Aku mencoba mengabaikan celotehan-celotehan yang dilontarkan anak kelas dengan mencoret-coret buku tulis belakang sampai bel masuk sekolah berbunyi.
Sepertinya keberuntungan sedang tidak berpihak padaku. Aku berpasangan dengan Mia untuk tugas Bahasa Indonesia pada bab mempersiapkan proposal. Bu Guru mempersilahkan kami untuk berdiskusi. Shella tidak beranjak dari tempat duduknya dan Mia juga melakukan hal serupa. Oleh karena itu aku menghampiri Mia. Tidak dapat dihindarkan lirikan sinis yang selalu aku dapat selagi berjalan ke bangku Mia.
"Hai Mia …" sapaku terlebih dahulu sebelum duduk di sebelahnya.
"Hmm … Kei, semua serahin ke aku ya! Nanti kamu revisi aja, kamu yang benerin," pinta Mia.
Jujur saja, aku tidak dapat menerimanya jika seperti itu. "Lho kenapa? Kita kerjakan sama-sama saja, aku ngga mau dituduh numpang nama saja," protesku.
"Ck sial," umpat Mia dalam hati.
Aku memulai membuka diskusi, mulai dari proposal apa yang mau dibuat, judulnya, pendahuluan, tinjauan pustaka dan lain sebagainya. Aku mencoba membagi tugas dengan adil. Untung saja Mia menerimanya. Diskusi berlangsung sampai waktu pergantian jam pelajaran menjadi Matematika telah tiba.
Lagi-lagi aku mendengat cemoohan yang dilayangkan padaku.
"Haahh …" Aku menghela napas karena lelah, hanya berjalan tidak sampai 2 menit saja sudah membuatku lelah.
Shella khawatir saat melihatku menghela napas. "Gimana diskusinya?"
Aku menatap Shella dengan yakin. "Lancar!" Aku melayangkan jari jempolku pada Shella.
Shella tersenyum lega. "Syukurlah."
Tak lama setelah itu pak Asep telah memasuki ruang kelas.
***
Aku langsung meregangkan badanku setelah jam pelajaran matematik berakhir dan tibalah istirahat pertama.
"Sampai kapan pun aku ngga berjodoh dengan matematika," gumamku.
"Ya bagus, berkat ngga jodoh kamu jadi berusaha," sahut Shella.
Aku cemberut menanggapi ucapan Shella.
"Eh udah liat anak baru belum?"
"Ada anak baru?"
"Iya anak kelas sebelah, IPS 3"
"Cowok bukan?"
"Iya! Ganteng juga, kaya tipe-tipe orang pinter gitu."
"Jadi penasaran, ayo anter gue liat cogan!"
Aku mendengar percakapan teman kelasku dengan anak kelas lain. Memang jarang sekali sekolah ini menerima murid baru di kelas 11 semester 2. Aku jadi ikut penasaran sama anak baru.
Kruk … kruk … kruk!
Suara perut mengintrupsiku untuk segera makan. "Lebih baik aku makan dulu," gumamku.
Aku mengajak Shella sebelum beranjak dari tempat dudukku, Shella menerimanya dengan senang hati.
Aku dapat melihat kelas IPS 3 ramai karena kedatangan murid baru. Murid baru itu dikenal tampan meski memakai kacamata dan tidak mudah berbicara dengannya.Teman sebangkunya pun hanya tau sebatas namanya saja.
Nadine membelalakan matanya tak percaya. "Arwan?" pikiknya.
"Kamu kenal Nad?" tanya Mia dan Azza. Mereka juga penasaran dengan anak baru.
"Eh? Ngga, aku cuma keinget temen tk. Mirip-mirip soalnya, sama-sama pake kacamata," bohong Nadine.
Azza mengangguk mengerti, sedangkan Mia menaruh curiga pada Nadine.
"Aku ke toilet dulu ya," ucap Nadine yang sebenarnya hanya tidak ingin Arwan melihatnya.
"Iya, nanti langsung ke kelas aja," balas Azza yang langsung mendapatkan anggukan dari Nadine.
Mia terus memperhatikan Arwan sampai Azza mengajaknya kembali ke kelas.
Disamping itu, ada Nadine sedang kebingungan akan keberadaan Arwan.
"Kok Arwan bisa disini? Bukannya dia di Jepang? Akh sial, pasti dia selalu berpihak pada Kei. Oh tunggu, kenapa ngga aku manfaatkan saja?" batinnya setelah mencuci muka di wastafel.
