Chereads / The Seven Wolves: The Collateral / Chapter 12 - The Collateral

Chapter 12 - The Collateral

Earth melempar tubuh Oliver yang kesakitan ke depan Ayahnya yang telah babak belur dipukuli James.

"Oliver... bangun, Nak!" gumam Mark mencoba membangunkan anaknya. Oliver masih memegang perutnya yang kesakitan karena diberi pukulan keras oleh Earth. Sedangkan James sedang mencuci tangannya di wastafel sebelum mengelap dengan sebuah sapu tangan mahal. Ia memberi sapu tangan itu pada salah satu anak buahnya sambil berjalan ke arah Mark lagi.

"Kalian berani lari dariku ternyata?" ujar James berdiri dengan angkuhnya dengan sebelah tangan di dalam saku celana. James memandang rendah pada Mark dan anaknya Oliver. Ia mendecis sinis dan menggelengkan kepalanya.

"Mana uangku?" tanya James lagi. Sebelah sepatu pantofel-nya mengetuk ketukkan sebelah kaki ke lantai. Mark menoleh pada anaknya yang juga ikut menoleh padanya.

"B-bukannya putriku yang akan membayarnya?" ujar Mark. James membuka mulutnya tak percaya. Ayah macam apa yang menjadikan putrinya sendiri tumbal untuk membayar utang? James mengangguk kemudian, ia teringat pada dirinya sendiri. dia tak heran dengan sikap Mark sebagai orang tua. Ibu kandung James juga tak jauh berbeda.

"Sampai sekarang dia belum membayar," ujar James menjawab. Mark lalu menengadahkan wajahnya dan berpikir dengan cepat.

"A-aku akan membayarnya besok. Jika tidak kamu boleh mengambil Putriku, Tuan Belgenza." James mengernyitkan keningnya.

"Apa maksudmu?"

"Putriku masih muda dan pekerja keras. Tuan bisa menjadikan pembantu di mansion tanpa harus membayar. Atau apapun yang Tuan inginkan," ujar Mark menawarkan Putrinya sebagai jaminan. James berpikir sejenak.

"Maksudmu kamu menawarkan putrimu sebagai jaminan utang jika kamu tidak bisa membayar?" Mark mengangguk cepat sambil masuk menengadah. James menelan ludahnya. Ia seharusnya berterima kasih pada Delilah yang sudah menyelamatkan nyawanya tapi daripada membalas jasa, ia malah ingin membuat Delilah terjerat. James menaikkan ujung bibirnya mendengar ide tersebut.

Tadi pagi dia menghubungi rumah lelang rahasia Dubrich menanyakan jika mereka memiliki stok wanita seperti Delilah. Dan mengejutkan jika jawaban mereka tak ada, mereka belum pernah menemukan wanita seperti ciri-ciri fisik yang diberikan James tersebut.

"Apa 100 ribu Euro sepadan dengan hidup Putrimu?" tanya James dengan senyuman jahatnya.

"Aku yakin dia pasti bisa melayani Tuan dengan baik. Delilah juga masih perawan, dia belum pernah pacaran dengan siapapun!" ujar Mark malah mempromosikan anaknya. Oliver di sebelah hanya diam saja dan memilih menunduk membaca lantai.

"Entahlah, jika aku ingin membeli perawan, Vimero juga memiliki banyak stok. Aku hanya tinggal menunjuk yang aku mau. Kenapa putrimu jadi spesial dan seharga dengan 100 ribu Euro?" tanya James lagi membuat perbandingan.

"Tuan bisa mencobanya satu malam, jika Tuan suka, Tuan boleh memilikinya," ujar Mark lagi menutup penawaran untuk menjual Putrinya. James sebenarnya sangat ingin menginjak kepala Mark. Pria itu tanpa malu menjual anak kandungnya sendiri.

