James keluar dari sebuah mobil mewah di bandara internasional di Jakarta. Ia menoleh pada pria yang membawanya, Edward Belgenza.
"Kita mau kemana?" tanya James dengan pandangan polosnya. Edward sedikit tersenyum lalu mengajak James berjalan ke dalam lobi bandara.
"Kita akan ke Italia," ujar Edward kemudian. James berhenti berjalan dan berdiri terpaku. Edward yang berjalan lebih dulu lalu ikut berhenti dan menoleh ke belakang.
"Ada apa J?" tanya Edward. Ia sampai berbalik dan menghadap anak laki-laki yang berusia 12 tahun itu.
"Tapi... aku tinggal disini," jawab James memandang Edward dengan mata sedih. Edward menghela napas dan mengangguk. Ia lalu berjongkok agar setinggi dengan James.
"Aku tidak pernah menyelamatkan seorang pun selain dirimu. Jika aku tidak membelimu, maka mungkin sekarang kamu sudah mati dibeli dan perdagangkan seperti barang. Kamu mengerti kan?" James menundukkan kepalanya.
"Aku tau rumahmu disini. Tapi rumah itu tak menginginkanmu. Mungkin... jika kamu ikut denganku, aku bisa memberikanmu rumah yang lebih baik," sambung Edward sambil memegang lengan James.
'Apa aku harus percaya padanya?' tanya James dalam hatinya.
"Apa kamu tidak percaya padaku?" Edward kembali bertanya seolah ia bisa membaca pikiran James. James tak menjawab dan hanya memandang tajam saja pada Edward.
"Bagus jika kamu tak percaya padaku. Jangan percaya siapapun selain dirimu sendiri, J. Mengerti?" James mengangguk dua kali.
"Anak pintar!" ucap Edward lalu mengelus kepala James. Ia berdiri dan berjalan kembali ke dalaam tanpa mengajak James. James lalu menoleh ke arah belakang dan melihat para calon penumpang serta mobil-mobil yang menurunkan mereka.
"Aku akan kembali, Joona. Aku akan mencari uang dan mencarimu kembali adikku, tunggu aku!" gumam James lalu berbalik dan berlari mengejar Edward. Edward tersenyum saat melihat James memilih berada di sisinya kembali. Ia telah memutuskan untuk pergi dari kota yang tak menerimanya atau keluarga yang tak menginginkannya.
Edward membawa James sebagai anak angkatnya. Ia sendiri tidak memiliki keturunan dan tinggal menghabiskan masa tua bersama istrinya, Milenia. Namun sebelum ia bisa melihat James sesukses sekarang, ia meninggal karena serangan jantung.
Edward juga membawa James masuk ke dalam lingkaran Il Rosso. Sebagai bagian dari keluarga Belgenza, James dianggap sebagai pewaris. Ia akhirnya diangkat anak oleh Fabrizio Belgenza, Kakak Edward. Tujuannya adalah kelompok mafia itu bisa dipimpin oleh James nantinya. Fabrizio sangat menyayangi James terlebih anak itu sudah menyelamatkan nyawanya dari penusukan yang dilakukan oleh lawan mereka.
James menjadikan dirinya tameng hidup sang Ayah dan terkena luka tusukan yang hampir merengut nyawanya. Namun kesetiaan James dipandang sebagai ancaman oleh salah satu tangan kanan Fabrizio, Gabriel Moretti. Gabriel bergabung dengan Il Rosso sejak ia masih remaja. Ia berusaha keras agar Fabrizio terkesan, tujuannya adalah agar sang Godfather akan memberikan kekuasaan padanya kelak.
Langkahnya terganjal James yang tiba-tiba datang dibawa oleh Edward ke lingkup kelompok itu. James gampang disukai karena wajah tampan dan kepintarannya. Ia bersekolah namun juga menjadi anggota gengster pada saat yang bersamaan.
Ketidaksukaan Gabriel pada James kemudian membuatnya beberapa terkena fitnah. Untungnya Fabrizio begitu menyayangi putra angkatnya sehingga Gabriel akhirnya mengambil langkah yang jauh lebih berani.
Ia membuat para sekutu Belgenza membelot untuk melawan dan membuat masalah. Saat semua terjadi bersamaan dan kacau, ia mengambil kesempatan untuk meracuni The Godfather. James yang mengetahui hal itu karena ia yang menyelidiki hal itu tak dipercayai oleh anggota elit lainnya. Mereka memilih meninggalkan keluarga Belgenza daripada dipimpin oleh James yang masih berusia 18 tahun ketika itu.
Gabriel Moretti menjadi puncak daftar buronan yang paling dicari oleh James. Ia sudah bersumpah akan membunuh Moretti dengan tangannya sendiri. James mengumpulkan kembali sisa kekuatan keluarga Belgenza yang meredup setelah ditinggal sang Ayah. Dengan segala modal dan kemampuan memimpin, James membangun kembali bisnis serta kejayaan Belgenza di Napoli.
Kini setelah lima belas tahun berlalu semenjak kematian Ayah angkatnya Fabrizio, James sudah memperoleh segalanya. Hanya satu yang tak ia peroleh yaitu kenikmatan untuk bisa tidur nyenyak. Ia selalu dihantui mimpi buruk dari masa lalu atau trauma saat melihat Ayahnya meninggal diracun.