Nadine kembali ke kelas, ia langsung memulai rencananya.
"Mia, Azza … menurut kalian anak baru tadi gimana?" tanyanya sedikit berbisik.
"Ganteng," jawab Azza tanpa pikir.
"Kamu suka?" duga Mia tepat sasaran.
"Ssttt jangan kenceng-kenceng aku malu," balas Nadine.
Azza tersenyum mengejek. "Ciieee falling in love hahaha …" ledeknya.
"Azza ih!" balas Nadine malu.
"Tenang aja, kita bantuin kamu buat deket sama dia," sahut Mia.
"Ok! Makasih ya," ucap Nadine sebisa mungkin menunjukan senyum senangnya.
"Ya kalau ngga bisa ngembaliin ingatan Kei, setidaknya ia merasakan penderitaan yang aku rasa, meski dengan cara yang berbeda," batin Nadine melihatku yang tengah asik berbincang dengan Shella.
***
Aku merasa hari ini cepat berlalu begitu saja. Rasanya baru tadi masuk setelah istirahat pertama, namun sekarang sudah istirahat kedua.
"Kei, makan ngga?" tanya Shella.
"Ngga begitu sih … soalnya tadi udah makan, Shella laper?"
Shella mengangguk.
"Ya udah atuh hayu! Aku jajanan apa kek nanti," ucapku.
Kami pun berjalan ke kantin. Saat melewati kelas IPS 3, langkah kami terhenti ketika seorang laki-laki muncul dihadapanku. Perlahan aku melihat wajahnya dan tak percaya apa yang aku lihat.
"Arwan?" ucapku penuh keraguan.
"Hai Kei!" balasnya.
Berkat Arwan, kami menjadi pusat perhatian. Mereka terpesona pada senyumannya yang aja ditujukan padaku.
"Mau ke kantin?" tanyanya.
"Iya, mau ikut?" ajaku.
"Ngga apa-apa nih?" Arwan melihat Shella.
"Ohh … aku ngga masalah," sahut Shella yang mengerti dengan tatapan Arwan.
"Ok, yuk ke Kantin!" ucapku kembali mengambil langkah menuju kantin.
Seolah belum cukup keberadaan Arwan membuat kami menjadi pusat perhatian, kini Farel ikut bergabung bersama kami. Aku melihat Arwan dan Farel bergantian, tidak menyangka jika orang yang berada diingatanku sedang duduk bersebelahan.
"Setelah aku liat-liat lagi, kok rasanya ngga asing ya sama Arwan," ucapku tiba-tiba.
Deg!
Baik Arwan maupun Farel tegang takut kalau aku sudah mendapatkan ingatanku kembali.
"Iyalah ngga asing, orang kita udah pernah ketemu hahaha …" sambungku.
Mereka berdua bernapas lega. Tentu saja Shella tidak mempedulikan itu, Shella tidak ingin mengetahui hal yang seharusnya tidak ia ketahui.
"Nanti kita main lagi ya Kei!" ujar Arwan.
"Kok ngga cerita sih Kei kalau kamu pernah main sama dia?" timbal Farel.
"Lah emang Kei siapanya kamu coba? Pacar aja bukan," protes Arwan.
"Iya juga sih …" kata Farel menyetujui.
Aku sangat ingin menanyakan tentang masa laluku apalagi penyebab aku hilang ingatan, namun melihat mereka akrab begini, membuatku mengesampingkan keinginanku.
"Kalian akur banget ya … udah kaya ade kakak hahaha …" komentarku.
Mereka diam lantaran ucapan barusan sama persis dengan ucapan diriku di masa lalu.
"Kei memanglah Kei," gumam Arwan yang mendapatkan anggukan setuju dari Farel.
"Hah apa?" Tanggapanku tidak mengerti.
***
Hari itu murid-murid sedang menunggu hujan di dalam kelas termasuk kami berlima. Seperti biasa Devan asik dengan puisi, Nadine asik mendengarkan musik. Lalu, aku sedang asik melihat Arwan dan Farel berbincang mengenai pemain bola. Aku sama sekali tidak mengerti ucapan mereka, namun melihat mereka berbincang diselingi candaan membuat terhibur.
"Kalian akur banget ya … udah kaya adek kakak hahaha …" ucapku begitu saja.
"Dih ogah banget punya ade kaya dia," ujar Farel tidak terima.
"Dikira mau juga kali," balas Arwan tak mau kalah.
"Hahaha … kan, kaya ade kakak," ujarku.
***