Sekolah SMA Raya Indonesia kembali ramai oleh siswa-siswi beserta orang tua murid untuk mengambil raport di kelas masing-masing.
Tidak sedikit murid yang gugup melihat hasil ujiannya nanti. Salah satunya adalah aku. Kini aku sedang duduk di luar kelas, menunggu ibuku selesai mengambil raport. Pengambilan raport dimulai dari absen pertama.
"Keisha! Sendirian aja nih, Mia mana?" tanya Nadine duduk di sebelahku.
"Oh hai Nadine! Ngga tau nih, aku sms ngga dibales-bales," jawabku.
Nadine manggut-manggut sebagai respon dari ucapanku.
Ada keheningan beberapa saat sebelum Nadine kembali berbicara.
"Hmm Kei ..." ucapnya pelan.
"Iya?" balasku.
"Bagaimana perasaanmu jika menyukai seseorang, namun ia telah tiada?" Aku tertegun begitu mendengar pertanyaan Nadine.
"Hmmm ..." Aku benar-benar bingung harus menjawab apa.
"Ngga usah kamu jawab kok Kei ... kalau gitu kamu lupain saja, anggap angin lalu," ucap Nadine berwajah sendu.
Meski Nadine berkata demikian, aku tetap tidak bisa melupakannya begitu saja. Bagaimana jika aku berada diposisi Nadine, sanggupkah aku menghadapinya? Disamping itu aku juga penasaran, siapa lelaki ini? Ia begitu beruntung disukai oleh Nadine.
Aku terlarut dalam pikiranku sendiri sampai tidak sadar aku melamun. Nadine yang memperhatikanku memperlihatkan seringainya.
"Kei ..." Nadine menepuk pundakku sekaligus menyadarkan aku dari lamunanku.
"Ah ya?" Aku tersadar dari lamunanku.
"Kamu kenapa Kei?" tanya Nadine khawatir.
"Ngga apa-apa kok ..." bohongku seraya menggelengkan kepala.
Tak lama kemudian, ibu keluar dari kelas.
"Kei ayo pulang ..." ajak ibu yang segera aku turuti.
"Nadine aku pulang duluan ya ..." pamitku.
"Iya, hati-hati ya Kei," balas Nadine tersenyum bergantian kepadaku dan ibu.
Senyum Nadine hilang ketika kami sudah tidak dalam pandangannya.
"Cih menyebalkan," gerutu Nadine.
Nadine kembali duduk sembari bermain ponselnya. Ia mengingat sebuah foto yang diambil saat itu. Foto formasi lengkap dengan gaya beraneka ragam. Nadine melihat satu persatu foto itu. Sekilas kenangan-kenangan saat itu muncul, tangannya berhenti menggeser saat foto Devan muncul. Foto ia sedang tertawa terbahak-bahak mendengar celotehan Farel dan Arwan. Nadine sengaja mengabadikan moment tersebut.
"Andaikan aku bisa memutar balikan waktu, maka aku ngga akan menyetujuinya. Dengan begitu kamu pasti masih disini," pikir Nadine.
***
Di sepanjang jalan, pikiranku tak tenang. Aku terus memikirkan bagaimana nilaiku. Apakah aku mengecewakan ibu atau tidak?
Setelah perdebatan batin, aku memberanikan diri menanyakan hasil ujian.
"Hmm Ibu ..." ucapku pelan tapi masih terdengar oleh ibu.
"Apa?" balas ibu.
"Hasilnya gimana? Nilaiku baik atau buruk?" tanyaku hati-hati.
Ibu tersenyum mendengar pertanyaanku, "pertama tidak ada nilai baik atau buruk. Mau dapat nilai apapun, itu adalah jerih payahmu. Jika tidak sesuai harapan, maka kamu harus lebih berusaha lagi agar harapanmu tercapai."
Aku tertampar oleh ucapan ibu. Ibu melihatku sebentar sebelum melanjutkan kembali ucapannya.
"Kedua Ibu tidak kecewa dengan hasilmu, mau bagaimanapun juga kamu adalah anak Ibu dan yang ketiga kamu mendapatkan ranking 10. Ibu bangga padamu nak."
Aku menghentikan langkah tak percaya karena telah masuk 10 besar. Usahaku selama ini tidak sia-sia, jika aku lebih berusaha aku dapat menaiki rankingku. Meski faktanya ranking tidak berpengaruh pada dunia kerja, tetapi ini sebagai pemicu semangatku untuk belajar.
"Ayo Nak, kita harus beritahu ayah kabar mengembirakan ini," ajak ibu mengulurkan tangannya.
