Delilah yang masih meneteskan airmata kini duduk di samping pintu kamar sambil memeluk lututnya. Ia masih belum percaya jika Ayahnya menjualnya pada James Belgenza. Ia kini menjadi budak pria yang tak dikenalnya. Padahal seminggu lalu Ayahnya datang meyakinkannya jika ia hendak melindungi Delilah dengan mengembalikan uang tersebut. Delilah kemudian ingat kalimat yang diucapkan Oliver sebelum dia pergi.
"Apa itu sebabnya dia bicara seperti itu padaku? Karena dia tau?" tanya Delilah pada dirinya sendiri. Delilah menunduk lagi, sambil terisak ia meraba kalung peninggalan sang Ibu yang diwariskan Neneknya sebelum meninggal.
"Apa yang harus aku lakukan, Ibu? Aku terjebak disini," gumam Delilah menarik napas untuk bisa menenangkan diri. Ia sangat ketakutan dan tak bisa berpikir. Delilah lalu melihat tubuhnya, ia masih memakai jas yang diberikan James sebelumnya. Pria itu jahat, tapi Delilah merasa nyaman memakai jasnya. Ia bahkan menarik ujung jas hitam itu agar lebih menutupi tubuhnya.
Delilah masih duduk di posisi yang sama. Matanya yang masih basah kini menjelajahi luasnya kamar master itu. Mulutnya terbuka perlahan melihat besar dan megahnya kamar tersebut. Memadukan design minimalis sekaligus vintage membuat kamar tersebut jadi hangat, intim tapi tetap modern.
"Kamar apa ini? Mengapa besar sekali!" gumam Delilah masih terkagum dengan mewah dan luasnya kamar itu. Delilah makin tak berani berdiri, dia masih terus duduk memeluk lututnya menyudutkan diri dengan besarnya dunia yang baru ia masuki.
Sementara di luar, James sedang menyelesaikan percakapannya dengan Jayden tentang rencananya kembali ke Jakarta menjemput Arjoona.
"Kamu yakin mau pulang?" tanya Jayden.
"Yah... aku mau menjemput Adikku. Lagipula dia bekerja untuk Winthrop. Bukankah menurut laporan yang kamu bawa jika Putra pemilik Winthrop adalah pembunuh orang tua Joona?"
"Ya memang, biarpun begitu ada yang janggal disini. Mungkin ketika di Jakarta kita bisa menyelidiki semuanya." James bergumam setuju.
"Kalau begitu aku susun jadwalku dulu. Apa kita akan berangkat bersama?" tanya James sambil berjalan ke arah dapur.
"Kita lihat nanti. Aku harus mengikuti beberapa tes untuk operasi Ratu sebelum berangkat."
"Baiklah. Kita bicarakan nanti. Jaga dirimu, Jay!"
"Kamu juga!" James pun menutup sambungan teleponnya dan mengambil celemek lalu mengikat di pinggang. James setara dengan chef profesional. Ia pintar memasak dan sering membuat makanannya sendiri. Meskipun mansion mewah itu memiliki chef bintang lima tapi jika James sedang kesal, ia akan memasak untuk meredakan emosinya.
Tanpa bicara, James membuat makan malam untuk dua orang. Dengan cekatan, ia mengambil bahan dan sayuran dari kulkas lalu mencuci dan memotongnya menjadi beberapa bagian yang ia inginkan. Ia juga memanggang daging dan beberapa sayuran dengan bumbu yang sudah dipersiapkan.
Hanya butuh waktu kurang dari 40 menit dan semuanya selesai. Dua porsi menu steak dan mushroom soup beserta sayuran dan mash potatoes. Usai menata makanan itu, James menghidangkan sendiri di meja makan. James kembali mencuci tangan lalu mengeringkannya. Sebelum makan, ia hendak membersihkan diri dan mengganti pakaian.
Dengan santai, ia masuk ke dalam kamar. Ketika membuka pintu, Delilah masih duduk di dekat pintu. Mata Delilah naik dari ujung sepatu James sampai ke wajahnya. James berdiri di depan Delilah dengan berkacak pinggang.
"Kenapa masih duduk disitu!" tanya James ketus. Delilah tak menjawab dan hanya menunduk saja. Tak mendapat jawaban, James kemudian menarik lengan Delilah agar ia bangun.
"Ganti bajumu!" ujar James sambil menarik jasnya yang melingkar pada tubuh Delilah. Ia memegang jas itu dan terlihatlah pakaian Delilah yang sudah sobek.
"B-biarkan aku pulang, Tuan J!" James mendengus sinis.
"Kamu tidak dengar kata-kataku tadi atau pura-pura tuli!" sindir James.
"Aku tidak punya pakaian!" sahut Delilah memberi alasan. James menaikkan ujung bibirnya lalu menarik tangan Delilah untuk ikut bersamanya. Ia dibawa masuk ke dalam sebuah ruangan. Ruangan itu berisi lemari dan pakaian-pakaian, sepatu, aksesories, dan segala perlengkapan yang dibutuhkan James. Ruangan yang cukup besar itu layaknya sebuah butik, lengkap dengan manekin yang memajang beberapa jas mahal.
