Keramaian pagi hari di Kota Jakarta tidak bisa mengalihkan pandanganku terhadap sebuah fenomena saat perjalanan ke kampus. Di jalur cepat antara Jakarta Timur sampai ke Jakarta Selatan, ada hal yang suka dilewatkan orang-orang sibuk sekarang. Semuanya terlalu fokus dengan waktu dan hasil kerja mereka, tapi melupakan sebuah sumber daya alami manusia yang diberikan secara gratis. Itu adalah matahari.
Sinar mentari di pagi hari memang sangat hangat dan menjadikan nilai lebih suasana di Jakarta. Pemandangan pagi di Jakarta memang selalu terlihat begitu sibuk, tapi kesibukan mobil yang berjalan ke sana ke sini lewat setiap jalur bukanlah sebuah pemandangan yang indah. Bagiku, pemandangan yang indah adalah sesuatu yang diberikan oleh alam kepada kita. Suasana tersebut tidak pernah tergantikan sama sekali. Bahkan sinar matahari yang sangat sederhana ini sangat menenangkan saat dipandang. Apalagi di waktu yang tepat, kau akan dapat menikmati sebuah pantulan cahaya mentari yang benar-benar dimanfaatkan oleh seorang arsitek cerdas di Jakarta.
Saat mobil Billy melaju melewati perbatasan Jakarta Timur dan Jakarta Selatan, masih di jalur cepat yang sama, kami pasti melewati sebuah gedung cermin di pinggir kota. Gedung itu diberi nama Gedung Pelangi, bukan gedung cermin. Bahan bangunan yang dipakai memang sifatnya hampir seperti cermin sehingga memantulkan cahaya dari benda-benda di sekitarnya, termasuk awan-awan putih di langit. Dan yang paling menyenangkan adalah fenomena di pagi hari yang kumaksud tadi. Di waktu yang tepat, kau bisa melihat matari akan menyinari gedung tersebut dan gedung itu akan memantulkan sinarnya seperti memantulkan sebuah pelangi yang besar. Pelangi itu seperti sebuah plang penyambut di jalanan ketika memasuki suatu daerah, dan ini adalah plang alami dari sinar matahari yang menyambut para pendatang yang masuk ke Jakarta Selatan lewat jalur cepat dari Jakarta Timur. Suatu fenomena pagi yang sangat indah! Aku tidak pernah bosan melihatnya setiap aku melewatinya. Bahkan ini menjadi sebuah hiburan yang membuatku bisa menjadi lebih santai dan tenang.
Billy memindahkan mobilnya untuk masuk ke jalur lambat karena tujuan kami sudah dekat. Sistem dari jalur cepat hampir sama seperti jalan tol, namun bedanya di sini adalah jalur cepat memiliki satu ruang saja untuk satu mobil. Tiap mobil dipaksa untuk menempuh kecepatan di atas seratus kilo meter per jam jika melewati jalur ini. Dan ketika mobil akan masuk ke jalur yang lebih rendah kecepatannya, sistem akan mengatur kecepatan mobil dengan melewatkannya ke jalur penyesuaian agar tidak mengganggu pengguna jalan lain yang masih memakai jalur cepat. Jumlah dari jalur cepat sangatlah banyak, mungkin hampir ribuan di Jakarta, dan beberapa jalur cepat dihubungkan dengan khusus jalur transportasi umum jarak jauh—biasanya antar provinsi ataupun lintas negara. Ada dua jenis jalur lain yang digunakan di Jakarta, jalur sedang dan jalur lambat. Kedua jalur ini digunakan untuk jalur transportasi yang hanya membutuhkan jarak lebih pendek untuk berkendara, seperti misalnya khawasan perdagangan atau pasar, khawasan pemukiman, dan khawasan fasilitas-fasilitas umum. Di era seperti ini, jalur-jalur di sini berbentuk seperti sebuah terowongan transparan yang sangat panjang. Ini fungsinya menjaga kendaraan saat jalur sedang menjulang naik ke langit-langit ataupun turun dan perubahaan jalur.