"Baik... tapi aku butuh tanda tanganmu dalam sebuah surat perjanjian. Aku beri kamu waktu satu minggu lagi untuk melunasi uang itu, jika tidak Putrimu akan kuambil. Satu lagi, sekali kalian berdua lari, anggap saja kalian akan mati. Mengerti!" Mark mengangguk dan menyikut putranya agar ikut mengangguk. James kemudian memberi kode pada Earth untuk mendekat. Ia lalu berbisik pada Earth untuk membuat surat perjanjian seperti yang diinginkannya.

Dalam surat yang dibuat kilat itu, James membebankan bunga 5 persen setiap hari jika dalam satu minggu tak dilunasi. Itu artinya uang 100 ribu membengkak lebih banyak lagi. Dengan senyuman jahat, James mengambil surat perjanjian yang baru saja ditandatangani oleh Mark tersebut. Ia melipat dan memasukkan surat itu ke dalam saku jasnya.

"Nyawamu selamat hari ini, tapi kita akan bertemu minggu depan. Siapkan uangku atau kamu akan membayar lebih banyak dan putrimu akan menjadi budakku!" ujar James lalu berdiri dan keluar dari apartemen kecil tempat persembunyian Mark dan putranya.

Setelah James pergi, Oliver lalu berbisik pada Ayahnya.

"Apa yang harus kita lakukan, Yah?" tanya Oliver dengan suara bergetar.

"Aku rasa sudah saatnya kita pulang ke Pensylvania. Aku punya teman yang bisa membantu kita. Beberapa hari lagi kita berangkat, agar pria itu tak tau kita pergi."

"Lalu bagaimana dengan Delilah?" Mark mendecak kesal.

"Biar saja dia disini, bukankah Tuan Moretti sudah berjanji akan memberi kita uang dan tempat baru di New York jika kita berhasil menjebak James Belgenza!" bisik Mark lagi sambil duduk di lantai. Oliver bernapas tersengal dan mengangguk.

"Aku yakin dia akan sangat senang jika kita berhasil membunuh James Belgenza."

"Tapi bagaimana caranya, Yah? Delilah takkan mau melakukannya?" ujar Oliver memandang Ayahnya.

"Dia akan melakukan apapun untukku. Dia sangat menyayangiku, setelah dia masuk ke dalam mansion itu, anak itu yang akan membunuh Belgenza seperti yang kita inginkan." Oliver masih terlihat ragu.

"Lalu apa yang harus aku lakukan?" tanya Oliver.

"Yakinkan Delilah, jika dia harus melawan jika Belgenza menyekapnya."

"James Belgenza akan membunuhnya!" sahut Oliver.

"Tidak... Belgenza menyukai Delilah. Mata itu... takkan ada siapapun yang bisa menolaknya," jawab Mark dengan senyuman jahatnya. Oliver menghela napas dan bersandar di dinding di belakangnya. Ada segurat rasa bersalah dalam hati Oliver jika harus meninggalkan Delilah dalam situasi seperti ini. Bagaimanapun juga Delilah adalah adiknya.

Sedangkan Delilah yang polos akhirnya menerima perjanjian dari rentenir yang memberinya 30 ribu Euro dengan bunga 30 persen. Delilah menjaminkan surat kepemilikan toko sebagai jaminan. Kini Delilah siap bernegosiasi dengan James Belgenza agar memperpanjang tenggat waktu pembayaran uang.

Hari yang dinantipun tiba, Delilah sudah bersiap di dalam apartemennya menunggu James Belgenza datang mengambil uangnya. Delilah sudah menyiapkan diri tapi ternyata sampai siang tak ada yang datang. Ia terus menunggu bahkan sampai malam dan pria itu masih tak kunjung datang.

"Apa dia lupa?" gumam Delilah setelah mengintip dari balik tirai rumahnya.

"Aku tidak mungkin bermimpi kan?" ujar Delilah lagi pada dirinya. Ia bahkan menampar wajahnya dan setelah terasa sakit barulah dia tau bahwa dirinya tak bermimpi. Delilah masih terus menunggu bahkan sampai tertidur di depan televisi sendirian.

Sementara James yang sudah mengikat perjanjian lain diluar dengan Mark Starley, kini malah berada di Hongkong untuk menghadiri acara inagurasi Jayden Lin sebagai pemimpin Golden Dragon.

