Desing mesin super cepat melaju melesat kencang di sirkuit F1 Austin. James berdiri di dekat pitstop dengan sebuah headphone sebagai alatnya berkomunikasi. Memakai kacamata hitam dengan kemeja biru Navy dan celana berbahan campuran Denim dari merk terkenal, sesekali ia menoleh mengikuti mobil yang melintas.
"Kita harus naikan RPM nya," ujar James pada kepala mekanik tim tersebut. Pria yang berada tak jauh darinya itu akhirnya mengangguk. Tugas James sudah selesai, sekarang tinggal menemui bos pemilik tim dan menerima pembayaran.
"Bagaimana?" tanya si pemilik tim pada James begitu ia masuk dan membuka headphone-nya.
"Seperti yang kamu inginkan, lebih cepat 12 detik." Pemilik tim tersenyum puas.
"Aku selalu puas dengan mesin buatan pabrikmu, Tuan Belgenza." James hanya tersenyum saja mendengar pujian untuknya. Salah satu asisten bos tim itu lalu memperlihatkan layar iPad dan pria itu mengangguk. Ia mengambil iPad itu lalu memperlihatkannya pada James, tanda bahwa uangnya sudah ditransfer. James tersenyum dan mengangguk.
"Tidak ada tim lain yang memiliki mesinmu kan, Belgenza?" James menyengir dan membuka sarung tangannya.
"Tidak," jawabnya singkat. Pria itu mengangguk lagi lalu menyengir merangkul James.
"Aku suka berbisnis denganmu. Semoga kita bisa bertemu lagi!" ujarnya terkekeh dan James mendelik karena tak suka dirangkul oleh orang asing.
"Aku harus pergi!" ujar James dingin. Ia segera berbalik dan berjalan keluar dari bengkel tim tersebut dan dari sirkuit dengan Earth mengikutinya.
"Aku tau si brengsek itu memata-mataiku. Jual saja mesinnya satu minggu lagi, dia pasti akan kalah di awal musim!" ujar James pada Earth dan salah satu pengawal barunya Grey Hunter.
"Akan kupastikan mengirim mesinnya pada Lotus, Tuan," ujar Grey menanggapi. James mengangguk dan menyadarkan kepalanya menatap pemandangan luar mobil. Ia akan ke bandara untuk menaiki pesawat pribadinya lagi.
"Apa pekerjaanku sudah selesai?" tanya James beberapa saat kemudian pada Earth.
"Untuk saat ini sudah. Aku sedang mengumpulkan informasi tentang Arjoona Harristian. Saat ini aku hanya baru tau jika dia bekerja di pabrik elekronik milik Winthrop di Jakarta." Kening James mengernyit dan menoleh melihat kepala belakang Earth yang sedang membawa mobil.
"Perusahaan itu... milik Gerald Winthrop?"
"Benar... ayah dari Vincent Winthrop. Tersangka utama kita." James menghela napas dan menoleh ke arah luar lagi.
"Untuk saat ini sebaiknya kita pulang ke Napoli dulu. Bukankah Mark Starley akan membayar utangnya besok?" sambung Earth lagi mengingatkan. James mengangguk tanpa melihat Earth.
"Bagaimana aku bisa lupa!"
VIMERO, NAPOLI
Delilah sudah kembali ke toko bunganya seperti biasa. Ayahnya belum pulang begitu pula Kakaknya. Tapi mereka mengirimkan surat bahwa mereka sedang berada di Milan untuk sebuah pekerjaan. Mark bahkan menulis jika ia sudah mengembalikan uangnya dan sedang bekerja untuk melunasi sisanya. Itu sebabnya mengapa ia pergi ke Milan bersama Oliver.
Perasaan tenang kini menyelimuti hati Delilah. Ia kini harus bekerja keras agar bisa mendapatkan uang untuk membayar utang pada rentenir, Tuan Felipe, sebelum akhir bulan depan.
Stevano kemudian datang dan masuk ke toko bunga tersebut. Ia tersenyum melihat Delilah sudah kembali seperti biasa.
"Masalahmu sudah selesai?" tanya Stevano sambil bersandar di konter kasir. Delilah tersenyum dan mengangguk.
"Iya, Ayahku sudah mengembalikan sedikit kini tinggal mencari sisanya. Dia sedang ke Milan untuk mencari uangnya." Stevano mengatupkan bibirnya dan mengangguk mengerti.
"Berarti aku sudah bisa pinjam uang darimu bukan?" ujar Stevano. Delilah mengernyitkan kening.