Kepadatan di Jakarta membuat jalur-jalur ini memiliki jadwal sendiri saat pengoperasiannya, terlebih saat di jam-jam sibuk Jakarta. Banyak jalur penghubung dibuka untuk memudahkan perpindahan akses kendaraan sesuai dengan tujuannya. Seperti jalur penghubung dari jalur cepat ini. Lorong membukakan jalan untuk kami dan sistem menyarankan untuk masuk ke jalur tersebut. Billy memasuki jalur tersebut dan membuat kecepatan mobil menjadi turun secara perlahan. Ketika kecepatan sudah mencapai batas maksimal di jalur lambat, mobil diizinkan untuk masuk ke jalur lambat. Seperti biasa, plang cahaya hologram menyambut kami memasuki khawasan fasilitas umum. Selain beberapa tempat yang sangat asyik dipakai untuk menikmati Kota Jakarta yang asri, di sini terdapat beberapa gedung sekolah dan universitas, salah satunya adalah JFTU.
Billy akhirnya memasuki area kampus dengan melewati gerbang besar milik JFTU. Dia membawa mobilnya dan berhenti tepat di depan Gedung 3 di mana kendaraan umum atau kendaraan yang tidak memiliki akses parkir berhenti untuk menurunkan penumpang. Lalu kendaraan ini bisa langsung pergi dengan mengikuti jalur yang sudah disediakan dan menuju langsung ke jalur lambat khawasan fasilitas umum. Aku turun setelah Billy menghentikan mobilnya.
"Kelly." Billy memanggilku tiba-tiba.
Aku berhenti dan menengoknya lewat kaca mobil.
"Aku memiliki sebuah urusan nanti sore hingga malam."
Aku berpikir sebentar.
"Ya, tidak apa-apa. Aku akan pulang bersama BJ nanti." Kataku.
Billy tersenyum dengan tanggapanku lalu pergi dengan melewati bus kampus. Bus kampus itu termasuk fasilitas kampus yang digunakan untuk menjemput mahasiswa dari berbagai wilayah di Jakarta—biasanya beberapa bus diatur sesuai dengan daerah-daerah tertentu. Tentu saja, saat bus itu berada di depan Gedung 3 menandakan banyak mahasiswa yang turun dari bus tersebut. Melihat aku masih di depan Gedung 3, membuat mereka langsung menatapku dan membisikan hal-hal aneh tentangku. Sial, aku bisa mengetahui apa saja yang merekan bisikan. Segera aku berjalan memasuki Gedung 3.
Untuk menentukan apakah kau boleh masuk ke kawasan kampus adalah dengan memasuki Gedung 3. Di pintu masuk gedung ini, ada sebuah alat sensor otomatis yang akan mengecek identitas orang-orang yang memasuki area kampus. Identitas itu dicek lewat sebuah akun pribadi yang telah didaftarkan. Jika bukan mahasiswa atau tenaga kerja di kampus, selama kau mendapatkan undangan resmi, sistem keamanan akan membiarkanmu masuk ke area kampus. Jika tidak, robot-robot keamanan akan datang lebih cepat dari dugaan dan diikuti oleh petugas keamanan manusia yang mengendalikan robot-robot tersebut. Sejauh ini, aku berjalan di gedung ini tanpa kendala sama sekali dengan semua sistem keamanan tersebut.
Aku terbiasa menghindari kerumunan orang. Kebanyakan orang akan memilih untuk memakai lift untuk menjadi transportasi umum di dalam kampus. JFTU memiliki tiga gedung utama yang di antaranya memiliki banyak jalur lift yang digunakan sebagai alat transportasi cepat. Sedangkan Kelly, aku, tentu saja tidak menggunakan lift itu hanya untuk menyeberangi sebuah gedung. Aku menggunakan jalur khusus pejalan kaki karena aku suka. Ini bermanfaat untuk menggerekan seluruh otot di tubuhku dan bisa menjadi selingan olah raga ringan.