James datang ke Hongkong dengan pesawat pribadi hanya di dampingi oleh Earth. Ia masuk ke sebuah kawasan yang dijaga ketat seperti perumahan elit. Kawasan itu cukup luas dengan sebuah mansion berada ditengahnya. Padatnya kota Hongkong seakan hilang ditelan tempat itu. James berhenti di sebuah tempat mirip klenteng dengan sebuah patung lambang naga emas besar di depannya.

"Ini milik Golden Dragon?" ujar James bertanya pada Earth. Earth ikut mengagumi tempat itu dan mengangguk.

"Aku seperti sedang menonton pertunjukan opera tahun 50'an," gumam James lagi lalu disambut gelak tawa oleh Earth.

"Aku mengerti Tuan." Seorang anggota tertinggi di Golden Dragon yang juga merupakan tangan kanan Jayden Lin, Han Kazuya datang menyambut James dan Earth dengan senyuman.

"Selamat datang Tuan Harristian... Tuan Lewis..." sapa Han dengan sopan sedikit menundukkan kepalanya. Earth ikut memberi salam dan James juga mengangguk tersenyum. Keduanya dipersilahkan masuk ke dalam untuk masuk ke hall utama.

James mencari-cari Jayden yang tak terlihat di dalam kumpulan mana pun. Beberapa pria paruh baya Tionghoa berkumpul dan saling bercengkrama tapi tak ada Jayden disana. Sampai akhirnya James melihat Jayden masuk ke sebuah pintu. James pun mengikuti dan meletakkan gelas minumannya.

Ia membuka pintu itu lalu celingak celinguk mencari Jayden. Ia akhirnya melihat Jayden sedang memegang ponsel dan bersandar di dinding. Sambil berjalan santai James menghampiri Jayden.

"Jay, apa yang kamu lakukan disini?" Jayden menghela napas saat menoleh melihat James berjalan ke arahnya.

"Kamu sudah datang?" James mengangguk dan tersenyum lalu berdiri di sebelah Jayden.

"Kamu baik-baik saja?" tanya James lagi.

"Entahlah, James. Moodku jadi bubar!" ujar Jayden mengetuk ngetukkan ponsel ke pahanya yang terlipat ke dinding.

"Ada apa?"

"Aku baru saja menghubungi Ratu..." James menaikkan alisnya mendengar Jayden.

"Maksudku chat dengannya. Aku butuh bicara, tiba-tiba aku jadi sangat merindukannya," sambung Jayden. James tersenyum dan mengangguk.

"Lalu? Masalahnya apa?"

"Aku rasa aku terlalu berlebihan... iya kan?"

"Soal apa?"

"Aku bilang pada Ratu jika aku mencintainya, ah James, apa yang harus aku lakukan sekarang?" ujar Jayden dengan nada pasrah.

"Tidak ada. Bukankah kamu mengatakan itu padanya setiap hari?"

"Iya, aku berharap dia tidak salah paham dan pikir kalau aku...."

"Bukankah malah bagus jika dia tau perasaanmu yang sebenarnya?" Jayden menggeleng dan menyandarkan kepalanya.

"Mungkin dia marah, sekarang dia tidak membalas pesanku sama sekali!" James mengangguk mengerti.

"Jika dia marah dia takkan mengangkat teleponmu lagi. Jangan terlalu cemas Jay, jika ada yang melihatmu maka orang akan berpikir jika Leader mereka sedang terlibat masalah. Sekarang ikut aku, jamuan tehnya akan dimulai." Jayden menarik napas panjang dan mengangguk. James merapikan sedikit jas Jayden sebelum ia berjalan melewati koridor dan masuk ke dalam hall utama. Tepuk tangan meriah mengiringi langkah Jayden yang akan resmi menjadi pemimpin tertinggi Golden Dragon. Jayden dipanggil dengan sebutan Leader Lin oleh seluruh anggota kelompok itu. Dan James yang melepaskan pegangannya pada Jayden ikut bertepuk tangan.