Kini James juga tak bisa tidur dan memilih menghubungi Jayden yang sudah pindah ke New York. James bahkan bercerita tentang Delilah dan Jayden yang baik hati mendengarkan dengan baik.
"Bagaimana jika dia tetap tak bisa membayar? Apa kamu akan memutilasinya!" sindir Jayden sebelum mengakhiri obrolan mereka.
"Aku rasa..."
"James!" tegur Jayden cepat.
"Lalu kamu ingin aku melakukan apa? Melepaskannya begitu saja!"
"Biarkan dia keluar jadi dia bisa mencari uang dan membayarnya padamu!" balas Jayden tak kalah cepat.
"Dia sudah menipuku! Dia bilang sudah memberikan uangnya tapi aku bahkan belum menerima sepeserpun!" sahut James kesal. Ia duduk di atas ranjang di salah satu kamar tamu di mansionnya.
"Aku penasaran, memangnya berapa jumlah uang yang dia pinjam darimu!" tanya Jayden dan James sedikit terdiam.
"Ehh... 100 ribu Euro. Dan bunganya 10 persen perhari," jawab James dengan gampangnya.
"Itu artinya sekitar $117.850. Dan kamu membebaninya bunga 10 persen perhari?"
"Tepat sekali!" sahut James tanpa rasa bersalah.
"James... bahkan sepatumu tak ada seharga 100 ribu Euro. Apa kamu sudah gila menjebak gadis miskin seperti itu? Kapan dia akan bisa membayar!"
"Dia tidak akan bisa membayar!" sahut James cepat. Tapi kemudian beberapa detik kemudian, ia baru sadar dengan yang telah dikatakannya. James sampai menutup mata dan menarik napas sementara Jayden terdiam dan tak bicara.
"James... kamu menyukainya ya?" tanya Jayden membuyarkan keheningan pada pembicaraan mereka.
"Tidak!" jawab James ketus.
"Oh ya?"
"Jay sudahlah. Aku meneleponmu karena ingin bercerita. Aku tidak bisa tidur!"
"Ya... ya... maafkan aku. Berceritalah aku akan mendengar," ujar Jayden bersiap mendengarkan cerita James agar dia bisa tidur.
"Aku tidak tau harus bercerita apa!" balas James jadi kesal.
"Kalau begitu lihat saja ke kamar apa gadis itu sudah tidur atau belum. Mungkin saja dia belum tidur dan kalian bisa mengobrol, hehehe," celetuk Jayden menggoda James.
"Kamu benar-benar menyebalkan!" gerutu James dan Jayden makin tertawa lebih keras. James langsung memutuskan panggilan dengan rasa kesal. Bahkan Jayden sendiri menggodanya karena gadis itu.
James lalu mencoba tidur dengan memeluk guling. Matanya terbuka cukup lebar dan ia makin tak mengantuk.
"Gadis itu memang membawa kesialan padaku!" rutuk James lantas bangun dan keluar dari kamar. Ia kemudian masuk ke kamarnya dan menemukan Delilah ternyata sudah tertidur di ranjangnya dengan nyaman.
"Senangnya bisa tidur, ya!" ejek James berdiri di samping ranjang sambil melipat kedua lengan di dada dan memperhatikan Delilah yang tidur menyamping. Ia sangat nyenyak karena kelelahan akibat semua kejadian yang terjadi seharian ini.
James masih terus memandang wajah Delilah yang terlelap seperti sebuah boneka hidup. James lalu berjongkok untuk melihat lebih dekat. Seutas senyuman tak sengaja terpancar dari bibir penuhnya. Tangan James kemudian menjulur ke depan dan ujung jari telunjuknya lalu menyentuh rambut pirang Delilah.
Jari itu semakin turun dan hampir menyetuh ujung bibir Delilah yang pink merona alami. Bibir tipis itu dihiasi oleh hidung mancung mungil dengan sebuah tahi lalat kecil di salah satu sisinya.
"Dasar Candy! Kamu masih bisa tidur dalam keadaan seperti ini. Apa kamu tidak memikirkan bagaimana cara membayar utangmu?" gumam James bertanya. Sambil menghela napas, ia berdiri dan berjalan keluar dari kamarnya sendiri. James tak pernah tidur seranjang dengan wanita manapun. Baginya, tidur adalah hal yang sangat personal dan ia tak pernah membaginya dengan siapapun.
Keesokan harinya, Delilah bangun pagi-pagi seperti kebiasaannya. Awalnya ia menggeliat kecil lalu menguap dan bangun dari tidurnya yang nyenyak. Namun begitu ia bangun dan melihat jika di sekelilingnya bukan kamar tidurnya, ia tersentak.
"Kenapa aku masih disini! Aku kira yang kemarin itu mimpi!" sahut Delilah pada dirinya masih bolak balik memutar pandangan pada kamar mewah itu. Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan James masuk dengan setelan jas rapi dan sangat tampan.
"Sudah bangun, Candy? Ikut aku, kita perlu bicara soal utangmu!" ujar James dingin lalu berbalik pergi meninggalkan Delilah yang bahkan belum mencuci wajahnya.