Di perjalananku di jalur antar gedung, tepatnya berada di lantai empat, aku bisa melihat seluruh pemandangan di kampus. Meski hari ini masih terbilang sangat pagi, tidak sedikit mahasiswa aktif berada di taman melakukan aktivitas mereka masing-masing. Tiga gedung utama di sini terbentuk seperti segitiga, dan menyisakan ruang di tengah-tengahnya yang dipakai sebagai pusat taman. Tempat itu sering dipakai oleh mahasiswa untuk belajar bersama, mempraktekan beberapa projeknya, atau hanya menongkrong bersama. Dari sini, aku bisa melihat banyak mahasiswa tehnik mesin sedang mencoba sebuah robot yang bentuknya seperti manusia. Itu memang barang kuno, tapi aku yakin benda itu akan dibuat lebih canggih lagi. Lalu ada juga dari anak seni dengan sebuah kota besinya. Entah bagaimana anak seni itu akan lalukan dengan benda itu, sepertinya cukup menarik. Dengan sebuah kotak besi kecil, seni macam apa yang akan dibuatnya? Jika mama melihat ini, dia pasti langsung tertarik.
Tujuanku sekarang adalah di ruang dosen TI di Gedung 1 lantai 34. Jurusanku ini memang menduduki jurusan yang berada paling tinggi di Gedung 1 daripada jurusan sainstek yang lain. Memang akan sangat melelahkan jika aku terus berjalan kaki dari lantai 4 di mana aku sedang berada. Aku baru mau menggunakan lift di saat seperti ini. Jarang sekali orang-orang yang akan masuk ke ruang dosen jurusan TI, jarang sekali. Sehingga aku berani untuk memakainya.
"Maaf, ini lift ke ruang dosen TI ya?" tiba-tiba ada yang muncul dan menghentikan pintu lift tertutup.
Dia adalah seorang perempuan yang sama sekali tidak kukenal. Aku tidak suka menilai penampilan perempuan itu jadi aku tidak menghiraukan bagaimana penampilannya sekarang.
"Iya." Jawabku singkat.
Ternyata dia tidak sendiri. Dia bersama temannya yang bersembunyi di belakangnya.
"Salah lift, sist. Ini lift sering dipakai anak miskin yang harus ngurus beasiswanya. Pergi yuk!" Dia menarik gadis penahan pintu lift sambil tertawa menghinaku.
Tapi sayang sekali bahwa aku tidak terhina kali ini. Entah mengapa.
Akhirnya pintu lift tertutup dan membawaku langsung ke ruang dosen TI. Di sana ada Pak Randy yang telah menungguku tepat di depan pintu lift. Apakah dia sengaja melakukannya? Tapi menurutku itu begitu berlebihan. Aku tidak bisa membayangkan berapa orang yang dia sambut di depan lift dengan senyuman lebarnya meski yang muncul bukan aku. Terasa begitu aneh dan canggung.
Pak Randy ini bisa dibilang dosen yang masih muda. Sebenarnya tidak semuda itu, namun pengalamannya sangat minim. Berdasarkan data tentangnya, Pak Randy ini termasuk salah satu tenaga pengajar yang beruntung. Dia dapat menjadi dosen di sebuah universitas yang memiliki tenaga pengajar professional. JFTU memang memiliki banyak tenaga pengajar yang luar biasa karena mereka dikirim langsung oleh beberapa perusahaan besar untuk mengajar di universitas ini. Bisa dibilang, Pak Randy ini masih begitu naif untuk berurusan dengan hal-hal pengajaran dan tentunya hal-hal yang berhubungan dengan prestasi mahasiswa. Dia sepertinya tidak mau kalah dengan seniornya yang selalu mengirim mahasiswa ke perusahaan-perusahaan besar. Aku menghargai niat tersebut jika memang tujuannya membuatku kemari adalah seperti apa yang kupikirkan.
Mengapa tidak? JFTU atau Jakarta Future Tech University dibangun dengan dana luar biasa dari beberapa perusahaan besar. Universitas seperti ini hanya dibangun di beberapa kawasan regional untuk menarik generasi muda mengembangkan pendidikan dan teknologi sesuai dengan harapan-harapan dari para investor ini. Jadi, kemunculan dari orang-orang penting di sebuah perusahan besar bukanlah hal yang mengejutkan. Mahasiswa yang memang memiliki potensi, biasanya langsung diterima kerja di perusahaan tersebut dan mendapatkan dana besar untuk menjalankan projek-projek. Hidupmu sudah sudah sangat terjamin jika memang berniat untuk meraih prestasi di universitas ini. Dan mendapatkan beasiswa di sini tidaklah main-main.
