Chapter 25 - Runaway

Delilah berlari ke kamar mandi dan mencuci wajahnya terburu-buru. Ia belum sempat mandi karena James Harristian bukanlah orang yang suka menunggu. Usai sedikit membersihkan dirinya, Delilah lalu diantarkan Earth ke dalam ruangan kerja James.

James terlihat berdiri di depan jendela besar di dekat sebauh perapian. Delilah yang ditinggal Earth berdua saja dengan James lalu berjalan masuk ke dalam ruangan itu dengan langkah takut-takut. Ia berhenti di depan meja kopi dan terus memilin jemarinya menunggu James bicara.

Setelah melepaskan satu tarikan napas, James berbalik menghadap Delilah yang setengah tak berani memandangnya.

"Apa kamu sudah memiliki cara untuk membayar utangmu?" tanya James tanpa basa basi. Delilah nampak diam lalu mengangguk. James tak bertanya lagi, ia mengangkat alisnya.

"Aku bisa menjadi pelayan," sahut Delilah mencoba lagi. Wajah Delilah yang semula sedikit tersenyum perlahan pudar dan makin menurunkan bahunya. James memandangnya tajam dan dingin tanpa ekspresi apapun.

"Kamu masih belum menyerah juga ya? Aku sudah bilang aku tidak butuh pelayan. Kamu kira aku tuli?" Delilah menggeleng. James berjalan pelan dan makin mendekati Delilah. Sedangkan kaki Delilah seperti memiliki pikirannya sendiri. Ia otomatis mundur.

"Berhenti... kenapa terus mundur!"

"I-itu... Tuan yang maju," jawab Delilah dengan suara kecil. James lalu memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana.

"Ayahmu dan aku punya perjanjian. Dan itu tak tertulis di dalam kertas itu. Tapi dia menjanjikan aku sesuatu. Jika kamu tidak punya uang kamu bisa membayar dengan cara lain," ujar James masih dengan ekspresi yang sama. Ekspresi Delilah justru berubah.

"Membayar dengan cara apa?" ujung bibir James naik dan tersenyum sinis.

"Apa benar kamu masih perawan?" tanya James tanpa malu-malu. Delilah mengernyitkan kening awalnya tak mengerti. Ia mengangguk perlahan masih mencoba mencerna.

"Kalau begitu kamu bisa membayar uangmu dengan tidur denganku dan menjadi..." mata James menyisiri tubuh Delilah dari atas sampai bawah.

"Bonekaku," sambung James tanpa rasa kasihan.

Delilah terperangah dan matanya mulai berair. Ia tak menyangka jika tubuhnya bahkan dijual sang Ayah untuk bisa melunasi utang.

"Aku bukan pelacur, Tuan J," jawab Delilah dengan nada rendah dan mata berair. James sempat tertegun melihat mata biru itu memancarkan kesedihan. Tapi ia bukan orang yang penyayang jadi James mencoba tak perduli.

"Aku tidak pernah tidur dengan pelacur. Wanita yang aku tiduri hanyalah perawan atau wanita baik-baik. Aku tidak akan tidur dengan wanita yang bergonta ganti pasangan atau semacamnya, kecuali aku pernah melakukan kekeliruan sekali. Tapi itu tidak termasuk." James menjelaskan dengan angkuh. Delilah mengatupkan bibir dan menahan emosi di rahangnya. James sudah menyamakannya dengan wanita murahan yang menjual tubuhnya demi uang.

"Aku tidak akan pernah menjual tubuhku!" sahut Delilah setengah menggeram.

"Apa aku perlu menjual organmu agar utangmu lunas!" balas James cepat mengancam Delilah. Delilah terdiam dan menelan ludahnya. Ia menarik napas yang mulai tersengal beberapa kali.

"Aku sudah bilang aku bukan pria yang memiliki belas kasihan. Aku tidak segan-segan memutilasimu dan menjualmu ke pasar gelap. Aku rasa tubuhmu tak lebih dari 70 ribu Euro jika aku menjualnya. Kamu bahkan tak bisa menutupi bunga utangmu sama sekali!" ejek James makin menjadi-jadi. Delilah hanya bisa diam saja dan menahan tangisnya.