"Aku belum punya uang, Stevano." Delilah lalu kembali pada aktivitasnya merangkai buket bunga. Stevano mendengus kesal dan mulai mengambek.
"Bukannya kamu bilang, uangnya sudah dibayar? Itu artinya kamu tak punya lagi utang!"
"Tapi kan aku harus membayar utang Tuan Felipe. Bukankah aku sudah memberimu uang dari uang pinjaman itu?" Stevano terdiam dan membuang wajahnya.
Di depan sebuah gang, James keluar dari mobilnya di depan sebuah gang yang hanya muat satu mobil dengan sebuah SUV berisi anak buahnya mengikuti. Ia mengernyitkan kening pada Earth yang sedikit tersenyum.
"Apa ini?"
"Ini toko bunga Nona Starley, Tuan!" jawab Earth. James menarik napas dan berjalan ke depan toko tersebut.
"Siapa yang mau membeli bunga di tempat sempit seperti ini?" gumamnya sinis. Ia kemudian memberi kode dua orang pengawalnya untuk masuk dan membuka pintu. James kemudian masuk diikuti oleh Earth, sedangkan sisa anak buahnya menunggu diluar.
Delilah dan Stevano menoleh bersamaan ketika pintu dibuka dan dua orang pria masuk. Lalu diikuti oleh James Belgenza. Mata Delilah membesar melihat penguasa Napoli itu ada di depannya. Mata James sempat memutar melihat sekeliling.
"A-apa yang kamu lakukan disini?" tanya Delilah dari balik konter dengan suara sangat gugup.
"Aku menagih uangku." James menjawab singkat. Delilah jadi heran dan terkejut. Lho bukannya utang itu sudah dibayar?
"Aku menunggu dari kemarin tapi kamu tak kunjung datang mengembalikan uangnya," sambung James lagi. Delilah makin tak mengerti.
"Tapi a-aku sudah membayarnya Tuan J," jawab Delilah dengan kening mengernyit. Stevano lalu berbalik dan menyampingkan tubuhnya melihat James.
"Siapa kamu?" tanya Stevano tanpa takut pada James. James sedikit menoleh dan baru menyadari jika ada seorang laki-laki yang lebih muda darinya ada disana.
"Kamu siapa?" James balik bertanya dengan nada ketus.
"Dia pacarku, Tuan J," jawab Delilah. James balik menatap Delilah. Ia langsung tidak suka mendengar kalimat itu sekaligus merasa... cemburu.
"Jadi kamu punya pacar!"
"Kenapa memangnya? Ada masalah denganmu!" sahut Stevano seakan menantang James. James lantas melirik dengan ujung mata dan wajah sinis.
"Aku paling tidak suka jika orang menyahutiku. Apa lagi anak kecil sepertimu!"
"Memangnya kamu siapa.... aaakhh!" James langsung mencekik leher Stevano dengan sebelah tangannya sebelum ia menjawab. Delilah memekik kaget dan mulai ketakutan. James bukan orang punya belas kasihan, ia bisa mematahkan leher Stevano dengan sebelah tangannya.
"Lepaskan dia!" ujar Delilah mencoba menolong dengan menghampiri James yang sedang mencengkram leher Stevano.
"Aku mohon Tuan J, lepaskan dia!" pinta Delilah memohon hampir menangis melihat Stevano sudah hampir tak bisa bernapas. Earth dan dua pengawal James diam saja menyaksikan adegan itu.
"Berani kamu menjawabku lagi dengan nada seperti itu, aku patahkan lehermu!" ancam James lalu melepaskan cengkramannya. Stevano langsung terduduk jatuh dan Delilah spontan berlutut memegangnya.
"Stevano... kamu baik-baik saja?" tanya Delilah mulai menangis. Stevano sudah lemas dan terbatuk-batuk sambil memegang lehernya yang memerah. Sedangkan James memandang Delilah dengan pandangan tidak suka. Ia terlalu dekat dengan pria itu. Tangan James lalu menarik lengan Delilah memaksanya untuk berdiri. Dengan memaksa, wajah keduanya kembali dekat. James menggeram kesal dan hendak meluapkan emosinya tapi mata biru polos yang memandangnya itu membuat kemarahannya turun.
"Mana uangku?" tanya James dengan sisa kegeramannya.
"A-aku sudah memberikannya Tuan J. Aku sudah mengembalikan uangmu!" jawab Delilah setengah terisak ketakutan.
"Mana Ayahmu!"