"Selamat datang, Kelly." Sambut Pak Randy. Untung saja aku yang muncul, bukan?
Kami saling bersalam meski sebelumnya tidak pernah dilakukan. Pak Randy sendiri yang lebih awal mengajukan tangannya untuk bersalaman denganku. Kemudian dia mengajakku masuk ke sebuah ruang rapat jurusan TI.
Seperti dugaanku, terdapat seseorang di dalam ruang rapat tersebut. Dia masih terlihat begitu muda untuk dikirim datang kemari dan bertemu denganku. Perawakannya juga terlihat begitu segar dan menarik para kaum hawa yang sekarang kebanyakan menilai hal dari fisiknya saja. Bapak ini, entah namanya siapa—Pak Randy belum mengenalkannya, dia memakai beberapa fitur yang bisa mengecoh mata telanjang kita. Kesempurnaan fisik manusia terpancarkan lewat fitur tersebut sampai sedetail kerutan dan garis-garis halus di pakaiannya. Aku tidak menyangka bahwa aku hampir terkecoh dengan itu.
Ohya, aku diam-diam menghubungi Jack sebelum aku benar-benar masuk ke dalam ruang rapat. Ruang ini memang kecil, cukup enam orang untuk mengadakan rapat. Tidak banyak orang yang akan menggunakan ruang ini kecuali hal penting. Dan sebenarnya ruang ini juga jarang dipakai untuk rapat langsung, biasanya rapat dilakukan dengan online. Fungsi ruang rapat di sini adalah sebagai tempat dan pusat di mana sistem-sistem dari fitur rapat itu jalankan. Tidak akan ada informasi bocor dari ruang rapat ini karena sistem keamanannya yang sangat ketat. Di tambah, segala akses komunikasi luar akan langsung terputus secara otomatis saat pintu rapat tertutup.
"Kelly, ini adalah Pak Aldo." Kata Pak Randy akhirnya memperkenalkan pria itu.
Aku tidak tertarik dengan pria itu, aku tertarik dengan secangkir teh yang disediakan di sana. Salah satu cangkir itu diletakan di meja kosong, dan tentu saja aku langsung duduk di sana. Cangkir ini adalah cangkir penghangat teh, jadi teh ini akan tetap hangat meski sudah lama disiapkan. Aku menjadi tidak sabar untuk mengicipinya.
"Pak Aldo adalah seorang bawahan langsung dari Pak Dermawan, Direktur Utama Reccon Corp. cabang Jakarta. Beliau datang kemari karena ingin menemuimu, Kelly."
Sial, aku membenci ini.
"Selamat pagi, Pak Aldo." Balasku untuk menutupi keinginanku meminum teh ini. Jika aku terlalu fokus, mereka akan mengira bahwa aku mengabaikan mereka.
"Hallo, Kelly." Kata Pak Aldo itu.
"Kalau begitu, saya permisi dahulu agar perbincangan kalian lebih intens." Saat Pak Randy melewatiku, dia membisikanku sesuatu agar aku tidak menyia-nyiakan kesempatan seperti ini. Akhirnya, dia keluar meninggalkan ruang rapat ini lalu pintu ruang rapat tertutup dengan sendirinya.
"Kelly, ini adalah pertama kali kita bertemu. Ini sebuah kehormatan bagi saya bertemu denganmu sekarang." Kata Pak Aldo memulainya. Aku cukup terkejut dengan tata cara bicaranya yang ternyata sangat sopan. Selama ini tidak ada yang berbicara sesopan itu kepadaku kecuali Billy dan bawahannya.
"Terima kasih, Pak Aldo." Aku adalah anak yang baik, tentu saja aku harus membalasnya.
"Seperti apa yang telah dikatakan Pak Randy, saya adalah supervisor sekaligus bawahan langsung dari Pak Dermawan dari Reccon Corp. cabang Jakarta. Beliau lah yang mengutus saya untuk datang kemari dan menemuimu karena potensi besar yang kau miliki…"
Dan bla bla bla bla. Aku tidak bisa menghentikan diriku yang ingin mengabaikannya.