"Aku mau pergi bekerja. Jadi aku beri kamu waktu untuk memutuskan akan seperti apa membayar utangmu. Pilihannya hanya dua, jadi bonekaku atau menjual potongan tubuhmu ke pasar gelap. Aku tak masalah kamu memilih yang mana." James lalu berbjalan melewati Delilah dan keluar dari ruang kerja tersebut.

Airmata Delilah seketika tumpah tapi ia berusaha keras menahan isakannya. Pada akhirnya ia malah jadi boneka pemuas nafsu seorang pria. Delilah tak mau hidupnya berakhir seperti ini. Kalimat Oliver, Kakaknya tiba-tiba terlintas.

"Jangan biarkan pria itu menyentuhmu meskipun hanya ujung rambut. Lawan dia, dia bukan orang baik."

"Apa yang harus aku lakukan untuk melawannya Oliver?" gumam Delilah pada dirinya sembari menangis.

Sementara itu, James berjalan keluar dari mansion dan masuk ke dalam mobilnya. Hari ini Grey yang akan menjadi sopirnya sementara Earth duduk di sebelah Grey.

"Kita akan berangkat tiga hari lagi ke Jakarta, Tuan," ujar Earth memberikan laporannya. James hanya memandang dingin ke arah luar mobil.

"Apa kalian sudah menemukan dimana bajingan Mark Starley?" tanya James tanpa melihat pada Grey ataupun Earth di depannya.

"Sudah Tuan. Dia pulang ke Pensylvania. Dan aku sudah menyuruh orang kita untuk membawanya kembali kemari." Grey memberikan laporannya.

"Tidak usah. Aku akan ke Amerika sebentar lagi. Disana saja kita urus, terus saja mata-matai dia. Dia akan menerima konsekuensi dari menipuku," ujar James dengan nada rendah dan santai.

"Pastikan saja Candy tidak keluar dari mansion,' sambung James lagi.

"Candy?" tanya Earth memastikan bahkan sampai berbalik ke belakang melihat James.

"Maksudku Delilah!" potong James begitu sadar.

"Baik Tuan!" James menyembunyikan sedikit gurat malu dari wajahnya. Earth sampai melirik pada Grey yang ikut melakukan hal yang sama.

Di dalam mansion, seorang pelayan bernama Lordes bertugas untuk melayani semua keperluan Delilah. Pelayan itu adalah orang yang sama yang membereskan peralatan makan Delilah semalam.

"Apa ada lagi yang Nona butuhkan?" taya Lordes begitu selesai menghidangkan sarapan untuk Delilah. Delilah sempat melamun tapi kemudian ia menggeleng. Wajahnya kembali murung sambil menatap makanan di depannya.

Delilah merasa dirinya seperti sapi yang siap disembelih. Diberi makan untuk keesokan harinya akan dijagal. Mengingat itu Delilah kembali menutup wajahnya dan menangis. Lordes yang melihat lalu menghampiri dan bertanya.

"Aku harus pergi dari sini. Aku tidak boleh tinggal disini!" ujar Delilah pada Lordes seakan meminta bantuannya. Lordes tersenyum miris tapi ia tak mungkin menolong Delilah untuk pergi dari mansion itu.

"Sebaiknya Nona makan, agar tubuh Nona jadi segar kembali. Jika butuh aku, panggil saja. Aku di dapur," ujar Lordes tak memperpanjang obrolan tentang keinginan Delilah pergi dari mansion.

Lordes akhirnya meninggalkan Delilah sendirian di meja makan. Sambil terisak, Delilah menungkupkan tangan dan berdoa. Bukan mensyukuri apa yang sudah diberikan Tuhan padanya namun memohon agar diberikan jalan keluar untuk kabur dari mansion itu.

Delilah hanya makan seadanya dan mencoba mencari jalan keluar setelahnya. Ia sempat mandi dan membersihkan diri lalu mencoba keluar dengan berjalan-jalan di taman. Namun sebenarnya tujuan Delilah adalah agar dia bisa kabur.

