"Heh... sini kamu!" hardik penjaga panti memanggil James yang sedang bermain dengan Arjoona, adiknya. Tangan kurus Joona menarik lengan James, tapi ia memegang tangan Joona seolah mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. James berdiri menghampiri penjaga panti yang sudah berkacak pinggang itu.
"Kamu siap-siap. Ada yang mau adopsi kamu. Besok pagi kamu pergi!" ujar penjaga itu lalu berbalik pergi. James mengernyitkan kening lalu menoleh pada Joona yang sedang duduk bersila dibelakangnya. Arjoona yang lusuh hanya diam saja memandang James. Ia ikut mendengar yang dikatakan oleh penjaga panti itu.
James pun berjalan kembali menghampiri Arjoona. Kali ini ia duduk bersila di depan Joona.
"Joona, aku harus pergi," ujar James dengan nada rendah dan wajah sedih. Ia sama lusuhnya dengan Arjoona Harristian, yatim piatu yang berbagi nama dengannya. Arjoona menggeleng dan mulai menangis.
"Jangan menangis, adik kecil. Aku pasti akan kembali menjemputmu dari sini. Pasti... aku janji!��� sambung James lagi menelan ludahnya dan merasakan kesedihan yang sama. Selama 6 tahun sejak ia pertama bertemu Arjoona, mereka tak pernah sekalipun berpisah satu sama lain. Arjoona pun memeluk James dan James ikut membalas.
"Jangan tinggalin aku disini, James. Aku takut... aku gak mau mati disini!" isak Arjoona di pundak James dan mulai meneteskan airmata. James meremas pundak Joona dan tak bicara apapun. Ia harus mencari cara agar bisa membawa Arjoona bersamanya.
"Gini aja..." James melepaskan pelukannya.
"Aku akan minta mereka untuk mengasuh kamu juga... alasannya karena kamu adikku jadi kita gak mungkin berpisah. Gimana?" Arjoona mulai tersenyum dan mengangguk. James pun ikut mengembangkan senyumannya.
Seperti biasa, James akan berbagi makanannya dengan Arjoona dan tidur satu ranjang dengannya. Bagi James, Joona adalah saudara laki-laki yang tak pernah ia dapatkan. Joona adalah sahabat sekaligus adik. James tak memiliki teman sama sekali selain Arjoona. Dan Joona tak memiliki keluarga selain James.
Keesokan harinya, James masuk ke kantor penjaga panti meminta ijin agar biasa membawa Joona bersamanya. Tapi sepertinya, hanya James yang akan diadopsi.
"Kamu pikir keluarga itu mau seenaknya mengdopsi? Untung mereka maunya sama kamu bukan Arjoona!" hardik penjaga itu menolak ide James yang meminta agar Arjoona ikut diadopsi dengannya.
"Tapi Pak, Joona sendirian disini. Biar dia ikut aku aja!"
"Heh... kamu anak kecil mau atur-atur aku ya!"
"Bukan gitu, Pak. Kalo mereka hanya mau mengadopsi satu anak, lebih baik aku disini aja gak ikut mereka!" jawab James berani. Penjaga itu langsung menghampiri lalu mengambil sebilah kayu khusus dan memukul James.
"Aaahhkk!" rintih James kesakitan memegang lengannya.
"Kamu berani ngelawan aku sekarang! Mereka cuma mau mengadopsi kamu, tau. Siapin diri kamu, mereka akan datang sebentar lagi!" James meringis memegang lengannya dan menatap menengadah ke arah penjaga panti.
"Tolong, Pak. Biarin aku bawa Joona. Mereka gak akan rugi apa-apa. aku yang akan membiayai hidupnya. Aku akan bekerja... aaahkkk!" James kembali dihantam kayu itu.
"Aku udah bilang jangan membantah apapun yang aku katakan, masih belum jelas juga, HAH!" James terengah kesakitan tapi ia masih berusaha berdiri. Sudah tak terhitung bekas luka yang ia miliki selama di panti itu.
"Kalo kamu ga nurut... aku sendiri yang akan menghabisi nyawa kamu. Keluar!" hardiknya lagi menunjuk pintu keluar dengan ujung tongkatnya. Sambil tertatih memegang tubuhnya yang sangat sakit, James keluar dari ruangan penjaga panti.
"Aku harus bagaimana? Sebentar lagi mereka datang," gumam James lalu melihat di sekelilingnya. Ia mencari Arjoona dan berencana kabur bersama. James terus berkeliling menyisiri seluruh sudut panti tapi tak menemukan Joona.
"Kemana dia? Apa ngamen lagi!" gumamnya lalu bertanya pada beberapa anak namun tak ada yang melihat.
Tak lama, pasangan suami istri datang menjemput James. Mereka memberikan sejumlah uang dan menandatangani beberapa surat. James tak bisa lari saat ia setengah diseret untuk menemui pasangan suami istri itu.
"Ini orang tua angkat kamu. Beri salam!" perintah penjaga panti dan James terpaksa menjabat dan mencium punggung tangan kedua orang itu. Si wanita tersenyum semringah sementara suaminya sedikit lebih cuek.