Dia benar-benar bekerja di bawah Reccon Corp., salah satu perusahaan global yang sangat besar di bidang teknologi informasi. Orang-orang menyebutnya sebagai salah satu perusahaan yang dimiliki oleh elit global, karena telah menguasai pasar teknologi informasi yang begitu canggih dan terus berkembang tiap bulannya. Perusahaan ini juga telah memberikan dana besar kepada universitas ini sehingga tidak mengejutkan mereka mengirim seseorang kemari untuk mencari calon pekerja baru di bawah perusahaan ini.
Teh. Teh. Teh. Teh.
Aroma tehnya lebih menggoda daripada apa yang dikatakan oleh Pak Aldo. Uapan panas dari teh itu benar-benar menggelitiki hidungku dan menggodaku untuk langsung menghajarnya habis-habisan. Aku ingin sekali meminumnya segera, tapi aku belum boleh diizinkan untuk minum teh ini. Dan teh ini, aku tahu, telah dikhususkan untukku.
"…oleh sebab itu, kami, dari Reccon Corp. cabang Jakarta, menginginkanmu untuk bekerja sama bersama kami. Tentu saja, kau akan mendapatkan jaminan yang tinggi saat bekerja sama denga kami."
Akhirnya selesai.
"Pak Aldo," aku mengeluarkan suaraku, "bolehkah saya meminum tehnya?"
Pak Aldo memang terkejut mendengar kata-kataku. Lalu dia tersenyum dan mengganggukan kepalanya. Asyik! Aku dapat teh nikmat ini akhirnya.
Pilihan minuman ini tidak main-main. Sejak menyecapnya sedikit, aku sudah tahu teh apa yang disajikan. Ini adalah teh melati produksi milik perusahaan Jepang, Takashimo. Sebuah perusahaan yang setara dengan Reccon Corp. yang menguasai pasar perdagangan hidangan. Teh ini kurang begitu terkenal di kalangan atas, namun ada beberapa teh yang sangat direkomendasikan apalagi teh hijau unggulan mereka. Bagiku, teh ini sangat luar biasa. Tidak disadari bahwa selera dari penyaji teh ini benar-benar hebat. Pertemuan ini memang penting, mungkin mereka juga menghidangkan hal penting juga untuk ini.
"Tehnya sangat nikmat, Pak." Kataku seperti bersyukur. Jika dia yang menyiapkan ini, aku harusnya berterima kasih langsung.
"Ohya." Tiba-tiba Pak Aldo menjadi canggung.
"Anda sepertinya orang baru, karena Anda terlihat begitu muda." Kataku untuk berbasa-basi.
"Haha…" Pak Aldo tertawa kecil. Itu cukup mengejutkanku karena dia akhirnya menyadarinya. Dia bukanlah orang yang bodoh. "Kau cukup menggelikan, Kelly. Ya, saya hanya terkejut mendengarmu."
Aldo mengambil cangkir miliknya dan meminum minumannya.
"Benarkah? Saya tidak memiliki sisi humor di manapun, Pak." Balasku.
"Ya, mungkin tidak memilikinya. Namun, kau belum mencari tahu akan hal itu, bukan?"
Dia cukup menggelikan jika diajak basa-basi seperti ini. Setidaknya dia bisa mengimbangiku.
"Mungkin." Aku memamerkan senyumanku.
"Apakah kau memiliki bayangan masa depan bersama kami, Kelly?"
Baiklah, tidak ada basa-basi lagi. Pak Aldo menggiringku kembali ke perbincangannya sendiri. Aku terdiam sebentar untuk berpikir. Menjawabnya dengan sembarangan dapat mengakibatkan fatal.
"Tentu saja." Jawabku pasti.
Setelah mendengar jawabanku, Pak Aldo menekan-nekan meja. Dia mengeluarkan beberapa layar hologram dari meja lalu memberikanku sebuah jendela di layar hologram tersebut. Muncul sebuah dokumen kontrak di layar tersebut yang bergerak dari awal dokumen hingga akhir di bagian atas namaku. Benda ini sudah disiapkan sebelumnya. Cukup menggelikan karena tidak mengetahui jawabanku dahulu.