James menarik tangan Delilah ke depan sebuah lemari. Ia menggeser pintu lemari itu dan terlihatkan berbagai macam pakaian wanita sampai pakaian dalam. Mulut Delilah terbuka dan matanya membesar. Untuk apa lemari pakaian wanita berada di dalam walk in closet milik pria seperti James?
"Pilih yang kamu mau, ganti pakaianmu. Bajumu sudah sobek!" perintah James dengan gampangnya. Delilah masih tak percaya. Kapan dia menyiapkan pakaian-pakaian ini? atau jangan-jangan dia memang memiliki koleksi pakaian wanita untuk...?
"Apa yang kamu pikirkan? Kenapa belum mengganti bajumu!" sahut James membuyarkan lamunan Delilah. Delilah sempat tersentak dan menunduk lagi. Ia kemudian memandang pakaian-pakaian indah itu. Delilah tak pernah mendapatkan pakaian baru seumur hidupnya. Ia hanya membeli pakaian setahun sekali pada toko-toko pakaian yang menjual pakaian yang tak lagi laku. Itu sebabnya pakaiannya selalu model lama dan kadang sudah ada yang sobek. Tapi Delilah mensyukuri segalanya. Kemiskinan yang ia alami seumur hidupnya tak menjadikannya putus asa berusaha.
James lalu duduk di sebuah sofa ruang ganti yang terletak di belakang Delilah sambil terus memandang gadis itu. Tangan Delilah menjulur perlahan menyentuh ujung pakaian tersebut. Sebuah dress babydoll sederhana menarik perhatiannya. Begitu ujung jemarinya menyentuh kain dari dress tersebut, Delilah langsung mundur. Ia spontan berbalik menghadap James.
"Sudah memilih yang kamu mau?" tanya James dengan dingin.
"A-aku pakai baju ini saja Tuan J. Aku tak apa. Aku hanya ingin pulang," jawab Delilah menarik sobekan pakaiannya itu agar kembali menutupi lengan.
"Kamu benar-benar keras kepala!" James berdiri lalu mengambil dress babydoll yang sempat disentuh Delilah dan memberikannya.
"Pakai ini!" Delilah terpaksa mengambil karena telah disodorkan paksa oleh James. James kemudian duduk kembali di sofa itu dan melipat kakinya. Kening Delilah jadi mengernyit, apa maksudnya semua ini?
"A-apa yang kamu lakukan Tuan J?"
"Ganti bajumu, Candy!" jawab James dengan santai.
"Di depanmu?" James mengangguk. Delilah spontan menggeleng.
"Aku takkan pernah melakukannya!" James tertawa dan bangun dan menghampiri Delilah yang sudah mundur merapat ke lemari.
"Wanita lain biasanya langsung melepaskan pakaian mereka tanpa aku minta. Tapi kamu yang berhutang padaku malah tak mau mengganti pakaianmu di depanku. Yang ingin aku lihat apakah jaminanku memenuhi kriteria tubuh yang aku inginkan." Delilah makin memandang aneh pada James dan tetap menggeleng. James makin menaikkan ujung bibirnya.
"Dasar, anak kecil!" gerutu James lalu berjalan ke arah sebuah lemari sambil membuka kancing kemejanya satu persatu. Lalu ia membuka kemeja itu sambil membelakangi Delilah. Mata Delilah membesar melihat punggung atletis James. Tapi yang menarik perhatiannya bukan itu melainkan beberapa bekas luka di punggungnya yang terlihat sangat jelas.
Terdapat sebuah tato pheonix di salah satu sisi pundak belakangnya dan dua buah tahi lalat yang membentuk garis lurus diantara tulang belakang yang terlihat sangat jelas. Delilah sampai menelan ludahnya beberapa kali saat terutama saat James berbalik dan menyengir melihat Delilah dengan pipinya yang merona parah.
"Kamu mau tidur denganku!" todong James dengan nada angkuh. James mendengus sinis lalu berjalan melewati Delilah untuk masuk ke dalam sebuah ruangan yang ternyata adalah kamar mandi. Delilah masih terperangah dan memejamkan mata lalu membuat tanda salib sambil memohon ampun.
"Maafkan aku, Tuhan. Aku sudah berdosa. Aku tidak seharusnya melihat itu!" ucap Delilah sambil memohon ampun. Delilah langsung mengganti pakaiannya buru-buru sebelum James keluar dari kamar mandi. Setelah selesai, ia mengendap keluar dan ingin kabur. Tapi Earth berdiri di depan pintu kamar James sambil tersenyum manis pada Delilah yang menyengir aneh.
"Silahkan Nona Starley, waktunya makan malam. Tuan J sudah menyiapkan makan malam untukmu!" ujar Earth dengan senyuman ramah.
"Haa... makan malam?" Earth mengangguk lagi lalu Delilah melihat jam tangannya dan waktu memang sudah lewat pukul 6 sore. Matanya membesar melihat waktu sudah terlalu lama ia habiskan di mansion mewah itu tanpa bisa pulang.
"A-aku..."
"Silahkan Nona, di sebelah sini!" potong Earth membawa Delilah yang mau tak mau harus mengikuti.