Chereads / The Seven Wolves: The Collateral / Chapter 22 - What a Steak!

Chapter 22 - What a Steak!

Plak- telapak tangan James memukul sebelah pantat Delilah lalu menggosokkannya agar rasa sakitnya sedikit berkurang. Tapi Delilah tak berhenti menangis karena kesakitan.

"Lepaskan aku," isak Delilah tapi masih harus menerima beberapa pukulan lagi.

"Sekarang minta maaf!" perintah James dengan nada dingin dan suara rendah yang menakutkan. Sambil terisak, Delilah menarik napasnya yang tersegal.

Plak- James memukul lagi dan Delilah berteriak kesakitan.

"Aaahkk...!"

"Aku bilang minta maaf!"

"Maafkan aku, Tuan J. Tolong berhenti!" isak Delilah tersengal dan kesakitan dengan rasa perih di bokongnya. Ia pasti takkan bisa duduk dengan kulit merah dan perih seperti itu.

"Sekarang berjanji untuk menurut padaku!" ancam James lagi dan bersiap akan memukul jika Delilah tak mau menurutinya.

"Aku berjanji... aku mohon berhentilah. Rasanya sangat sakit!" James melepaskan pegangannya lalu menarik tubuh Delilah dan ia duduk di pangkuan James.

"Aaahh!" Delilah meringis kesakitan karena bokongnya dipaksa duduk oleh James.

"Lihat yang kamu lakukan. Sekarang seluruh pakaianku basah!" gerutu James tanpa senyum dan pandangan mata tajam. Delilah yang juga sangat basah kuyup hanya bisa memandang James.

"Aku memintamu baik-baik untuk makan malam tapi lihat yang kamu lakukan. Sekarang kamu sudah membuatku basah dan mengotori sofaku. Bagaimana caranya kamu akan membayar?" todong James pada Delilah yang mulai pucat. Delilah tak menjawab dan hanya bisa terengah. James menghela napas dan menyandarkan punggungnya di sofa seakan melepaskan lelah.

Delilah yang merasa aneh karena malah duduk di atas paha James lalu berusaha untuk berdiri.

"Kamu ingin dihukum lagi ya!" gerakan Delilah spontan berhenti.

"Siapa yang memberimu ijin untuk turun?" sambung James lagi. Delilah menelan ludahnya dan tak jadi meneruskan niatnya. James lalu berdiri sambil menggendong Delilah bersamanya. Delilah yang kaget terpaksa berpegangan pada leher dan pundak James agar tak jatuh.

Tanpa beban, James membawa gadis itu masuk ke dalam kamar mandi mewahnya lalu meletakkannya ke dalam jakuzi. James menghidupkan keran dibawah lantai jakuzi dan air hangat perlahan keluar dengan cepat menggenangi lantai jakuzi. Delilah tak mengerti apa yang terjadi sebenarnya jadi ia memandang James dengan ekspresi aneh. James kemudian memeriksa suhu air agar terasa nyaman bagi Delilah.

"Bersihkan dirimu. Kamu kotor dan bau!" ujarnya ketus. James berdiri lalu berjalan keluar dari kamar mandi dan menutup pintunya. Delilah melihat seluruh isi kamar mandi dan makin terperangah. Luas kamar mandi itu hampir sebesar apartemennya dengan sebuah jakuzi besar yang mewah. Air mulai memenuhi jakuzi dengan cepat. Beberapa bomb bath lalu keluar dengan otomatis dari salah satu celah.

Mulut Delilah makin terbuka dengan kemewahan yang diberikan James padanya. Tubuh Delilah makin dikelilingi air yang semakin meninggi lalu berbusa harum.

"B-bagaimana cara mematikan airnya?" tanya Delilah meraba-raba keran tapi tak menemukan sumber airnya. Tangannya berusaha menutup lubang air tapi air tak berhenti keluar.

"Ahhh... bagaimana ini!" Delilah jadi panik dan kebingungan. Sedang sibuk menutup saluran air, air tiba-tiba berhenti keluar. Sensor air sudah membaca jika airnya penuh dan berhenti otomatis. Delilah yang kebingungan tak mengerti teknologi makin kebingungan.

"Kenapa sekarang airnya berhenti? Wah... bak mandinya bisa menghentikan airnya sendiri!" pekik Delilah dengan ekspresi wajah polos.

Sementara James memilih mengganti pakaiannya yang basah dan mengeringkan rambut lembutnya dengan hair dryer. Masih bertelanjang dada, James memandang dirinya di depan cermin besar di depannya. Ia menoleh sejenak ke belakang melihat pintu kamar mandi yang masih tertutup. Lalu memandang lagi cermin di depannya dan ujung bibirnya menaikkan senyuman. Ia kemudian memakai sebuah T shirt lengan panjang warna hitam dengan celana sweatpants senada. Ia keluar dari kamar dan memanggil Earth di depan pintu kamar.

"Panaskan supnya, lalu masukkan saja makan malamnya ke kamar," ujar James memberi perintah. Earth mengangguk.

"Baik, Tuan!" James berjalan sambil menyisiri rambutnya menuju ke ruang kerjanya di lantai 3 mansion tersebut. Di dalam ruang kerja itu, CEO perusahaannya sudah menunggu.

"Maaf, aku menganggu Tuan Harristian. Aku harus menyelesaikan pengiriman kita malam ini." James yang baru masuk lantas mengangguk dan memberi kode dengan tangannya agar CEO itu duduk di depan meja kerjanya.