"Itu adalah dokumen penting dari perusahaan lain, termasuk kontrak dan lain-lain. Kau bisa mempertimbangkannya sekarang. Jika ada hal yang kurang membuatmu nyaman, kau bisa mengatakannya." Kata Pak Aldo.
Aku menjeda waktu dengan meminum tehku. Jelas sekali bahwa aku tidak berniat untuk membaca sama sekali.
"Maafkan saya, Pak Aldo." Kataku akhirnya, "saya tidak membutuhkan dokumen seperti ini."
"Maksudmu, kau ingin langsung menyetujuinya?"
Pernyataan yang sangat gegabah. Ini cukup mencurigakan. Seorang ahli bicara tidak akan menduga-duga sebelum mendapatkan jawaban pasti dari lawan bicaranya. Jika dia adalah seorang yang professional tapi dengan percaya diri melakukan hal itu, pasti ada hal yang aneh.
Kesalahannya begitu fatal. Ini membuatku sedikit tertawa.
Aku menggelengkan kepalaku sebagai jawabannya sambil menahan tawaku.
"Tidak mungkin saya memerlukan dokumen ini."
"Maaf? Maksudnya bagaimana ya, Kelly?"
Inilah waktuku untuk menjelaskannya. Jack juga sudah sinyalnya.
"Anda meminta saya untuk memiliki masa depan bersama perusahaan besar ini, bukan? Jawaban saya tentu saja. Karena saya adalah masa depan dari perusahaan ini."
Aldo bukanlah orang bodoh. Dia pasti langsung bisa memahaminya dengan cepat. Maka, aku melanjutkannya,
"Anda tertarik dengan projek tugas kuliah yang saya kerjakan, memang berbeda dan lebih canggih. Pemograman virtual ke reality bukanlah hal yang dapat dilakukan dengan sesederhana itu, bukan? Projek ini memang sedang diramaikan oleh dunia dan masih tahap pengembangan lebih lanjut. Namun, Pak Aldo, jika memang Anda bekerja di bawah Paman Derma, Anda mungkin tidak akan datang kemari. Paman Derma tidak akan menyuruh bawahannya untuk menemui saya dan menawarkan saya sebuah kerja sama. Bagaimana bisa? Projek yang saya kerjakan adalah sebuah projek yang telah dikerjakan oleh Reccon Corp. lima tahun yang lalu namun sengaja belum dipasarkan. Dengan kata lain, saya hanya menyontek dari projek tersebut dan saya tidak memiliki potensi yang Anda maksudkan. Selain itu, saya melakukannya dengan izin papa saya."
"Sayang sekali, Pak Aldo. Niat baik Anda dianggap buruk oleh pihak perusahaan sekarang."
Jack memberikan sinyal tentang hal yang berhubungan dengan perusahaan sebelumnya, dan dia memintaku untuk menemani pria ini sebentar sambil mencari data-data yang mencurigakan tentang pria ini. Pak Aldo memang supervisor yang bekerja di bawah Paman Derma, tapi di samping itu dia adalah seorang mata-mata dari sebuah perusahaan yang ingin menyaingi perusahaan keluargaku. Cukup menggelikan, seorang penghianat datang ke tempat yang salah untuk mendapatkan peluang dari potensiku. Setelah Jack mengonfrimasikan sebuah penghianatan, itulah waktuku untuk menjelaskannya.
Pak Aldo kini membatu, entah apa yang dipikirkannya sekarang.
"Ngomong-ngomong, The Jackreaper ingin berbicara denganmu."
Aku kembali dengan tehku sedangkan Jack mengambil alih pembicaraan. Aldo pasti tahu siapa Jack itu, atau lebih dikenal The Jackreaper di kalangan karyawan biasa. Tugasnya sudah sangat jelas sesuai dengan namanya.
"Aldo Dimasta. Anda dianggap sebagai penghianat perusahaan karena telah terdeteksi sebagai mata-mata dari perusahaan lain. Semua data di akunmu sudah dibongkar menyeluruh oleh sistem keamanan kami dan telah terbukti salah. Dengan begitu—"
"Racun!"