"Aduh ganteng banget kamu!" pujinya hendak membelai rambut James tapi ia berusaha menghindar. James tau ada yang tak beres pada kedua orang ini.
"Tunggu... a-aku punya Adik. Aku mau bawa adikku!" ujar James saat akan ditarik keluar panti. Kedua orang tua angkat James berhenti lalu menoleh pada penjaga panti.
"Kamu bilang dia anak tunggal!"
"Memang. Jangan percaya kata-katanya, dia gak punya adik!" James menggeleng dan mencoba meyakinkan jika ia memang memiliki seorang adik laki-laki.
"Adikku laki-laki, namanya Arjoona. Aku mohon, kita bisa bawa dia. Sebentar lagi dia pasti pulang!"
"Begini saja. Kamu ikut kami dulu, besok kita jemput adikmu, bagaimana?" ujar si wanita memberi usulan agar James tak menolak pergi. James yang curiga menggelengkan kepalanya. Tapi ia terus dirayu setengah dipaksa untuk pergi meninggalkan panti.
"A-aku mohon, Bu. Adikku akan pulang sebentar lagi," ujar James masih bernegosiasi sementara tasnya bahkan sudah masuk ke dalam bagasi mobil sedan yang parkir di depan panti.
"Sudah besok aja kita kembali, oke. Ibu janji akan bawa kamu kemari untuk jemput adik kamu besok. Bagaimana?" James yang tak punya pilihan akhirnya ikut dengan wajah cemas terus memandang bangunan panti asuhan itu. Bangunan itu berlalu seiring dengan mobil yang semakin menjauh.
Kecurigaan James akhirnya terbukti. Suami istri itu bukan orang baik. Mereka adalah mafia organ tubuh yang akan menjual organ anak-anak jalanan ataupun dari panti asuhan yang dibeli. Organ itu akan masuk pasar gelap untuk transplantasi yang tak murah harganya.
James juga hampir dilecehkan di rumah yang sempat menampungnya selama dua hari tersebut. Ia dipaksa melakukan hal bejat pada suami wanita yang mengadopsinya sebelum kemudian ia hampir diperkosa. James melawan dan akhirnya malah mendapat pukulan hebat di tubuhnya.
Tak ingin kehilangan organ yang berharga, James kembali dikurung malam berikutnya. Tuhan menyelamatkannya ketika datang sebuah penawaran dari salah satu orang Italia yang mencari anak laki-laki usia 12 tahun untuk menjadi donor.
James langsung terjual dengan harga cukup tinggi. Ia dibawa dalam keadaan terluka dan hampir tak sanggup berdiri karena kelaparan. Saat itulah ia bertemu dengan Edward Belgenza, adik kandung Ayah angkatnya, Fabrizio Belgenza.
Entah kenapa saat melihat wajah James, hati Edward luluh. Ia membeli James dan membawanya ke Italia usai luka-lukanya dirawat.
"Siapa namamu?" tanya Edward dengan bahasa Indonesia terbata-bata.
"James Harristian." Edward tersenyum tipis.
NAPOLI, MANSION JAMES
James berjalan dengan kesal sehabis dari kamar yang mengurung Delilah. Ia membuka dasi dan membuangnya begitu saja dengan napas tersengal. James paling benci ditolak dan Delilah telah memancing emosinya. Ia berhenti di konter bar dan mengambil sebotol Whiskey lalu menuangkannya ke dalam sebuah gelas krystal.
"Tuan... apa kita perlu mengurung Nona Starley disini?" tanya Earth datang menghampiri. James meminum minumannya perlahan dan masih membelakangi Earth.
"Dia tidak bisa mengembalikan uangnya. Itu konsekuensi yang harus dia tanggung!" James minum lagi dengan sebelah tangan masuk ke dalam saku celana.
"Tapi... itu hanya 100 ribu Euro. Untuk apa kita..." James berbalik dan Earth langsung berhenti bicara. James memandang Earth dengan tatapan tajam.
"Apa yang sedang kamu lakukan, Earth?" Earth menghela napas dan sedikit menunduk.
"Tidak ada, Tuan. Maafkan aku," jawab Earth lalu diam. Seorang anak buah James lalu datang dan memberikan sebuah pesan pada Earth. Earth menggangguk dan menyuruh anggotanya itu pergi. Ia membaca sebentar sebelum kemudian menghampiri James.
"Sudah dikonfirmasi, Arjoona Harristian bekerja di Winthrop Electronics. Itu artinya, kita sudah siap ke Jakarta," ujar Earth menjelaskan pesan yang diberikan oleh pengawal tadi.
James menatap Earth sejenak sebelum kemudian mengangguk. Ia mengambil ponsel lalu menghubungi Jayden.
"Hai, Jay!"
"James... senang kamu meneleponku!" James tersenyum.
"Kamu merindukanku?"
"Hehehe... katakanlah." James terdiam sejenak lalu berbalik ke konter bar di sampingnya.
"Aku sudah menemukan Arjoona... aku rasa ini saatnya aku akan kembali pulang ke Jakarta."