

"Memangnya kamu dapat uang dari mana?" tanya Oliver lagi setelah melirik pada Ayahnya.

"Aku meminjam dengan jaminan," jawab Delilah lagi. Oliver mengernyitkan kening dan menoleh pada Ayahnya.

"Apa yang kamu jaminkan?"

"Toko bunga..." Delilah lalu sedikit menunduk.

"Oh, kamu mulai pintar berpikir sekarang!" sindir Mark lagi. Ia tersenyum menyengir dan mendekati Delilah.

"Mana uangnya?" tanya Mark lagi. Delilah memandang Ayah dan Kakaknay bergantian.

"A-aku akan memberikan uang itu pada Tuan J," ujar Delilah dengan ketakutan.

"Aku yang akan mengembalikannya. Berikan uangnya padaku!" jawab Mark lagi. Delilah jadi bingung. Ia tau Ayahnya pasti sedang ingin menipunya.

"Tidak, Ayah pasti akan memakai uang itu untuk mabuk atau berjudi lagi. Aku yang akan mengembalikan uang itu pada Tuan J." Delilah bersikeras dan itu membuat Mark jadi kesal. Tapi sebelum ia meledak, tangan Oliver mencegahnya.

"Yah, biar aku saja yang bicara!" Oliver lalu menoleh pada Delilah.

"Dengarkan aku, Delilah. Tuan J itu bukan orang baik. Dia orang paling jahat di Napoli bahkan mungkin di seluruh Italia. Jadi jika kamu kesana, dia akan memperkosamu dan membuang mayatmu ke selokan," ujar Oliver menakuti Delilah. Mata Delilah semakin membesar dan dia mulai ketakutan.

"Aku adalah kakakmu, tidak mungkin aku membiarkanmu dikerjai olehnya bukan?" Delilah mengangguk.

"Maka dari itu, biarkan aku dan Ayah yang pergi kesana. Aku dan Ayah akan bernegosiasi dengannya agar dia tidak mengejar kita lagi." Oliver memberikan alasannya. Delilah tak bisa percaya begitu saja tapi jika mendengar alasannya, ia tau James orang yang berbahaya.

"Yang harus kamu ingat adalah dia akan selalu mencelakakanmu. Jadi sebelum itu terjadi lebih baik kamu yang lakukan terlebih dahulu." Mark kemudian ikut bicara.

"Apa maksud Ayah?"

"Delilah, kamu itu seorang perempuan. Kamu seharusnya bisa menggunakan tubuhmu untuk menyingkirkan James Belgenza." Delilah masih terdiam tak mengerti.

"Jika kamu bertemu dengannya nanti, rayu dia setelah itu... bunuh dia!"