Seluruh sudut di mansion itu dijaga ketat oleh puluhan pria berjas. Mata mereka terus mengikuti kemana pun Delilah pergi. Delilah dengan sabar menunggu. Ia berpura-pura duduk di taman sambil memegangi bunga-bunga. Ternyata di dekat taman samping terdapat sebuah pintu kecil yang hampir tak tampak jika tidak dilihat siang hari.

Delilah mendapat sedikit celah dan kesempatan saat seorang penjaga yang berkeliling kemudian berjalan menjauhi taman. Saat itulah Delilah menyusup diantara beberapa tanaman lalu keluar melalui pintu kecil itu. Pintu itu menghubungkan dengan jalan setapak yang cukup jauh dari janlan utama.

Delilah berlari sekencang mungkin agar ia tak tertangkap. Sesampainya ia di jalan raya, sambil tersenyum ia menyetop taksi dan kabur. Sementara James yang tengah bekerja di depan laptopnya kemudian diberi laporan oleh Earth bahwa Delilah kabur. James langsung menutup laptop dan berjalan keluar kantor sambil mengancing jas.

"Dimana dia sekarang?"

"Dia pulang ke apartemennya. Mungkin sebentar lagi akan kabur," jawab Earth.

"Dasar bodoh!" umpat James sembari masuk ke dalam mobilnya.

Delilah yang baru tiba di apartemennya lalu buru-buru masuk ke dalam kamar hendak membereskan pakaiannya. Ia berencana pergi sejauh mungkin dari James Harristian.

Baru menurunkan koper, beberapa ketukan terdengar dari depan. Seketika Delilah ketakutan dan ragu membuka pintu. Ketukan itu tak mau berhenti. Delilah pun mengendap lalu kemudian mengintip dari balik tirai. Dengan cepat, ia langsung membuka pintu.

"Stevano!" pekik Delilah lalu dengan spontan memeluknya. Stevano tak membalas pelukan Delilah sebaliknya ia malah menjauhkan Delilah dan masuk ke apartemennya.

"Aku minta kamu mengganti uangku!" ujar Stevano dengan ketus.

"Uang apa?"

"Uang dari kerugian yang kamu timbulkan selama ini. orang-orang Tuan Felipe mengejarku karena kamu pergi dengan pria itu dan tak membayar utang!" jawab Stevano makin marah. Kening Stevano lantas mengernyit. Ia melihat ada hal lain pada diri Delilah.

"Tunggu dulu, darimana kamu mendapatkan pakaian sebagus ini!" Delilah melihat pada tubuhnya dan menjawab dengan jujur.

"Ini bukan milikku, Tuan J yang memberikannya."

"Tuan J?"

"James Belgenza." Stevano langsung membuang muka.

"Sekarang aku mengerti... kamu sudah menjadi salah satu simpanannya kan!" tunjuk Stevano pada Delilah. Delilah spontan menggeleng.

"Itu tidak benar!"

"Lalu untuk apa dia memberikanmu barang mahal jika bukan karena kamu sudah berselingkuh dengannya!" tuduh Stevano makin meninggikan suara.

"Tidak, Stevano. Aku tak pernah mengkhianatimu!" Delilah mencoba membujuk Stevano tapi pria itu memang sedang jual mahal. Ia mendorong Delilah dan terus menuduhnya berbuat hal jahat dibelakangnya. Tiba-tiba pintu depan terbuka dan sosok James masuk bersama beberapa pengawalnya.

Stevano yang awalnya berdebat dengan Delilah malah terdiam karena James datang. Melihat ada pria lain di apartemen Delilah, James spontan cemburu. Ia menarik kerah pakaian Stevano dan mulai memukuli perutnya.

"Kamu pikir siapa dirimu berani menyentuh dia!" hardik James pada Stevano yang kesakitan meringkuk di lantai. Pandangan James lalu beralih pada Delilah.

"Kamu benani kabur... kalau begitu kamu berani menghadapi hukumannya."