Aku menerima uluran tangan ibu dengan senyuman. Aku beruntung lahir di keluarga ini.
***
Saat waktu sudah menunjukan pukul 08.00 malam, Nadine meneleponku yang langsung aku angkat.
"Halo Nadine," ucapku.
"Hai Kei, maaf kalau aku ganggu kamu malem-malem," balas Nadine dari seberang sama.
"Ngga apa-apa kok, ada apa nih? Tumben banget kamu nelpon. Biasanya cuma sms aja."
"Tau aja nih aku nelpon ada sesuatu hahaha."
"Oh iya dong hahaha ...."
"Aku mau ajak kamu tahun baruan di rumah Mia. Mia ngga keberatan kok malah dia seneng. Jadi kita bertiga merayakan malam tahun baru bersama-sama," ajak Nadine yang tentu saja ada maksud pada acaranya nanti.
Aku tidak bisa menahan senyumku, hanya membayangkannya saja aku sudah sesenang ini.
"Ayo! Jadi ngga sabar."
"Hahaha ... kamu terlalu semangat! Kalau gitu nanti aku kabari ya kamu bawa apanya."
"Ok deh, makasih ya Nadine udah aja aku. Oh ya ajak Shella juga gimana?"
"Hhmmm ... aku sih ngga masalah, cuma Mia sama Shella ngga begitu deket. Aku takut nanti jadi canggung, mana kita di rumahnya Mia. Ngga enak aku," bohong Nadine. Nadine tidak ingin seorangpun menghalangi rencananya.
"Iya juga sih, kalau aku ajak Farel juga gimana?"
"Hubungan Mia sama Farel lagi ngga bagus, lagian ini acara untuk cewek-cewek aja."
"Ya udah kalau gitu, makasih ya udah ajak aku."
"Santai aja Kei, udah ya aku mau tidur hehehe."
"Ok."
Pip
Aku segera keluar kamar untuk meminta izin. Untuk saja kedua orang tuaku sedang bersama. Aku meminta izin hati-hati, sebisa mungkin meyakinkan kedua orang tuaku agar mengizinkanku. Setelah mereka berpikir sejenak, keputusan telah keluar.
"Ya udah kalau gitu boleh," ucap ibu.
"Bener Bu?" tanyaku tak percaya.
"Iya tapi kamu harus janji jaga diri baik-biak. Kami ngga mau kamu kenapa-napa," jawab ayah.
"Ok siap laksanakan!" kataku.
Aku kembali dengan perasaan senang. Aku benar tidak sabar menghabiskan malam tahun baru bersama mereka.
***
Devan sedang asik membaca sebuah kutipan dari Kahlil Gibran.
"Kejujuran adalah sebuah kebaikan terdalam yang mengajarkan kita untuk bersyukur pada hidup kita sendiri dan membagi kebahagiaan tersebut dengan orang-orang."
Devan sangat menyukai kutipan tersebut karena kejujuran salah satu hal yang terpenting dalam hidup selain kepercayaan. Maka dari itu, ia akan menjungjung tinggi kejujuran.
Namun ia berpikir apa menyatakan perasaan termasuk kejujuran? Devan sudah tidak bisa menahan lagi. Kehadirannya yang selalu membuat Devan berdebar. Meski ini hanya cinta monyet anak remaja pada umumnya, Devan tidak mempedulikan itu. Devan hanya ingin ia mengetahui perasaannya.
"Devan! Lagi apa sih serius banget," ucap Farel menghampiri Devan disusul Arwan yang sedang menyantap siomay dalam plastik.
"Ini aku lagi baca kutipan dari Kahlil Gibran. Selain puisinya yang menakjubkan, ada kata bijaknya yang tak kalah menakjubkan," Devan mempersilahkan mereka membaca kutipan tersebut.
"Gimana? Bagus bukan?" tanya Devan sesudah mereka membacanya.
"Iya, soalnya aku langsung mengerti hahaha," jawab Arwan karena ketika Devan menunjukan puisi ia harus meminta Devan menjelaskan maksud dari puisi tersebut.
"Makannya jangan lemot," ejek Farel.
"Iya deh tau yang pinter mah beda," balas Arwan.
"Lho jadi saling ejek hahaha," sahut Devan.
"Kan harus jujur," sambung Farel.
"Ya ngga gini juga," ujar Arwan.
"Hahaha ... kalau gitu mulai hari ini kita harus saling jujur ya," pinta Devan yang segara dapat anggukan dari Arwan dan Farel.
"Apa menyatakan perasaan termasuk kejujuran?"
Mereka bertiga memikirkan hal yang sama.
***