Apa itu gertakan dari Aldo? Sial, dia menggangguku menikmati tehku.
"Aku mencampurkan racun di dalam teh itu." Kata Aldo sambil menunjuk gelasku.
Dia cukup berani dengan menggunakanku sebagai sebuah sandera, tapi itu percuma. Dia telah mengakui kesalahannya sendiri di depan algojo dan semoga saja dosanya berkurang karena hal itu. Aku bernafas lewat mulutku dan mengeluarkan uap hangat dari teh yang baru saja kuminum. Kutatap Aldo dengan senyumanku yang paling manis.
"Saya sudah bilang bahwa tehnya sangat nikmat. Saya sudah menyadari apa yang Anda masukan ke dalam teh ini saat pertama kali meminumnya. Namun sayang, kau butuh dosis sepuluh kali lipat untuk benar-benar meracuniku."
Minumanku ini memang telah diberi sebuah racun. Ini semacam drug yang sangat adiktif. Efek samping dari penggunaan awal dari obat ini adalah kehilangan kesadaran dan menjadi berhalusinasi. Dia akan menerima apapun yang ditawarkan oleh orang lain jika sudah memasuki fase tersebut. Dan begitu seterusnya hingga merusak tubuh dan sampai kematian akhirnya. Aku yakin bahwa obat ini hanya diberikan sekali ini agar aku mau menandatangai kontrak tersebut, dan dia akan memberikan penawarnya setelah itu. Tapi, seperti apa yang kubilang sebelumnya. Obat ini tidak akan mempengaruhi apapun di tubuhku.
Merasa tidak ada yang perlu diperdebatkan kembali, Jack memutarkan kursiku seratus delapan puluh derajat untuk memunggungi Aldo. Dia ingin aku tidak melihat sebuah eksekusi. Ini memang kejam, bahkan temuan virtual ke reality menjadi sesuatu yang mengerikan dan digunakan sebagai sebuah senjata bagi Reccon Corporation. Perusahaan ini memang berani melakukannya. Untuk menutupinya, sistem ini masuk ke dalam kontrak setiap pekerja yang akan bekerja di perusahaan ini. Efeknya bisa dilihat sekarang ini. Penghianatan dibayar dengan kematian secara pribadi langsung oleh kepala sistem keamanan Reccon Corp.
Sial, apakah Jack lupa bahwa aku masih tetap mendeteksinya?
Kepalaku tiba-tiba menjadi sangat pening. Ini bukan efek dari racun itu, bukan! Ini karena guncangan memoriku. Pemandangan pembunuhan ini bukan pertama kalinya bagiku. Di dalam bayanganku, aku melihat belasan orang dibunuh dengan sangat brutal di depanku dan mencipratkan darah ke tubuhku. Tentu saja, aku tidak bisa menstabilkan diriku hingga aku menjadi tidak bisa terkendali.
Aku merasakan dua orang bawahan Billy muncul setelah pintu rapat dibuka. Jack selalu tidak bisa membersihkan sampahnya sendiri dan meminta orang lain untuk membersihkannya.
"Ms. Reccon." Salah satu dari mereka memberikanku salam.
"Kelly!" aku memeringatinya meski kondisiku tidak karuan. "Bersihkan semuanya!!" Perintahku.
Aku mencoba untuk bertahan dan mengendalikan tubuhku, namun semua perasaan yang pernah kurasakan di masa lalu terlalu kuat menguasai diriku sekarang. Tubuhku tidak mau bergerak, tubuhku bergetar hebat. Ini benar-benar menyiksaku! Tidak! Tidak! TIDAK!!!
PAPA! BERHENTI MEMBUNUH!!!
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang berbeda. Bukan suasana gelap dan dingin dengan begitu banyak darah yang sengaja dicipratkan kepadaku. Tidak ada tekanan yang menekan tubuh dan mentalku. Ini rasanya begitu hangat! Dalam pandanganku yang buram, aku melihat Billy sudah menggendongku. Ini membuatku menjadi tenang.
Bab 2
Shadows stand behind