"Kita bahas laporannya dulu!" ujar James begitu duduk di kursinya. CEO itu mengangguk dan memberikan laporan yang diinginkan James.

Delilah selesai membersihkan diri dengan mandi air hangat yang menyegarkan. Rasa mengigil dan kotoran di kulitnya segera hilang setelah mandi. Ia jadi lebih segar dan makin cantik. Delilah juga ikut keramas dan terpaksa melepaskan kepangan pada kedua bagian rambutnya. Ia mengambil dua buah handuk, satu untuk melingkarkan di tubuh satunya lagi untuk membalut rambut panjangnya.

Delilah berdiri di depan cermin dengan wajah polos tanpa make up sama sekali dan kulit putih tanpa cela. Sekarang ia bingung harus seperti apa. Delilah mengambil pakaian yang tadi dilepaskannya. Sudah basah kuyup dan kotor terkena tanah. Tak sengaja Delilah meraba bagian dalam dan melihat merek pakaian tersebut di bagian tersembunyi dan tercetak khusus. Karena penasaran, Delilah mencoba membaca merek gaun yang dipakai sebelumnya.

"Versace..." ucapnya perlahan. Mata Delilah lalu membesar dan ia terkejut. Spontan ia menjatuhkan gaun itu ke lantai. Delilah lalu tersentak dan memungut kembali dress mahal itu.

"Baju mahal!" gumamnya setengah memekik. Sekarang Delilah yang belum berpakaian dan masih memakai handuk jadi kebingungan.

"Aku harus bagaimana?" tanya Delilah pada pantulan dirinya sendiri di depan cermin. Setelah agak sedikit tenang, Delilah memberanikan dirinya untuk keluar dari kamar mandi itu dengan mengendap-endap.

Ia melihat ke dalam walk in closet yang memang terhubung dengan kamar mandi tersebut. Delilah memastikan jika tak ada James di sana sebelum keluar. Delilah terpaksa memakai baju yang ada di dalam lemari yang sebelumnya ditunjukkan James padanya. Ia mengambil sebuah dress polos dengan rok dibawah lutut.

Delilah tak mau melihat apa merek pakaian itu lagi dan memilih menahan perasaan tak enak yang menghampiri karena memakai pakaian mahal. Bahan pakaian itu sangat nyaman dan lembut. Ukurannya juga langsung pas di tubuh Delilah.

Setelah tersenyum tipis, Delilah juga mengeringkan rambutnya menggunakan handuk. Ia memang melihat ada hair dryer di sana tapi memilih tak memakainya.

Dengan rambut tergerai dan kaki telanjang tanpa alas kaki, Delilah melangkah keluar dari walk in closet itu. Matanya terus melihat kanan kiri dan mencari sosok pemilik kamar. Ia harus memastikan jika pria jahat itu tak masuk ke kamar.

Malam ini sepertinya Delilah akan terjebak di mansion milik James Harristian. Ia berdiri di tengah-tengah kamar dengan perut kerocongan yang berbunyi cukup keras.

"Ah, aku lapar... aku haus," gumam Delilah sambil memegang perutnya. Kakinya lalu berjalan mencari pintu keluar tapi kemudian berhenti di depan sebuah sofa dengan meja di depannya.

Di atas meja tersebut dihidangkan makan malam yang dilewatkan Delilah sebelumnya. Sambil menoleh ke kanan kiri seolah ada yang mengawasi, Delilah akhirnya bergeser pelan dan duduk di sofa itu. Segelas air putih dan segelas susu hangat diletakkan di sebelah piring berisi steak dan mangkok mushroom soup. Delilah menungkupkan kedua tangan lalu berdoa dengan mata terpejam. Ia tersenyum dan menyelesaikan berterima kasih pada Tuhan atas makanan yang diberikan malam ini.

Delilah memulai dengan minum air lalu menyipi sup jamur nya. Rasa hangat makanan enak langsung membuat Delilah memejamkan mata.

"Supnya benar-benar enak... terima kasih Tuhan. Aku pasti bermimpi bisa makan seenak ini!" pekik Delilah seraya bergumam.

Tak ingin membuang waktu karena ia sudah sangat lapar, Delilah mulai memotong steak dan memakannya. Setiap gigitan membuat Delilah ingin menangis terharu. Rasanya begitu enak dan tak terbayangkan akan bisa memakannya saat ini.

Keasikan makan, Delilah tidak sadar bahwa James masuk ke dalam kamar dan sempat melihatnya asik menghabiskan makan malam. James berdiri di dekat sofa dan tersenyum tipis memandang Delilah. Dia benar-benar seperti anak-anak yang menyukai makanan enak.

Dengan santai, James lalu duduk di sebelah Delilah dan merentangkan lengan di sandaran sofa. Delilah yang terkejut lalu sedikt beringsut ke belakang. Tapi tangan James lebih cepat menarik pundaknya sehingga Delilah jadi sedikit menempel pada James. Sebelah tangan Delilah masih memegang potongan steak yang tak sadar ia arahkan di tengah mereka. James yang melihat potongan steak itu lalu melahapnya dengan santai. Mata biru Delilah membesar melihat James yang memakan makanannya.

"Kamu suka steaknya? Kalau begitu, kamu harus berterima kasih pada chef-nya!" ujar James dengan nada menggoda sambil menaikkan alis dan tersenyum licik.